Anak-anak putus sekolah di Brebes, Jawa Tengah, bisa kembali tersenyum dengan munculnya program sekolah virtual. Program gratis ini jadi jembatan dari pilihan dilematis siswa tak mampu antara sekolah atau belajar.
Oleh
KRISTI UTAMI
·5 menit baca
Medio 2017, Danil Febriyanto (18), meratap saat impitan ekonomi memaksanya langsung bekerja selepas lulus Madrasah Tsanawiyah. Tak disangka, asa menjadi guru bertunas lagi saat pagebluk. Teknologi memungkinkannya tetap bersekolah tanpa melepas beban mencari nafkah.
"Yang saya pikirkan, jangan sampai adik-adik bernasib sama dengan saya. Adik-adik saya harus bisa sekolah tinggi," kata Danil, warga Desa Jatisawit, Kecamatan Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah, Selasa (20/10/2020).
Lulus dari MTs Al-Ishlah Laren, Bumiayu, Danil mesti ikut bekerja membantu ekonomi keluarga. Ayah dan ibu Danil sehari-hari hanya buruh tani dan asisten rumah tangga. Uang mereka tak cukup untuk menyekolahkannya ke sekolah menengah atas. Angan menjadi guru Bahasa Indonesia pun dia singkirkan.
Sejak berhenti sekolah, Danil bekerja di sebuah peternakan ayam milik tetangganya. Dalam sebulan, dia mendapat upah Rp 1,7 juta. Sebagian uang digunakan membantu membeli kebutuhan bahan makanan di rumah. Sisanya ditabung untuk membantu orangtuanya membiayai pendidikan dua adik Danil, Hafidz (5) dan Ibnu (11).
Tiga tahun sejak putus sekolah, Danil kaget saat mendapat tawaran dari SMA Negeri 3 Brebes untuk melanjutkan kembali pendidikan secara gratis melalui sekolah virtual yang dirintis Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Sekolah tersebut menggunakan metode pembelajaran jarak jauh secara virtual. Tujuannya agar para siswa, khususnya dari keluarga prasejahtera, bisa belajar dari manapun mereka berada.
Konsep sekolah ini memungkinkan siswanya belajar sembari tetap bekerja karena kegiatan tatap muka virtual dilakukan malam hari. Danil langsung menerima tawaran bergabung. Setelah menyerahkan beberapa dokumen, dia diterima di sekolah virtual yang menginduk ke SMA Negeri 3 Brebes. Dia bahkan ikut mengajak dua temannya yang juga putus sekolah, Feri (18) dan Romi (18).
Pekerjaan Danil di peternakan ayam sebenarnya melelahkan. Saban hari, dia bekerja mulai pukul 07.00-11.00 dan pukul 13.00-16.00. Pekerjaannya banyak, mulai dari memberi makan ayam, membersihkan kandang, hingga membantu memanen ayam untuk dijual.
Namun, lelah tak melunturkan semangat belajar Danil. Setelah rehat sejenak, dia mengikuti pembelajaran tatap muka virtual mulai pukul 19.00-20.00 bersama guru dan teman-temannya. Setelah pembelajaran tatap muka virtual berakhir, Danil lanjut belajar secara mandiri hingga pukul 23.00.
Semangat sama dipercikkan Uswatun Khasanah (17). Setelah lulus dari MTs Wahid Hasyim Jagalampeni, dia mengubur angannya kuliah saat memutuskan merantau ke Depok, Jawa Barat. Tak ada biaya, perempuan asal Desa Jagalampeni, Kecamatan Wanasari, Brebes, itu terpaksa bekerja menjadi penjaga kasir sebuah minimarket.
Suatu sore di akhir Agustus, telepon Uswatun berdering. Bekas gurunya di MTs menghubungi. Telepon yang membuat Uswatun terkejut sekaligus senang bukan kepalang. Seperti halnya Danil, dia ditawari bergabung dengan sekolah virtual. "Saya mendapat telepon sore. Malamnya, semua berkas langsung saya siapkan kemudian saya kirimkan keesokan harinya. Alhamdulillah, saya diterima," ujarnya bersemangat.
Tak hanya pendidikan gratis, siswa sekolah virtual juga mendapat pinjaman peralatan belajar berupa gawai. Mereka juga dibantu kuota internet untuk mengakses pembelajaran tatap muka virtual.
Uswatun mengaku sangat terbantu dengan sekolah virtual. Setelah sempat putus sekolah dua tahun, dia punya kesempatan kembali mengejar mimpinya menjadi desainer. “Kalau (minimarket) sedang sepi pembeli, saya kadang curi-curi waktu juga untuk belajar. Sebab, dengan sekolah virtual, saya bisa sekolah sambil kerja. Tujuannya supaya bisa menabung biaya kuliah. Lulus nanti, saya ingin melanjutkan kuliah tata busana di Universitas Negeri Jakarta," ucap Uswatun.
Tak hanya pendidikan gratis, para siswa sekolah virtual juga mendapat pinjaman peralatan belajar berupa gawai. Mereka juga dibantu kuota internet untuk mengakses pembelajaran tatap muka virtual. "Kami dapat pinjaman gawai dan buku pelajaran. Kami juga dibantu kuota internet 30 gigabyte (GB) per bulan," kata Dani Setiawan (18), siswa sekolah virtual asal Desa Saditan, Kecamatan Brebes.
Dani yang sehari-hari bekerja di tempat pencucian mobil di Brebes tersebut merasa sangat terbantu dengan program sekolah virtual. Ini kesempatan kedua baginya mewujudkan cita-cita menjadi pemrogram.
Sekolah virtual merupakan gagasan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo di tengah pandemi. Kebijakan ini diharapkan menjadi jalan tengah bagi warga dari ekonomi rendah yang mesti bekerja, tetapi masih ingin bersekolah. Selain SMA Negeri 3 Brebes, satu sekolah virtual lain yang diresmikan Pemerintah Provinsi Jateng pertengahan Oktober, yaitu SMA Negeri 1 Kemusu di Boyolali.
Setelah diresmikan, dua sekolah itu mendidik siswa reguler dan sekolah virtual. Jumlah siswa sekolah virtual di masing-masing sekolah sebanyak 36 orang. Menurut Ganjar, konsep virtual dipilih agar aksesibilitas pendidikan lebih baik. Sebab, proses pembelajaran di sekolah virtual tersebut bisa dilakukan dari mana saja, termasuk dari rumah.
Kepala SMAN 3 Brebes Eko Priyono mengatakan, setiap hari, ada satu kali pertemuan tatap muka virtual yang wajib dihadiri siswa yakni, pada malam hari. Dalam pertemuan itu, siswa bebas bertanya kepada guru tentang materi pelajaran yang belum dipahami.
Adapun materi yang diterima siswa sekolah virtual sama dengan sekolah reguler. Mereka juga sama-sama sekolah tiga tahun dan akan mendapat ijazah kelulusan serupa. “Bedanya, siswa sekolah virtual belajar secara daring terus sampai lulus, kalau reguler ada tatap muka saat pandemi mereda," tutur Eko.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Brebes, terdapat 17.420 anak usia sekolah yang tidak bersekolah pada 2018. Hingga 2020, setidaknya 11.507 di antaranya berhasil dikembalikan ke bangku sekolah formal.
Ketua Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) Brebes Bahrul Ulum mengapresiasi program sekolah virtual. Selain anak putus sekolah, pihaknya bersama pemkab sedang menyusun program mengembalikan orang dewasa tak sekolah kembali belajar. Hal itu untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) Brebes yang pada 2019 hanya 66,12. Nilai ini terendah di Jateng dan jauh di bawah rata-rata IPM daerah lain 71,73.
Materi yang diterima siswa sekolah virtual sama dengan sekolah reguler. Mereka juga sama-sama sekolah tiga tahun dan akan mendapat ijazah kelulusan serupa.
"Pemerintah ingin mengembalikan 3.500 orang dewasa tak sekolah untuk kembali belajar pada 2021. Mereka akan belajar di 50 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat di seluruh Brebes," ujar Bahrul.
Perjuangan Danil, Uswatun, dan Dani meraih cita-cita memang masih panjang dan terjal. Namun, sekolah virtual mampu menjawab kegelisahan soal keadilan pendidikan sekaligus jembatan emas bagi pilihan dilematis yang mereka hadapi, sekolah atau bekerja.