Kombinasi antibiotik untuk penyakit kusta yang direkomendasikan WHO ternyata bisa menyebabkan alergi berupa gangguan fisiologis serius hingga kematian pada sebagian orang Papua.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kombinasi antibiotik untuk penyakit kusta yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia ternyata bisa menyebabkan alergi berupa gangguan fisiologis serius hingga kematian pada sebagian orang Papua. Temuan ini menunjukkan pentingnya pengobatan presisi karena sebagian obat-obatan memiliki dampak spesifik pada populasi dengan marka genetik tertentu.
Temuan dari tim internasional, dengan penulis pertama peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Biomedis Papua, Hana Krismawati, ini dipublikasikan di jurnal PLOS Negelected Tropical Diseases pada 28 Oktober 2020.
”Kusta adalah salah satu penyakit terabaikan yang menyebabkan kecacatan dan kerusakan saraf. Indonesia adalah negara dengan angka kusta tertinggi ketiga setalah Brasil dan India, di mana Papua dan Papua Barat menjadi penyumbang endemis kusta,” kata Hana, dihubungi Kamis (29/10/2020).
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penderita kusta di Indonesia 17.439 orang. Sementara di Brasil jumlah penderita kusta 27.863 orang dan di India 114.451 orang.
Kusta telah masuk di daerah-daerah pedalaman di Papua. (Hana Krismawati)
”Kusta telah masuk di daerah-daerah pedalaman di Papua,” kata Hana, yang beberapa tahun terakhir melakukan penelitian tentang kusta di Papua. Pada Agustus 2019, Kompas mengikuti survei lapangan yang dilakukan Hana di Kabupaten Asmat, Papua, dan menemukan kluster baru di pedalaman.
Penyakit yang disebabkan kuman Mycobacterium leprae ini menyerang saraf dan kulit. Penularan penyakit infeksi kronik itu melalui kontak langsung lama dan berulang dengan penderita, ada lesi, dan lewat pernapasan. Jika tidak diobati, penderita akan mengalami kerusakan permanen pada tulang di daerah wajah, jari, dan kebutaan.
”Untuk memerangi kusta, WHO telah meluncurkan paket MDT (multidrug therapy) atau kombinasi antibiotik yang mengandung dapson, rifampicin, dan clofazimine. Program MDT ini diberikan secara bebas oleh WHO dan terbukti sangat efektif mengeliminasi kusta di beberapa negara endemis,” kata Hana.
Namun, bagi sebagian etnis, agen terapi dapson yang merupakan komponen utama MDT ternyata berpotensi menyebabkan alergi yang sering disebut dapsone hypersensitivity syndrome (DHS).
”Kasus DHS banyak dilaporkan terjadi di Papua dan Papua Barat. Kasus DHS ini menyebabkan gangguan fisiologis yang serius hingga kematian,” kata Hana, yang beberapa tahun terakhir meneliti kusta di pedalaman Papua.
Gen di Papua
Penelitian sebelumnya oleh peneliti China, Zhang FR, di jurnal New England Journal of Medicine (2013) menunjukkan, alergi DHS ini berasosiasi dengan gen HLA-B*13:01. ”Pada studi ini, kami melakukan validasi (pembuktian) apakah HLA-B*13:01 berasosiasi pada kejadian DHS pada pasien-pasien kusta etnis Papua dan Papua Barat,” kata Hana.
Dalam kajian ini, tim mengamati pasien kusta dengan riwayat DHS sebanyak 34 orang sebagai kasus dan pasien kusta tanpa riwayat DHS sebanyak 52 orang sebagai kontrol. Sampel darah dianalisis menggunakan sequence based typing untuk mengetahui tipe gen HLA.
Hasil penelitian menunjukkan gen HLA-B*13:01 sangat berasosiasi dengan kejadian DHS pada populasi kusta di Papua. Artinya, orang yang terlahir dengan membawa HLA-B*13:01, 233 kali berisiko mengalami alergi dapson atau DHS jika meminum agen terapi obat-obatan ini.
Dari kajian Hana, alergi dapson ini telah menyebabkan kematian sebagian penderita kusta di Papua. ”Dari kajian kami, tingkat fatalitasnya 1,4 persen,” katanya.
Menurut Hana, kasus alergi dapson di Indonesia, di luar Papua dan Papua Barat, masih sangat jarang dilaporkan. ”Ada yang melaporkan kasus di Sumatera, selain juga di Jakarta. Tetapi, yang di Jakarta ternyata orang Papua juga. Kami menduga alergi ini terkait dengan genetika orang Papua yang ditunjukkan frekuensinya sering terdapat pada allele b1301 yang biasanya ada pada Melanesia,” katanya.
Hana mengatakan, HLA-B*13:01 dapat digunakan sebagai biomarker risiko DHS dengan sensitivitas 91,2 persen dan specificity 96,2 persen. ”Oleh karena itu, dengan melakukan skrining HLA-B*13:01 sebelum pasien kusta diobati, kita dapat mencegah terjadinya akibat fatal MDT pada pasien kusta,” katanya.
Temuan ini menunjukkan pentingnya pengobatan presisi, yaitu pengobatan yang didasarkan pada marka genetik tertentu. Seperti dikatakan Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo, pengobatan presisi membutuhkan data genetik di tiap populasi, yang memiliki marka genetik berbeda-beda karena riwayat pembauran nenek moyang mereka.