Ke depan, sebaiknya BUMN dibagi berdasarkan orientasi bisnisnya, yang memang bertugas mencari laba, menjadi pionir dan mempersiapkan BUMN lain, serta yang memberikan jasa pelayanan publik.
Oleh
Hendry Julian Noor
·4 menit baca
Semua negara mengenal adanya perusahaan yang mendapatkan suntikan modal dari negara yang ditanamkan ke dalamnya, yang disebut ”perusahaan negara” (Prasetya, 2011).
Di Indonesia dikenal dua jenis perusahaan negara menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 (UU BUMN), yang disebut badan usaha milik negara, yaitu persero (bertujuan mendapatkan keuntungan) dan perum (bertujuan menyediakan barang dan jasa tertentu, memenuhi kebutuhan masyarakat, bermutu tinggi, dan sekaligus juga bertujuan mengejar keuntungan).
Dalam omnibus law RUU Cipta Kerja, pengaturan BUMN tidak terlepas dari perubahan. Pasal 120 mengatur, pertama, selain menyelenggarakan kemanfaatan umum, BUMN juga dapat ditugaskan untuk menyelenggarakan riset dan inovasi nasional. Kedua, selain mempertimbangkan maksud dan tujuan, kegiatan usaha BUMN juga mempertimbangkan kemampuan BUMN.
Dalam omnibus law RUU Cipta Kerja, pengaturan BUMN tidak terlepas dari perubahan.
Ketiga, rencana penugasan khusus dikaji bersama antara BUMN terkait dan pemerintah pusat. Keempat, perihal keharusan pemerintah pusat memberikan kompensasi dilakukan dalam tingkat kewajaran sesuai dengan penugasan yang diberikan. Kelima, dalam pelaksanaannya, BUMN dapat bekerja sama dengan: (a) badan usaha milik swasta; (b) BUMD; (c) koperasi; (d) BUMN; (e) lembaga penelitian dan pengembangan; (f) lembaga pengkajian dan penerapan; dan/atau (g) perguruan tinggi.
Pengaturan penugasan khusus BUMN ini sedikit berbeda dengan pengaturan sebelumnya yang juga terdapat pada Pasal 66 UU BUMN yang jika disederhanakan adalah kemanfaatan umum dengan pemberian kompensasi.
”Missing link”
Dengan penugasan khusus tersebut, terlihat bahwa BUMN dapat dikatakan memiliki tugas yang berat, selain mengejar keuntungan, juga harus berperan terhadap perekonomian negara, termasuk pelayanan umum oleh negara, riset, dan inovasi.
Dalam pandangan penulis, terdapat missing link dalam pengaturan tersebut, di mana BUMN dengan penugasan khusus seharusnya yang dinilai dalam pelaksanaan tugasnya adalah performa pelayanannya, bukan performa keuntungan yang memang seharusnya melekat pada entitas bisnis. Mengapa demikian? Karena, penugasan tersebut sangat mungkin kemudian menempatkan BUMN berada pada posisi yang tidak menguntungkan.
”Penambahan tugas” dalam omnibus law RUU Cipta Kerja tersebut dapat dimaknai: pertama, BUMN selain menyelenggarakan kemanfataan umum, juga diharapkan dapat membantu riset dan inovasi nasional. Kedua, terbukanya ”ruang diskusi” untuk melihat maksud dan tujuan, kegiatan usaha, serta kemampuan BUMN, apakah bersesuaian dengan penugasan yang akan diberikan. Ketiga, dalam pelaksanaannya, BUMN dapat bekerja sama dengan pihak lainnya.
Ketiga, dalam pelaksanaannya, BUMN dapat bekerja sama dengan pihak lainnya.
Terbukanya ruang diskusi yang disediakan dalam omnibus law RUU Cipta Kerja jadi sangat penting mengingat pertanyaan apakah telah tepat jika penugasan khusus itu ditetapkan terhadap BUMN, ataukah seharusnya memilih satu di antara persero dan ataukah perum? Dasar hukum persero dalam UU BUMN menegaskan bahwa segala ketentuan dan prinsip- prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas (dalam UU Perseroan Terbatas) diberlakukan pula pada persero.
Pengaturan tersebut dapat dikatakan menempatkan persero tidak ubahnya seperti perusahaan swasta, dengan proyeksi mampu bersaing dengan perusahaan swasta dalam mendapatkan keuntungan.
Adapun perum bertujuan utama memenuhi kebutuhan masyarakat atau melakukan pelayanan umum. Oleh karena itu, penugasan khusus akan lebih tepat apabila diserahkan kepada perum, yang mengutamakan pelayanan yang bermutu, dengan profit bukanlah tujuan utama (Majidi, 1992), dan bahkan jika perlu harus ada ”anggaran rugi”.
Parameter penilaian kinerja yang utama digunakan pun seharusnya bukan audit kinerja finansial yang baik, melainkan apakah melakukan pelayanan publik dengan efisien, memuaskan, dan memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak.
Bahkan, pemerintah harus melakukan subsidi atau bahkan ”pasang badan” bagi perum agar rakyat dapat menjangkau kebutuhan hajat hidup orang banyak tersebut. Sebagai contoh adalah kereta publik di Jerman yang merugi, tetapi tetap melakukan pelayanan publik, di mana sangat dibutuhkan oleh penduduk di Jerman (Wibisono, 1992). Hal ini sejalan dengan asas bestuurzorg atau mengutamakan kepentingan umum.
Jika pun penugasan khusus diberikan juga kepada persero, perlu diketahui bahwa profit oriented yang dibawa oleh persero tidaklah selalu dapat diterapkan. Persero seolah gamang berdiri di dua tempat berbeda, mengejar keuntungan, tetapi juga harus memberikan pelayanan publik (public service obligation).
Celakanya, apabila ada kerugian bisnis persero, seolah lumrah penerapan dugaan tindak pidana korupsi. Aparat penegak hukum seharusnya tidak mutatis mutandis dalam hal terjadi kerugian bisnis dalam BUMN selalu dikaitkan dugaan tindak pidana korupsi. BM Taverne menyatakan bahwa penegakan hukum pada prinsipnya bukan ditentukan undang-undang, melainkan sangat dipengaruhi oleh manusianya sebagai aplikator (Reksodiputro, 2014).
Celakanya, apabila ada kerugian bisnis persero, seolah lumrah penerapan dugaan tindak pindana korupsi.
Orientasi bisnis
Ke depan, sebaiknya BUMN dibagi berdasarkan orientasi bisnisnya (Moeljono, 2004). Pertama, yang memang ditugaskan untuk mencari laba, dengan tugas tunggal untuk mencetak laba sebesar-besarnya. Kedua, yang ditugaskan mengawali atau sebagai pionir, dengan tugas utama berupa ”merambah belantara” dan mempersiapkan BUMN lain atau pelaku ekonomi lain untuk mengelola.
Ketiga, yang bertugas memberikan jasa pelayanan publik, baik karena memang merupakan karakter bisnisnya maupun karena tugas yang diberikan kepadanya.
(Hendry Julian Noor Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM)