Generasi muda rela berutang demi pembelian yang tidak esensial, padahal bisa ditabung. Mereka kerap mengabaikan penyisihan dana darurat meski setelah pandemi saya yakin perilaku ini akan berubah.
Oleh
Prita Hapsari Ghozie
·4 menit baca
Beberapa bulan terakhir, saya kerap diajak untuk memberikan materi pengelolaan keuangan, terutama untuk generasi muda. Di akhir bulan Oktober, Indonesia merayakan Hari Sumpah Pemuda yang menjadi pengingat bangkitnya para pemuda untuk melakukan suatu kebaikan. Dalam hal ini, saya ingin mengajak para pemuda untuk bertekad memiliki masa depan lebih baik dan memperbaiki keuangannya.
Di masa sebelumnya, berdasarkan studi yang dilakukan CFA Insitute pada 2018, ditemukan bahwa generasi muda milenial terlalu percaya diri secara umum dan terlalu percaya diri dalam kehidupan finansial mereka. Hal ini juga disebabkan karena generasi milenial muda belum pernah mengalami krisis keuangan yang nyata, seperti halnya krisis tahun 1998 dan tahun 2008.
Namun, lain ceritanya setelah menjalankan masa pandemi ini. Generasi muda mulai berubah dan peduli dengan keuangannya.
Sepanjang karier saya sebagai konsultan keuangan, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari perilaku generasi muda, terutama di awal bekerja, meskipun tidak dapat disamaratakan. Contohnya, generasi muda rela untuk berutang demi pembelian yang tidak esensial, padahal bisa ditabung terlebih dahulu. Generasi muda kerap mengabaikan penyisihan dana darurat meski setelah pandemi saya yakin perilaku ini pasti akan berubah.
Selain itu, generasi muda juga kerap menunda berinvestasi. Untuk kesalahan yang terakhir ini, rupanya penundaan investasi juga terhambat oleh pengelolaan utang yang buruk dan ketidakmampuan menjaga gaya hidup.
Padahal, satu modal yang dimiliki oleh generasi muda dibandingkan dengan yang lain adalah waktu. Investasi terbaik dilakukan sedini mungkin karena ada potensi pengembangan hasil investasi berlipat.
Misalkan ada seorang pemuda berusia 20 tahun yang rajin berinvestasi sejumlah Rp 1 juta setiap bulan. Lalu, bandingkan dengan manajer mapan berusia 40 tahun yang juga berinvestasi sejumlah Rp 4 juta setiap bulan. Secara matematis, jika dua investor tersebut menyimpan uang di instrumen investasi dengan rerata imbal hasil 10 persen per tahun, pada usia 55 tahun kelak, dana si pemuda akan berkembang menjadi Rp 3,83 miliar, sedangkan dana si manajer mapan akan berkembang menjadi Rp 826,2 juta.
Selain itu, investasi akan memberikan hasil terbaik jika dilakukan dalam jangka panjang. Artinya, kalangan muda memiliki waktu yang paling baik untuk memulai investasi dibandingkan dengan generasi lainnya.
Seorang first jobber, akan memiliki keuntungan untuk dapat mengalokasikan setidaknya 20 persen dari pemasukan setiap bulannya. Bandingkan dengan generasi muda yang sudah berkeluarga atau memiliki banyak tanggungan, mungkin hanya memiliki kemampuan menyisihkan di bawah 10 persen dari pemasukan.
Di masa pandemi seperti ini, apakah generasi muda tetap perlu berinvestasi? Tentu saja! Namun, upayakan untuk mengikuti pedoman berikut.
Pertama, berpegang pada rencana keuangan. Bagaimanapun juga, investasi bukan merupakan tujuan akhir dalam usaha akumulasi kekayaan seseorang. Setelah memahami kebutuhan untuk memenuhi tujuan keuangan, maka pilihan jenis investasi dapat disesuaikan.
Biasanya, kalangan muda memiliki tiga tujuan keuangan yang cukup umum, misalnya dana menikah, dana membeli rumah tinggal, dan dana pensiun. Pemenuhan tiga tujuan keuangan itu akan memiliki jangka waktu yang berbeda.
Kedua, profil sebagai investor. Ada tiga hal yang perlu dikenali oleh setiap investor muda, yaitu profil risiko, minat terhadap risiko, dan toleransi risiko.
Secara umum, sebetulnya generasi muda memiliki keleluasaan untuk memiliki portofolio investasi yang lebih agresif. Namun, bisa saja akibat ketidakpahaman, generasi muda cenderung memilih investasi yang aman-aman (alias) berimbal hasil rendah. Solusinya, belajarlah menaikkan toleransi risiko agar dapat mengakses pilihan jenis investasi yang lebih sesuai dengan kebutuhan jangka panjang.
Ketiga, kebutuhan mencari kenaikan nilai aset atau penghasilan berkala. Ada jenis investasi yang memberikan hasil berupa penghasilan berkala, seperti surat berharga negara ritel. Selebihnya, jenis investasi yang memberikan hasil berupa kenaikan nilai aset jika investor menjual aset investasi di harga yang lebih tinggi daripada saat membeli seperti saham dan reksa dana. Untuk generasi muda yang masih produktif, saya sangat sarankan untuk lebih memilih jenis investasi berupa kenaikan nilai aset karena penghasilan dapat diperoleh dari bekerja secara aktif.
Keempat, alokasi untuk dana darurat dan investasi. Meski investasi penting untuk dilakukan, alokasi untuk dana darurat juga sebaiknya tetap dibuat. Terlebih di momen perekonomian yang masih bergejolak, dana darurat memiliki peranan penting untuk membantu seseorang jika terjadi kesulitan keuangan.
Alokasi untuk dana darurat sebaiknya sekitar 10 persen dari penghasilan, sedangkan alokasi untuk investasi bisa berkisar 10-20 persen atau lebih dari penghasilan.
Terakhir, investasi sebaiknya tidak sekadar ikut-ikutan semata padahal tidak memahami apa yang dibeli. Lalu, saat sudah mulai berinvestasi, perlu waspada terhadap penyakit rakus maupun penyakit terlalu takut.
Jadi, generasi muda sebaiknya mulai memahami pentingnya berinvestasi meski di masa penuh ketidakpastian. Mari jadikan momen sumpah pemuda tahun ini untuk juga bersumpah melakoni investasi untuk masa depan.