Taman Ular di Soweto, Potret Ketimpangan Sosial Pasca-Apartheid
›
Taman Ular di Soweto, Potret...
Iklan
Taman Ular di Soweto, Potret Ketimpangan Sosial Pasca-Apartheid
Bagian yang menyedihkan ialah ketika warga Soweto menyadari mereka serasa dibuang pemerintah Afrika Selatan
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
Perumahan dan tanah yang berkelindan dengan ketimpangan sosial adalah topik yang terus menjadi pembahasan dan perdebatan di Afrika Selatan pasca-apartheid. Potret kehidupan di wilayah yang disebut Taman Ular di pinggiran Soweto adalah satu contohnya.
Dinding rumah lekas roboh, limbah bocor masuk rumah warga, kabel-kabel putus yang berbahaya, dan ular-ular berkeliaran. Meski telah ditangani selama beberapa dekade ini, masalah-masalah laten itu terus terjadi dan dirasakan hingga kini oleh warga Soweto, kota terbesar Afrika Selatan.
Warga terus berupaya mendapatkan hak kepemilikan dan perbaikan mendesak atas rumah mereka. Namun, keinginan itu tidak pernah tergapai hingga kini. Mereka adalah bagian dari berkisar 2,9-3,6 juta orang yang tinggal di permukiman kelas menengah bawah di Afrika Selatan.
Penduduk Taman Ular mengaku tempat tinggal mereka berada di rawa-rawa. Atap rumah mudah rapuh dan rawan tertiup angin kencang. Dindingnya mudah rusak karena air. Air dari pipa pembuangan limbah selalu mengalir ke rumah, jalan-jalan permukiman mereka, dan ke sumber air terdekat.
”Bagian yang menyedihkan adalah ketika saya menyadari kami serasa dibuang di sini. Kami telah menderita begitu lama,” kata Nkosinathi Khumalo (35), seorang penganggur.
Taman Ular adalah permukiman dengan sekitar 5.000 rumah yang dibangun lewat Program Rekonstruksi dan Pembangunan Afrika Selatan. Proyek perumahan sosial ini didanai pemerintah yang mulai pada 1994. Menurut statistik resmi, pembangunan sekitar 14 persen rumah atau 2,3 juta properti di negara itu disubsidi oleh pemerintah.
Rumah-rumah itu dialokasikan untuk keluarga berpenghasilan rendah dan penyandang disabilitas. Sejumlah keluarga di Taman Ular mengungkapkan kepada Thomson Reuters Foundation, mereka menunggu setidaknya satu dekade untuk mendapatkan rumah mereka. Kini warga marah karena rumah mereka cepat sekali rusak. Warga menilai pemerintah mengambil jalan pintas saat membangunnya.
Warga mulai tidak nyaman setelah pemerintah mewajibkan warga di rumah saja selama enam bulan masa karantina ketat untuk mencegah Covid-19. ”Jelas menjadi masalah untuk tinggal di rumah jika rumah Anda banjir,” kata Thabiso Toti (53), warga Taman Ular, yang juga menganggur.
Warga Taman Ular mengaku lelah karena tidak ada yang peduli pada mereka. Jika ada yang sakit, mereka harus menggotong ke jalan raya terdekat berjarak sekitar 400 meter. Taman Ular di luar jangkauan peta digital. Pengemudi ambulans tidak mengenal jalan di sekitar lingkungan itu.
Namun terlepas dari tantangan tersebut, warga telah mencoba bertahan. Mereka menanam mawar dan sayuran, serta membersihkan lahan basah di sekitarnya yang sudah penuh dengan sampah.
Mereka berharap bahwa akta kepemilikan akan membawa harapan bagi lingkungan mereka, membawa lebih banyak peluang ekonomi dan menghentikan ketakutan akan kemungkinan penggusuran di masa depan.
Warga memiliki waktu 90 hari sejak mereka bisa meninggali rumah yang dialokasikan pada mereka untuk menandatangani sebuah surat pernyataan. Isinya adalah menerima dengan baik rumah mereka.
Hal itu dikatakan Edward Makwarela dari departemen pemukiman manusia di Provinsi Gauteng. Setelah itu, jika warga penghuni menemukan suatu masalah atas property mereka, mereka merujuk ke Dewan Pendaftaran Pembangun Rumah Nasional. Hal itu membutuhkan waktu.
Makwarela mencatat bahwa pemukimanTaman Ular adalah bagian dari Program Perumahan Rakyat pemerintah, di mana masyarakat secara aktif terlibat dalam membangun properti.
"Masalah lain bisa jadi pengerjaan yang buruk atau didorong oleh komunitas itu sendiri, dan mereka tidak terampil," katanya.
Kendala biaya
Warga mengaku ingin mendapat kesempatan untuk memperbaiki rumah mereka sendiri. Namun kebanyakan tidak mampu. Pinjaman bank juga berada di luar jangkauan. Sebab mereka tidak memiliki akta kepemilikan, yang seringkali diminta oleh bank sebagai jaminan.
Makwarela menyatakan semua rumah di Taman Ular memiliki air, sanitasi dan listrik. Namun daerah tersebut masih belum memiliki jalan atau saluran air hujan. Kondisi itu turut menghambat proses pendistribusian sertifikat.
"Nenek saya yang tinggal di sebelah sampai meninggal minggu lalu harus menunggu sepanjang hidupnya untuk memeroleh sertifikat," kata Khumalo. "Jika kami memiliki akta kepemilikan, kami akan mencoba mendapatkan pinjaman dan membangun untuk diri kami sendiri.”
Ketersediaan air bersih dan pencemaran juga menghantui warga di Soweto. Ketika Johannesburg berusaha keras untuk mengakomodasi populasinya yang membengkak, masalah seperti pipa yang rusak meluas di luar Taman Ular.
“Ada banyak pencemaran dari pipa pembuangan limbah. Saat bocor, mereka masuk ke aliran sungai kami dan kami, sebagai orang miskin, terpaksa menggunakan air kotor ini,” kata Dhlamini, berdiri di dekat sungai kecil berwarna coklat tua di Soweto.
Aktivis lingkungan Afsel, Tiny Dhlamini, menjelaskan bahwa ada anak sungai kecil di Soweto yang mengalir ke Sungai Vaal, salah satu sumber air utama di provinsi Gauteng. Daerah tangkapan air Vaal bersama dengan beberapa sumber air lainnya itu menjadi sumber air bagi lebih dari 13 juta orang di bawahnya.
Di pinggiran kota lain di kota terbesar Afsel itu, termasuk daerah yang lebih makmur, warga juga melaporkan pipa bocor, lubang got yang meledak, dan kotoran yang membawa kondom, tampon, dan kotoran ke dapur mereka. Isaac Dhludhlu, juru bicara otoritas yang bertanggung jawab atas air dan sanitasi kota, mengatakan organisasi tersebut harus memantau 11.000 km (6.800 mil) jaringan pipa saluran pembuangan di seluruh kota.
Dengan jaringan pembuangan limbah yang begitu besar untuk diawasi, badan pemerintah bergantung pada warga untuk segera melaporkan masalah. "Ada masalah infrastruktur utama yang membutuhkan biaya lebih dari 10 miliar rand (611 juta dollar AS) untuk diperbaiki," kata Dhludhlu.
Ia menambahkan bahwa infrastruktur yang sudah tua, sambungan air ilegal dan benda asing dalam sistem air semuanya berkontribusi pada masalah itu. (REUTERS)