Gempa yang mengguncang Turki dan menimbulkan sejumlah korban jiwa pada Jumat lalu agar menjadi perhatian Indonesia yang juga memiliki banyak sumber gempa.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gempa berkekuatan M 7 yang melanda Turki dan Yunani pada Jumat (30/10/2020) telah menewaskan sedikitnya 27 orang dan melukai 800 orang. Gempa yang terjadi ini menjadi peringatan tentang ancaman bencana alam selama pandemi yang harus diantisipasi.
Kota Izmir, kota ketiga terbesar di Turki, mengalami kerusakan paling parah. Hingga Sabtu (31/10/2020), dilaporkan 20 bangunan di kota itu hancur dan 25 orang ditemukan meninggal. Dua korban jiwa lainnya berasal dari Pulau Samos, Yunani, yang tertimpa bangunan ambruk.
Sejauh ini sekitar 100 orang telah diselamatkan dan lebih dari 800 orang mengalami luka-luka. Jumlah korban masih mungkin bertambah. Alat-alat berat masih bekerja membersihkan puing-puing bangunan yang runtuh dan tim penyelamat sedang membongkar dinding untuk menjangkau mereka yang terjebak di bawah reruntuhan. Sementara gempa susulan masih melanda dan mencapai 470 kali.
Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) mengukur besarnya gempa mencapai M 7, sementara otoritas Turki mengatakan gempa berkekuatan M 6,6. Pusat gempa berada di Laut Aegean, sekitar 17 kilometer di lepas pantai Izmir, pada kedalaman 16 km sehingga guncangannya sangat kuat.
Gempa juga dilaporkan memicu tsunami kecil di pesisir Turki dan Yunani. Tsunami terekam di sejumlah stasiun pemantau gelombang di pulau-pulau di Laut Aegean, seperti Stasiun Syros setinggi sekitar 8 sentimeter (cm), Kos sekitar 7 cm, Plomari sekitar 5 cm, dan Kos Marina sekitar 4 cm.
Kewaspadaan di Indonesia
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, gempa ini perlu menjadi perhatian bagi Indonesia yang juga memiliki banyak sumber gempa. ”Mekanisme sumber gempa ini berupa patahan dengan mekanisme pergerakan turun (normal fault) yang dipicu aktivitas Sesar Sisam. Ini merupakan sesar aktif dengan panjang sekitar 30 kilometer,” ujarnya.
Sesar Sisam ini sudah beberapa kali terjadi gempa kuat pada masa lalu, seperti gempa 1904 berkekuatan 6,2 dan gempa pada 1992 berkekuatan 6,0. Sedangkan gempa dan tsunami merusak pernah melanda Bodrum, Turki, akibat gempa berkekuatan 6,6 pada tahun 2017.
”Gempa ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua yang tinggal di wilayah Indonesia dengan kondisi seismik aktif dan memiliki banyak jalur sesar aktif di dasar laut, bahkan lebih banyak dibandingkan Turki. Kewaspadaan terhadap gempa dan tsunami perlu terus ditingkatkan,” kata Daryono.
Ahli teknik sipil dan tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Widjo Kongko, mengatakan, Indonesia perlu menyiapkan strategi mengantisipasi risiko terjadinya bencana alam di tengah pandemi. Gempa bumi dan tsunami atau bencana-bencana alam lain, seperti banjir dan longsor, bisa terjadi sewaktu-waktu di Indonesia, padahal penanganan pascabencana berisiko memicu penularan Covid-19, terutama jika terjadi pengungsian.
”Risiko bencana ganda harus diantisipasi selama pandemi ini,” katanya.
Menurut Widjo, Indonesia juga harus belajar dari Turki dalam hal penguatan standar bangunan tahan gempa. Sekalipun gempa kali ini sangat kuat dan dangkal, kerusakan dan korban relatif kecil karena penerapan konstruksi tahan gempa. ”Informasi dari kolega di sana, konstruksi bangunan rata-rata masih bertahan selama beberapa detik setelah guncangan, yang memberikan kesempatan penghuni bisa keluar sebelum ambruk. Ini menunjukkan standar bangunannya cukup baik. Bangunan yang roboh rata-rata juga bangunan tua,” ujarnya.
Widjo mengatakan, Turki banyak belajar dari kejadian gempa Kocaeli yang merusak pada 1999, dengan memperkuat standar bangunan agar tahan gempa. Dalam gempa berkekuatan M 7,4 waktu itu, jumlah korban jiwa mencapai 17.118 orang.
Berdasarkan kajian Derin N Ural dari Center of Excellence for Disaster Management Istanbul Technical University yang dipublikasikan di jurnal Encyclopedia of Earthquake Engineering (2015), pascagempa ini Turki membuat banyak perubahan, di antaranya dengan dibentuknya Direktorat Penanggulangan Bencana Turki (AFAD).
Selain itu, sejak itu dibentuk Program Asuransi Gempa Nasional untuk properti hunian. Pada 2018, Turki juga memperbarui standar bangunan tahan gempa, yang memperkuat standar yang telah mereka buat sejak 2007. (REUTERS)