Demokrasi tak sekadar menggelar pemilu secara rutin dan kubu oposisi bisa beralih menjadi penguasa. Hal yang lebih substansial, demokrasi harus mampu memastikan warga etnis mayoritas ataupun minoritas hidup sejahtera.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Myanmar tak lama lagi menggelar pemilu untuk kedua kalinya sejak pemerintahan militer berakhir tahun 2011. Kubu Aung San Suu Kyi diperkirakan kembali menang.
Setelah pemerintahan militer berakhir, pemilu pertama berlangsung tahun 2015. Ketika itu, partai tempat Suu Kyi bernaung, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), menang besar. Suu Kyi pun menjadi pemimpin pemerintahan dengan jabatan state counsellor. Setelah sekian lama mengalami represi militer, peraih Nobel Perdamaian itu akhirnya beralih sebagai salah satu pemimpin Myanmar.
Myanmar kian membuka diri, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini terjadi setelah berpuluh tahun lamanya, saat di bawah pemerintahan militer, negara itu menutup diri.
Pemilu yang bebas dan dimenangi NLD, kubu oposisi di era pemerintahan militer, serta keterbukaan terhadap investasi asing ternyata belum menjamin demokratisasi berbuah manis di Myanmar. Hal ini terlihat pada tahun 2016 dan 2017 saat terjadi kekerasan terhadap warga etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Hendak memberangus milisi, petugas keamanan Myanmar dilaporkan bertindak melebihi batas sehingga warga sipil tak berdosa meninggal. Ratusan ribu warga etnis ini meninggalkan Myanmar menuju pengungsian di Bangladesh.
Selama ini, warga etnis Rohingya yang diperkirakan datang ke Myanmar beberapa abad silam tak diakui kewarganegaraannya. Kondisi itu menimbulkan persoalan, antara lain, hak-hak mereka sebagai warga negara tidak dipenuhi.
Ada banyak etnis minoritas lain di negara itu, seperti Kachin. Secara umum terdapat lebih dari 130 etnis di Myanmar dengan bahasa berbeda-beda. Artinya, sementara Burma menjadi etnis mayoritas dan Buddha sebagai agama utama, Myanmar tergolong negara dengan tingkat keberagaman cukup tinggi. Isu keberagaman inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah di tengah demokratisasi Myanmar.
Menjelang penyelenggaraan pemilu pada 8 November 2020, isu terkait etnis minoritas kembali mencuat. Human Rights Watch menilai, tanpa transparansi yang memadai, pemungutan suara di sejumlah daerah pemilihan di wilayah etnis minoritas dibatalkan. Alasannya, pandemi Covid-19 hingga situasi keamanan yang tak mendukung. Bisa jadi, hal ini akan menguntungkan NLD yang harus berjuang keras meraih simpati di kantong-kantong minoritas.
Demokrasi tidak sekadar menggelar pemilu secara rutin dan kubu oposisi bisa beralih posisi menjadi partai penguasa. Hal yang lebih substansial ialah demokrasi harus mampu memastikan semua warga, etnis mayoritas ataupun minoritas, hidup aman dan memiliki masa depan dengan hak-hak yang terpenuhi.