Pencegahan perkawinan anak masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Indonesia. Regulasi saja tak cukup. Tidak bisa berhenti di kampanye dan deklarasi, tetapi membutuhkan upaya bersama semua pihak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
Jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda Tanah Air, perkawinan anak sudah menjadi persoalan bagi bangsa Indonesia. Hasil Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2019 memperkirakan, ada 1,2 juta perkawinan anak perempuan Indonesia. Saat pandemi, situasi perkawinan anak memburuk, bahkan bisa menjadi bom waktu bagi Indonesia.
Meski dari sisi regulasi ada kemajuan, yakni adanya Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 1/1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 7 yang mengatur perkawinan hanya diizinkan jika laki-laki dan perempuan mencapai usia 19 tahun, pada praktiknya perkawinan anak masih marak terjadi.
Di daerah yang tinggi prevalensi perkawinan anak pada 2019, seperti di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat, perkawinan anak menjadi salah satu jalan yang ditempuh saat krisis pandemi. Selain pengaruh kondisi ekonomi, pembatasan sosial yang berdampak pada kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau sekolah dari rumah ikut memicu perkawinan anak, terutama di daerah terpencil.
Di Sulawesi Tengah (Sulteng), misalnya, praktik perkawinan anak yang berlangsung sejak zaman dulu, di masa pandemi Covid-19 kembali marak terjadi. Tidak hanya di pelosok, di daerah yang dekat dengan Kota Palu pun terjadi perkawinan anak.
”Ini saya baru kembali dari salah satu desa di Kabupaten Sigi, tempatnya cukup dekat dengan Kota Palu, tercatat sudah 15 perkawinan anak hingga Oktober 2020 ini, dan hanya dua perkawinan yang memperoleh dipensasi dari pengadilan,” ujar Dewi Rana, Direktur Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan (Libu Perempuan) Sulteng, Jumat (30/10/2020) petang.
Sebelumnya, awal pekan ini, dalam sebuah wabinar, Dewi memaparkan, gara-gara tidak ada sinyal di wilayah Pegunungan Raranggonau, Kabupaten Sigi, sejumlah anak tidak mengikuti pembelajaran di masa pandemi Covid-19 dan akhirnya menikah.
”Bulan ini, ada sekitar tujuh atau delapan anak yang mau kawin seperti di atas, dorang so (mereka sudah) malas sekolah, tidak ada sinyal juga di gunung,” ujar Dewi mengutip pernyataan seorang guru di Dusun Raranggonau, Desa Pombewe, Kecamatan Sigibiromaru. Bahkan, di Kabupaten Donggala, seorang guru menginformasikan di bulan September lalu, ada tiga perkawinan anak di desanya.
Memburuknya situasi perkawinan anak sebenarnya sudah diperkirakan akan terjadi semenjak awal pandemi. Terbatasnya akses pendidikan membuat anak-anak perempuan di pelosok pedesaan tidak bisa mengakses pendidikan. Ketika sekolah terputus, perkawinan menjadi pilihan orangtua.
Temuan Penelitian Kualitatif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) tentang perkawinan anak pada Mei-Juli 2020 juga menemukan persepsi masyarakat tentang perkawinan anak, khususnya anak perempuan, sebagai hal yang lumrah.
Bahkan, mayoritas masyarakat tetap berpendapat bahwa menikahkan anak perempuannya supaya terhindar dari zina dan supaya ada yang mengurus. Bahkan, beberapa keluarga berpikir, dengan melepaskan anak perempuannya menikah, beban ekonomi keluarga akan berkurang.
Kualitas manusia
Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lenny N Rosalin, mengingatkan, dampak perkawinan anak mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi.
Ketika perkawinan anak terjadi, pendidikan anak berhenti, kesehatan reproduksi akan terganggu, bahkan menyumbang angka kematian ibu dan bayi. Ketika bekerja, karena pendidikan rendah, tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah yang memadai. Kondisi tersebut akan memengaruhi indeks pembangunan manusia dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengakui, isu perkawinan anak merupakan salah satu tantangan yang dapat memengaruhi pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.
Ketika perkawinan anak terjadi, pendidikan anak berhenti, kesehatan reproduksi akan terganggu, bahkan menyumbang angka kematian ibu dan bayi.
Selain tradisi masyarakat masih kuat, ada sejumlah faktor penyebab langgengnya perkawinan anak. Misalnya, tak semua anak memiliki resiliensi tinggi, perilaku berisiko pada remaja, belum pahamnya orangtua, keluarga, masyarakat, dan tokoh adat/agama/masyarakat tentang hak anak.
Selain itu, adanya narasi yang tidak tepat/seimbang terhadap perkawinan anak sehingga tidak mempertimbangkan risiko bahayanya. Karena itu, perlu perubahan pola pikir dan perilaku. ”Pencegahan perkawinan anak memerlukan upaya komprehensif yang dilakukan secara kolaboratif,” kata Woro.