9 Kekerasan Seksual Bukanlah Mitos
Ketiadaan payung hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual membuat para korban perempuan dan anak-anak (laki-laki dan perempuan) terus berada dalam ketidakpastian. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi harapan.
Selama satu dekade terakhir, kekerasan seksual telah menjadi mimpi buruk bagi perempuan dan anak-anak (perempuan dan laki-laki). Bahkan, di masa pandemi Covid-19, berbagai kasus kekerasan seksual masih terus muncul di lapangan. Namun, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diharapkan menjadi payung hukum untuk melindungi korban tak kunjung terwujud.
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Juli 2020, yang mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, hingga kini masih meninggalkan segudang pertanyaan pada wakil rakyat. Mengapa RUU tersebut dieliminasi dari daftar prolegnas prioritas? Mengapa RUU tersebut begitu sulit untuk dibahas?
Pertanyaan lain, apakah kekerasan seksual yang terjadi selama ini belum cukup membuka mata semua pihak, betapa kekerasan seksual menjadi ancaman terselubung bagi perempuan dan anak-anak di Tanah Air?
Menurut Fathurozi dari Forum Pengada Layanan (FPL), perempuan korban kekerasan menegaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak dibahas dan disahkan karena kekerasan seksual yang terjadi tidak terjangkau oleh hukum nasional. Sampai saat ini, belum adanya payung hukum untuk melindungi korban dan menghukum pelaku.
Itu nyata ada, bukan hanya mitos. Sembilan jenis kekerasan seksual semuanya terjadi di masyarakat. (Fathurozi)
Padahal, sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual, yang masuk dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual benar-benar terjadi di tengah masyarakat. ”Itu nyata ada, bukan hanya mitos. Sembilan jenis kekerasan seksual semuanya terjadi di masyarakat. FPL punya bukti-buktinya. Semua ada dalam dokumentasi kami,” ujar Fathurozi, Jumat (9/10/2020).
Bahkan, dari data kasus yang didokumentasikan FPL, sepanjang 2017-2020 (hingga 30 September 2020) ada 5.176 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut, 1.867 adalah kasus kekerasan seksual dan sembilan jenis kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ada dalam data kasus tersebut.
Baca juga : RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Ditunda, Keadilan bagi Korban Terhambat
Pada tahun 2019, FPL mencatat terdapat 1.266 kasus kekerasan seksual, dalam sembilan jenis kekerasan seksual tersebut. Pada tahun 2020, anggota FPL di 27 provinsi menerima pengaduan 1.221 kasus dan 396 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Kesembilan jenis kekerasan seksual tersebut adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Fathurozi mencontohkan, kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan. Pada tahun 2017, TRA seorang anak disabilitas intelektual (slow leaner) di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, diperkosa oleh tujuh laki-laki di malam hari saat dia dalam perjalanan pulang ke rumah seusai mencetak kartu rencana studi di sebuah warung internet. Korban diancam jika melaporkan kejadian yang dialami.
Pemerkosaan tersebut akhirnya terungkap setelah korban mengandung. Keluarga melaporkan kasus ini ke kepolisian. Saat dimintai keterangan selain TRA tidak boleh didampingi oleh anggota keluarganya, penyidik diketahui ternyata masih keluarga pelaku.
Polisi sempat menangkap 7 pelaku dan menahannya. Namun hanya sehari, para pelaku itu dibebaskan dengan alasan kurang bukti. Kasus ini akhirnya dihentikan.
Baca juga : Demi UU Penghapusan Kekerasan Seksual, Korban Pun Mulai Bersuara
Kekerasan seksual, dalam bentuk pemaksaan aborsi, seperti terjadi di Badung, Bali, tahun 2019. Seorang perempuan muda, AG, dihamili pacar kakaknya kemudian mengandung.
AG dipaksa kakaknya untuk menggugurkan kandungannya dengan disuruh minum jamu/ramuan, lalu malam hari perutnya mules dan janin jatuh di dalam lubang kloset dan dibungkus dengan kain dan ditaruh di kos. Kasus tersebut belakangan terungkap dan pecalang setempat kemudian melaporkan ke Polres Badung.
Selama penyelidikan/penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan di pengadilan, pendamping korban dari LBH APIK Bali sudah menjelaskan kronologi kasus dan bukti-bukti, tetapi aparat penegak hukum tetap berpandangan bahwa korban melakukan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang tentang Kesehatan. Korban ditahan dan divonis 1 tahun penjara dan pidana tambahan tiga bulan pelatihan kerja.
Baca juga : Penyusunan Regulasi Penghapusan Kekerasan Seksual Terkatung-Katung
Pemaksaan perkawinan sejak dulu sudah terjadi dan terus berlangsung sampai saat ini. Seorang anak perempuan, NEP (16), di Bone, Sulawesi Selatan, dipaksa orangtuanya menikah dengan D (24). NEP sempat menolak perjodohan tersebut karena ingin melanjutkan sekolah ke SMA, tetapi akhirnya terpaksa menerima perkawinan itu karena dijanjikan pendidikannya akan dibiayai oleh D. Kenyataannya, setelah menikah, pada tahun 2012, semua yang dijanjikan tidak dipenuhi.
Kekerasan seksual dalam bentuk perbudakan seksual juga terjadi. Di Tolitoli Utara, Sulawesi Tengah, HSN (13) diculik dan disekap oleh seorang paranormal di sebuah goa di tengah hutan selama 15 tahun mulai tahun 2003 dan ditemukan di goa pada tahun 2018.
Selama diculik dan disekap, korban sering dipaksa melayani hubungan seksual dengan pelaku. Korban bercerita bahwa dirinya sudah hamil 6 kali dan setiap bayinya lahir, pelaku membunuh bayi yang lahir tersebut.
Mayoritas tak berlanjut ke pengadilan
Kendati berbagai jenis kekerasan seksual tersebut terjadi hingga kini, keadilan jarang berpihak pada korban. Kenyataan di masyarakat, korban justru mengalami stigmatisasi dan dikriminasi, mengalami penghukuman sosial dan tidak manusiawi. Para korban sering mengalami persekusi, dikeluarkan dari sekolah dan tempat kerja, diusir dari rumah, tempat tinggal, lingkungan dan desa mereka, bahkan membayar beragam denda sosial untuk perdamaian.
FPL mencatat, 47 persen kasus kekerasan seksual diselesaikan dengan cara didamaikan atau korban dinikahkan dengan pelaku, korban diminta mencabut laporannya. Bahkan, 50 persen dari perdamaian tersebut difasilitasi oleh aparat, paling banyak oleh kepolisian, dan kasusnya dihentikan. Hanya 15-20 persen kasus kekerasan seksual dengan korban anak yang berlanjut di pengadilan.
Sejumlah kasus kekerasan seksual juga diungkapkan dalam testimoni sejumlah penyintas saat bersuara dalam ”Sidang Rakyat Mendesak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” yang digelar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), 2-4 Oktober 2020. Para penyintas kekerasan seksual mengungkapkan, trauma yang dialami bertahun-tahun yang sulit dihapus dalam hidupnya, atas kekerasan seksual yang dialami.
Saat menghadapi kekerasan seksual, di antara sembilan jenis kekerasan seksual, para penyintas umumnya tidak berdaya. Jangankan membawa ke ranah hukum, untuk membuka suara atas apa yang dialaminya, membutuhkan kekuatan dan keberanian yang besar.
Karena itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta Siti Mazuma, berulang kali menegaskan bahwa semangat dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah melindungi semua korban kekerasan seksual.
Maka, mengakui sembilan bentuk kekerasan seksual adalah bagian dari semangat untuk mendorong RUU tersebut. Sebab, selain mengatur pemulihan korban, RUU tersebut juga mengatur tentang pencegahan, hukum acara, dan hukum pidana.