Putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta atas terdakwa perkara dugaan korupsi dan pencucian uang Asuransi Jiwasraya diapresiasi. Namun, perhatian harus diarahkan pada jeritan nasabah.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Harian Kompas, 27 Oktober 2020, menulis dalam judul besar ”Uang Pengganti Terbesar dalam Perkara Korupsi”. Judul itu menggambarkan vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas diri Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat.
Kedua terdakwa terkait dalam kasus gagal bayar Asuransi Jiwasraya. Hakim memutuskan Benny harus membayar uang pengganti Rp 6,078 triliun dan Heru harus membayar uang pengganti Rp 10,728 triliun. Keduanya divonis penjara seumur hidup.
Putusan itu diapresiasi. Apresiasi datang. Indonesia Corruption Watch (ICW)—lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi isu pemberantasan korupsi—memuji putusan hakim itu. Uang pengganti Rp 16 triliun merupakan terbesar dalam catatan peneliti ICW, Kurnia Ramadhana. ”Putusan itu harus dicontoh hakim,” katanya. ICW adalah kelompok kritis dalam isu pemberantasan korupsi.
Tajuk Rencana Kompas, 28 Oktober 2020, menulis demikian: ”Putusan Majelis Hakim Tipikor dalam kasus korupsi dan pencucian uang di PT Asuransi Jiwasraya itu seolah menjadi pelepas dahaga saat ’kerongkongan’ pemberantasan korupsi negeri ini nyaris kering.” Harian ini menulis, putusan itu memberikan pelajaran kepada Kejaksaan Agung untuk lebih berani menuntut sesuai bukti karena korupsi merugikan masyarakat dan memperburuk citra bangsa.
Badan Pemeriksa Keuangan mencatat kerugian negara dalam perkara Jiwasraya Rp 16,18 triliun. Majelis hakim menilai Benny dan Heru dihukum berat karena keduanya menggunakan keahliannya untuk merusak pasar modal dan dunia asuransi Indonesia. Selain Benny dan Heru, majelis juga menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada terdakwa lain dalam perkara ini. Mereka ialah eks Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, eks Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan, serta Direktur PT Maxima Integra Tbk Joko Hartono Tirto.
Putusan majelis progresif, tetapi tetap butuh pengawalan. Masih ada upaya hukum banding, kasasi, dan mungkin saja peninjauan kembali (PK). Upaya hukum banding, kasasi, dan PK adalah persidangan tertutup dan hampir tanpa kawalan. Ruang gelap persidangan inilah yang sebenarnya rawan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
Meski kekuasaan kehakiman itu disebut merdeka, sudah menjadi pemahaman umum, ruang keadilan tetap bisa ditransaksikan. Hukum selalu terkait dengan politik, termasuk dalam kasus Jiwasraya. Mengapa skandal Jiwasraya bisa terjadi, tetap menarik untuk ditelusuri.
Terlepas dari putusan hakim yang mendapat pujian, perhatian harus diarahkan pada jeritan nasabah. Nasabah yang menjaminkan hari tuanya kepada Jiwasraya. Nasib mereka tak boleh dilupakan. Begitu pula dengan nasabah asuransi WanaArtha Life yang ikut tersangkut perkara ini. Nasib mereka harus diutamakan. Klaim polis yang selama ini gagal bayar harus diupayakan dibayar. Seperti dituturkan Fuk Ing, penulis surat pembaca di harian Kompas, 13 April 2020. Fuk Ing menulis demikian:
Yang terhormat Kejaksaan Agung dan Otoritas Jasa Keuangan, saya ibu rumah tangga dengan tiga anak. Saya mengidap kanker lidah stadium tiga. Hidup saya kritis, butuh biaya melanjutkan pengobatan. Saya butuh biaya untuk sekolah anak saya. Kondisi keuangan menjadi kritis akibat pemblokiran rekening efek WanaArtha Life. Saya butuh mencairkan polis saya segera. Jika tidak, hidup saya bisa menjadi sangat pendek.
Yang saya ketahui, WanaArtha Life legal, resmi di bawah pengawasan OJK, sehingga kami berani ambil polis. Selama ini, WanaArtha tidak pernah ingkar dalam pemenuhan hak nasabah, sampai kemudian ada pemblokiran rekening, imbas dari kasus Jiwasraya.
Saya mohon kepada Kejaksaan Agung dan OJK untuk sesegera mungkin membuka blokir rekening WanaArtha. Tujuannya agar saya selaku nasabah bisa mendapatkan kembali uang polis yang menjadi hak saya. Saat ini, hidup saya sedang berkejaran dengan waktu. Saya butuh kejelasan. Demi kelangsungan hidup saya, terutama kelanjutan pendidikan anak-anak saya.
Jeritan Fuk Ing patut didengar. Namun, jeritannya itu belum direspons. Ada juga jeritan Ahmad Rudi. Rudi menulis di Kompas, 12 Oktober 2020. ”Saya tidak tahu berapa ribu orang yang senasib dengan saya akibat ’gonjang-ganjing’ PT Asuransi Jiwasraya. Saya peserta program Beasiswa Berencana dengan nomor polis 208102858302. Saya tertarik karena pengalaman pertama lancar, justru sebelum era serba komputer. Program kedua ini habis kontrak Agustus 2019. Klaim sudah diajukan, bolak-balik ke agen dan ke kantor cabang, dapat jawaban bahwa pencairan dana harus menunggu giliran alias antre. Sekarang sudah Oktober 2020, berarti saya sudah sabar menanti lebih dari satu tahun. Tolonglah, nilainya memang kecil (sekitar Rp 7 juta), tetapi ini sangat berarti bagi kelangsungan pendidikan anak saya di Pondok Modern Gontor, Kampus Banyuwangi.”
Jeritan Ahmad Rudi ditanggapi Wiwik Prihatini, Sekretaris Perusahaan PT Asuransi Jiwasraya. ”Berdasarkan data portofolio PT Asuransi Jiwasraya untuk nomor polis 208102858302 dengan nama produk Beasiswa Berencana, bukan merupakan polis/produk PT Asuransi Jiwasraya (Persero).”
Entah apa yang terjadi? Ditipu? Jadi, negara perlu hadir. Keberpihakan harus ditunjukkan kepada nasabah yang tak mendapatkan haknya. Namun, yang harus jadi perhatian, bagaimana pengawasan terhadap industri asuransi, termasuk Jiwasraya.
Boleh jadi masih ada asuransi sejenis yang berpotensi bermasalah. Ini harus diantisipasi. Jadi, bukan hanya menghukum pelaku dan memerintahkan membayar uang pengganti untuk negara, tetapi bagaimana memikirkan nasib nasabah. Hukum harus bisa memberikan keadilan untuk rakyat.