Warga AS Kelahiran Jerusalem Boleh Cantumkan Israel di Paspor
›
Warga AS Kelahiran Jerusalem...
Iklan
Warga AS Kelahiran Jerusalem Boleh Cantumkan Israel di Paspor
Sepekan jelang pemungutan suara, Presiden Donald Trump mengeluarkan kebijakan membolehkan pencantuman Israel pada paspor warga AS kelahiran Jerusalem. Sebuah tindakan yang tidak dilakukan presiden AS sebelumnya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON DC, JUMAT — Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan kebijakan baru terkait Jerusalem dan Israel dalam hubungan dengan warga AS. Setiap warga AS yang lahir di Jerusalem diperbolehkan untuk mencantumkan Israel sebagai tempat kelahiran mereka di dalam paspor masing-masing.
Kebijakan itu dikeluarkan kurang dari sepekan pelaksanan pemilihan Presiden Amerika Serikat, 3 November. Hal ini memperkuat sokongan Pemerintah AS terhadap keberadaan Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Sampai sekarang, warga AS kelahiran Jerusalem hanya bisa menyebutkan kota kelahirannya itu tanpa menyebutkan secara spesifik negaranya, yaitu Israel.
Pompeo dalam pernyataannya, Kamis (29/10/2020), mengatakan, keputusan untuk mengizinkan warga AS kelahiran Jerusalem memilih mencantumkan Israel atau Jerusalem sebagai tempat kelahiran mereka menunjukkan konsistensi kebijakan Trump yang dimulai sejak Desember 2017.
Saat itu, ia memutuskan pemindahan kantor Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Kebijakan tersebut tidak diambil oleh Pemerintah AS di bawah Presiden Barrack Obama.
Lima tahun lalu, saat Obama berkuasa di Gedung Putih, Mahkamah Agung AS membatalkan aturan yang memungkinkan warga AS kelahiran Jerusalem mencantumkan Israel di paspor-paspor mereka.
Pada waktu itu, Mahkamah Agung AS menilai aturan itu mengganggu kewenangan presiden dalam menetapkan dan mengatur kebijakan luar negerinya.
Para pekerja Palestina berbaris untuk melintasi pos pemeriksaan di pintu masuk permukiman Israel di Maale Adumim, dekat Jerusalem, Selasa, 30 Juni 2020.Pompeo, saat mengumumkan perubahan kebijakan keimigrasian itu, mengatakan, AS mengakui Jerusalem sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan Israel. Namun, AS tidak akan mengambil posisi terkait masalah kedaulatan Israel di kota tersebut dalam kaitannya dengan Palestina.
”Masalah ini tetap tunduk pada negosiasi status akhir antara kedua pihak,” kata Pompeo.
Jerusalem, kota suci bagi tiga penganut agama keluarga Ibrahim, yaitu Islam, Yahudi, dan Kristen-Katolik, menjadi sumber ketegangan dalam konflik Palestina-Israel setelah AS mengakui kota tersebut sebagai ibu kota Israel menggantikan Tel Aviv. Sebuah langkah yang ditolak oleh dunia internasional dan rakyat Palestina.
Langkah terbaru Trump itu dinilai petinggi Organisasi Pembebasan Palestina sebagai sebuah tindakan untuk menghapus hak-hak warga Palestina. Dia menuding kebijakan itu digunakan Trump untuk meningkatkan potensi raihan suaranya pada pemungutan suara pekan depan.
Dalam sepekan terakhir, pemerintahan Trump mengeluarkan beberapa kebijakan yang pro-Israel, antara lain pencabutan larangan pendanaan atas proyek riset ilmiah Israel yang digelar di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan, wilayah yang diduduki Israel sejak perang tahun 1967.
Pemerintah Israel juga berencana mengeluarkan izin pembangunan pemukiman warga Yahudi di Kota Hebron meski dalam kesepakatan tidak tertulis dengan Uni Emirat Arab, Israel dan AS menyatakan akan menghentikan rencana pencaplokan wilayah yang selama ini diduduki warga Palestina.
Gugatan hukum
Keputusan Pemerintahan Trump untuk mengizinkan pencantuman Israel sebagai negara kelahiran warga AS yang lahir di Jerusalem tidak terlepas dari gugatan yang dilayangkan Keluarga Zivotofsky terhadap Pemerintah AS tahun 2 002.
Dikutip dari laman Times of Israel, Ari Zivotofsky dan istrinya, keduanya warga negara AS, tidak bisa mendapatkan status warga negara AS bagi anak ketiganya, Menachem Zivotofsky, karena dia lahir di Jerusalem tak lama setelah kedua orangtuanya pindah dari Maryland, AS.
Kedubes AS di Tel Aviv saat itu hanya mencantumkan bahwa Menachem lahir di Jerusalem tanpa menyebut Israel, sebuah hal yang tidak lazim karena setiap pemegang paspor AS yang lahir di luar negeri mencantumkan negara tempat kelahirannya. Bukan kota tempat kelahiran.
Zivotofsky mengatakan, dirinya merasa kebijakan itu sebagai kebijakan yang anti-Israel.
Namun, meski menandatangani dan menyetujui peraturan perundangan itu George W Bush, presiden AS dari Partai Republik memilih mengabaikannya.
Dia menilai peraturan perundangan tersebut mengganggu kebijakannya terkait status Jerusalem pada waktu itu. Mantan Presiden Barrack Obama mengikuti jejaknya ketika berkuasa. Bahkan, pada 2015, Mahkamah Agung AS membatalkan peraturan perundangan yang dimaksud melalui voting.
Salah satu anggota majelis hakim, Anthony Kennedy, menjelaskan, mayoritas hakim (enam hakim sepakat membatalkan peraturan perundangan itu dan tiga menolak) berpendapat bahwa presiden memiliki kekuasaan eksklusif untuk mengakui negara asing. Kekuasaannya itu termasuk untuk menentukan apa yang bisa dicantumkan atau tidak dicantumkan di dalam paspor.
”Pengakuan adalah masalah di mana bangsa harus berbicara dengan satu suara. Suara itu adalah suara presiden,” tulis Kennedy.
Salah satu anggota majelis hakim yang memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion), Hakim Antonin Scalia menyampaikan bahwa konstitusi membagi tanggung jawab untuk urusan luar negeri antara kongres dan presiden. (AFP/REUTERS)