Pemilu Kedua Pemerintahan Sipil, Suu Kyi Memilih Lebih Awal
›
Pemilu Kedua Pemerintahan...
Iklan
Pemilu Kedua Pemerintahan Sipil, Suu Kyi Memilih Lebih Awal
Pemilu kedua di Myanmar sejak berakhirnya junta militer digelar dan menjadi pencapaian dalam transisi demokrasi negara ini.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Suu Kyi dan Win Myint telah memberikan suara lebih awal meski pemilu Myanmar baru akan digelar pada 8 November. Otoritas juga membatalkan pemilu di daerah minoritas.
NAYPYIDAW, KAMIS — Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint menggunakan hak pilih lebih awal dari jadwal pemilu parlemen Myanmar pada 8 November di tengah Covid-19. Mereka dengan memakai masker dan sarung tangan pergi ke tempat pemungutan suara di Naypyidaw, Kamis (29/10/2020).
Pemungutan suara digelar lebih awal dalam pemilu Myanmar ini tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga dianjurkan bagi pemilih berusia 60 tahun ke atas di daerah yang memberlakukan pembatasan sosial atau karantina wilayah untuk mencegah penularan Covid-19. Suu Kyi berusia 75 tahun dan Win Myint berumur 68 tahun. Puluhan ribu warga Myanmar di luar negeri juga telah mencoblos lebih awal kemarin.
Ribuan tempat pemungutan suara (TPS) di Yangon dan sejumlah wilayah lain yang terdampak pandemi dibuka lebih awal untuk menampung pemilih lansia. Sejumlah panitia pemungutan suara bahkan berkeliling membawa kotak suara di jalan-jalan untuk meningkatkan akses bagi populasi rentan yang jumlahnya di Yangon sendiri mencapai 800.000 jiwa.
Seorang warga, Kyaw Goke (73) yang seumur hidupnya baru dua kali mencoblos, mengantre sambil memakai masker dan pelindung waja serta jaga jarak di TPS. ”Meski saya takut terhadap Covid-19, saya yakin mencoblos tetap penting,” katanya. ”Saya berharap ibu Suu Kyi menang. Dia adalah orang yang melindungai kami dari Covid-19.”
Publik berharap pemilu kedua sejak Myanmar lepas dari pemerintahan militer ini bisa mengantarkan Suu Kyi kembali berkuasa. Suu Kyi telah menempatkan dirinya berada paling depan dalam upaya Myanmar memerangi pandemi. Hampir setiap hari ia berpidato mengajak warga untuk mematuhi kebijakan karantina wilayah.
Hingga Rabu (28/10/2020), Myanmar telah melaporkan hampir 1.500 kasus Covid-19. Penyelenggara pemilu Myanmar akan memastikan jaga jarak sosial diterapkan pada pemilu yang akan digelar 8 November nanti.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Myanmar telah menetapkan bahwa pemilu akan tetap digelar sesuai jadwal walaupun beberapa wilayah masih mengalami krisis akibat pandemi. Langkah ini didukung oleh Suu Kyi dan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang kini berkuasa. Tapi, sedikitnya 20 partai lain mengusulkan penundaan.
Para ahli mengatakan, keputusan untuk mengabaikan usulan penundaan pemilu merupakan sebuah pertaruhan. International Crisis Group (ICG) yang berbasis di Yangon menyatakan, setelah pemunungan suara usai, kemungkinan ada ”masalah kesehatan masyarakat yang serius muncul”.
Peneliti ICG, Richard Horsey, memeringatkan bahwa pandemi kemungkinan akan berdampak pada jumlah pemilih. ”Jika ternyata ada penurunan partisipasi pemilih, kredibilitas pemilu juga otomatis menurun,” katanya.
Selain mengabaikan usulan menunda pemilu, KPU Myanmar juga telah membatalkan pemungutan suara di beberapa area di negara bagian Kachin, Kayin, wilayah Bago, Mon, Rakhine, dan Shan yang terganggu berbagai kerusuhan.
KPU Myanmar berpendapat bahwa penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil di lokasi tersebut tidak bisa dijamin. Pembatalan pemilu di sebagian wilayah ini menuai kritik. Kantor Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki keprihatinan serius atas pelanggaran HAM di Myanmar sebelum pemilu, termasuk pelanggaran hak untuk berpartisipasi dalam politik khususnya bagi kelompok minoritas.
”Sementara pemilu menjadi tonggak penting dalam transisi demokrasi di Myanmar, ruang sipil masih dirusak oleh pembatasan kebebasan berpendapat, berekpresi, akses terhadap informasi, dan penggunaan bahasa yang dapat memicu diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan,” demikian pernyataan Komisi Tinggi HAM PBB.
Dengan pembatalan penyelenggaraan pemilu lebih luas di daerah-daerah etnis minoritas seolah-olah karena alasan keamanan, artinya total ada hampir 2 juta penduduk yang dicabut haknya. ”Pemilu ini tidak akan bebas dan adil. Ada rencana untuk memastikan kemenangan NLD,” kata analis di Yangon, Khin Zaw Win.
Myanmar memiliki 37 juta pemilih terdaftar yang termasuk 5 juta pemilih pemula. Pemilu terakhir tahun 2015 telah membawa NLD berkuasa di Myanmar setelah lebih dari lima dekade berada di bawah kekuasaan militer.
Sejauh ini, Suu Kyi, yang merupakan mantan tahanan politik yang mendapat penghargaan Nobel Perdamaian setelah memimpin gerakan prodemokrasi tanpa kekerasan, tetap menjadi politisi populer di Myanmar.
Kecaman internasional atas pemerintahannya yang mengizinkan pasukan keamanan melakukan pelanggaran terhadap etnis Rohingya tidak berdampak signifikan pada kampanye NLD. Padahal, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap etnis Rohingya telah memaksa lebih dari 700.000 warga Rohingya mengungsi ke perbatasan Bangladesh.
Meskipun Myanmar kini menggelar pemilu, konstitusi yang diberlakukan tahun 2008 saat militer masih berkuasa memberikan 25 persen kursi di majelis rendah dan tinggi parlemen nasional pada militer sehingga mereka memiliki kekuasaan untuk memveto amendemen konstitusi. (AP/AFP)