Selain BI, Prinsip Inti Wakaf (WCP) juga diinisiasi Institut Riset dan Pelatihan Islam-Bank Pembangunan Islam, Badan Wakaf Indonesia, serta lembaga terkait dari Selandia Baru, Australia, Afrika Selatan, dan Kuwait.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia mendorong inisiatif wakaf lintas negara untuk saling menopang kondisi ekonomi yang beragam di antara negara-negara Islam. Wakaf lintas negara ini dapat mendukung program pemerintah setempat dalam menekan angka kemiskinan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Doni P Joewono menyampaikan hal itu dalam diskusi virtual ”Wakaf Lintas Negara di Era Normal Baru: Keuntungan dan Tantangan”, Jumat (30/10/2020). Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Festival Ekonomi Syariah Indonesia (ISEF) 2020.
Berdasarkan data Bank Dunia, hingga pertengahan Juni 2020, sebanyak 30 persen negara Muslim masuk kategori berpendapatan rendah atau miskin dan 29 persen kelompok berpendapatan menengah bawah. Hanya 29 persen negara Muslim yang masuk dalam kelompok menengah atas dan 13 persen negara penghasilan tinggi.
Sejak pertengahan tahun ini, Indonesia masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas dengan pendapatan per kapita hingga 12.535 dollar AS per tahun.
”Mencermati kondisi ekonomi yang beragam di antara negara Islam, kami sangat merekomendasikan agar negara-negara tersebut saling membantu lintas negara. Salah satunya melalui wakaf,” ujar Doni.
Mencermati kondisi ekonomi yang beragam di antara negara Islam, kami sangat merekomendasikan agar negara-negara tersebut saling membantu lintas negara. Salah satunya melalui wakaf.
Menurut Doni, dalam mengimplementasikan wakaf lintas negara tidaklah mudah. Terdapat sejumlah tantangan terkait perbedaan aturan implementasi wakaf yang berbeda pada lintas yurisdiksi.
Untuk itu, BI mendorong pembentukan Prinsip Inti Wakaf (WCP) agar ada standar dalam mendukung wakaf dapat diterima di seluruh dunia. Selain BI, WCP juga diinisiasi Institut Riset dan Pelatihan Islam-Bank Pembangunan Islam (IRTI-IsDB), Badan Wakaf Indonesia (BWI), serta lembaga terkait dari Selandia Baru, Australia, Afrika Selatan, Kuwait, dan Bosnia-Herzegovina.
”Kelompok kerja internasional ini dibentuk untuk memformulasikan kerangka regulasi umum untuk pengelolaan wakaf,” katanya.
Doni menambahkan, tujuan dibentuknya WCP adalah mengenalkan dan menyatukan standard regulasi, supervisi tata kelola, serta pengawasan sistem wakaf. Salah satu prinsip dalam WCP nantinya adalah terkait skala prioritas bagi negara penerima wakaf, yakni menyangkut tingkat kemiskinan, dampak bencana, dan kedekatan wilayah dengan negara donor.
Pemerintah Indonesia saat ini juga tengah mengembangkan wakaf produktif sebagai salah satu instrumen pembangunan. Salah satunya dengan menyediakan platform cash wakaf linked sukuk (CWLS) yang hasil investasinya dapat dimanfaatkan untuk kegiataan sosial.
Pemerintah pertama kali menerbitkan wakaf yang ditempatkan di sukuk negara pada 10 Maret 2020 melalui metode penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (private placement). Melalui metode tersebut, peminat langsung menyetorkan dana yang dikumpulkan Badan Wakaf Indonesia.
Sebagai kelanjutan dari CWLS, pemerintah pada 9 Oktober 2020 kembali membuka instrumen baru, yakni Wakaf Green Sukuk Ritel Seri SWR-001. Instrumen ini dapat dibeli masyarakat dalam bentuk wakaf, tetapi melalui instrumen keuangan dengan empat distributor, yakni Bank Muamalat, Bank Mandiri Syariah, BRI Syariah, dan BNI Syariah.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama Tarmizi Tohor menilai, potensi wakaf di Indonesia masih cukup besar. Tercatat potensi wakaf secara nasional senilai Rp 217 triliun atau setara 3,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Potensi tersebut berasal dari 74 juta jiwa penduduk kelas menengah beragama Islam di Indonesia. Potensi besar ini bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan wakaf dengan instrumen Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk.
”Indonesia sendiri memiliki nazhir (penerima) wakaf terbanyak di dunia di mana ada sekitar ribuan nazhir perorangan dan 248 nazhir wakaf uang,” ujarnya.
Potensi wakaf di Indonesia masih cukup besar. Tercatat potensi wakaf secara nasional senilai Rp 217 triliun atau setara 3,4 persen dari PDB Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Pemberdayaam Wakaf Selandia Baru Husain Benyounis menuturkan, sistem wakaf yang terkelola dengan baik dan didukung teknologi dan selaras dengan program lain diharapkan menjadi mesin untuk memobilisasi dana.
”Adanya wakaf lintas negara dapat mendukung program pengembangan ekonomi pemerintah, khususnya menekan angka kemiskinan dan pembangunan manusia,” ujarnya.
Dia melanjutkan, wabah Covid-19 telah menyebabkan kemunduran signifikan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Imbasnya sangat negatif bagi perkembangan ekonomi internasional dan pasar keuangan global, tak terkecuali ekonomi dan keuangan syariah.
Benyounis berharap semua negara Islam untuk saling bekerja sama agar bisa bangkit dari krisis global. ”Berkenaan dengan kinerja ekonomi yang beragam antarnegara Islam, diperbolehkan dan dianjurkan agar umat Islam saling membantu lintas negara,” ujarnya.