Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan pandemi kembali dipertanyakan dengan mendorong liburan panjang yang berpotensi tinggi meningkatkan penularan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan pandemi kembali dipertanyakan dengan mendorong liburan panjang yang berpotensi tinggi meningkatkan penularan. Di sisi lain, kemampuan tes tidak mengalami peningkatan yang ditunjukkan dengan semakin tingginya kesenjangan antara jumlah orang yang diperiksa dan suspect.
”Kebijakan liburan ini kontradiktif dengan penanganan pandemi, apalagi ada diskon pesawat dan hotel yang akan menarik orang untuk liburan. Sudah pasti kasus akan kembali meningkat,” kata epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, Jumat (30/10/2020).
Sekalipun sudah ada imbauan untuk menerapkan protokol kesehatan selama liburan, baik di perjalanan maupun di tempat wisata, menurut Pandu, hal ini tidak akan bisa menghindarkan dari peningkatan penularan. ”Pasti ada manfaatnya pakai masker, tetapi bagaimana dengan jaga jarak? Risiko penularan tetap besar. Seperti yang sudah-sudah, libur panjang yang memicu tingginya mobilitas pasti menaikkan kasus,” ujarnya.
Pandu dan tim dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI dengan dukungan Bappenas baru-baru ini membuat pemodelan tentang wabah Covid-19 di Indonesia yang diperkirakan baru akan mereda pada awal 2022. Sedangkan puncak penambahan kasus harian diperkirakan terjadi pada trimester pertama pada 2021.
”Model yang kami buat waktu itu belum memperhitungkan libur panjang dan pilkada. Ada kemungkinan akan memperpanjang gelombang pertama yang sampai sekarang belum mencapai puncak ini,” kata Pandu.
Guru Besar Fakultas Kedokteran UI Akmal Taher juga mengatakan, pelonggaran mobilitas selama liburan panjang ini seharusnya diikuti dengan peningkatan upaya penanggulangan, khususnya tes dan pelacakan kasus. ”Namun, saat ini untuk tes tidak terlihat ada peningkatan signifikan,” katanya.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, penambahan kasus pada Jumat 2.897 orang dengan korban jiwa 81 orang. Jumlah kasus ini diperoleh dari pemeriksaan terhadap 24.854 spesimen, sedangkan orang yang diperiksa hanya 23.278. Padahal, jumlah suspect atau orang yang dicurigai mencapai 68.292 orang atau hanya sepertiganya yang diperiksa.
Jumlah orang yang diperiksa ini jauh dari standar minimal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 1 per 1.000 orang per minggu atau untuk Indonesia seharusnya 38.500 orang per hari. Laporan WHO tentang situasi Indonesia pada 28 Oktober 2020 juga menggarisbawahi minimnya tes di Indonesia.
Disebutkan, pada 28 Oktober, jumlah spesimen harian dan orang yang diuji masing-masing adalah 40.572 dan 27.344. Pada hari yang sama, jumlah kasus yang dicurigai pada hari itu adalah 169.833.
”Kesenjangan antara kasus yang dicurigai dan orang yang dites telah melebar sejak 29 Agustus. Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan kapasitas laboratorium guna memastikan pengujian semua kasus yang dicurigai,” tulis laporan ini.
Berdasarkan data WHO, daerah yang sudah memenuhi ambang minimal tes di Indonesia adalah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dan Papua. Sekalipun demikian, dari keempat daerah ini, belum satu pun yang rasio kasus positifnya di ambang aman, rata-rata masih di atas 10 persen. Secara nasional, rasio positif 14,3 persen dari ambang maksimal 5 persen.
”Kalau memang mau niat meningkatkan tes seharusnya bisa dengan menentukan target setiap daerah, lalu memantaunya. Namun, sekarang memang belum terlihat, padahal kalau alasannya keterbatasan PCR, bisa juga dengan tes cepat antigen,” kata Akmal.
Transparansi
Selain inkonsistensi kebijakan dalam penanganan pandemi, Pandu juga mempertanyakan transparansi dalam pelacakan kasus, termasuk bagi pejabat publik yang positif. ”Saya dengar informasi tentang adanya menteri-menteri yang positif, tetapi kenapa tidak mau umumkan kepada publik? Mereka seharusnya menjadi contoh baik keterbukaan informasi,” kata Pandu.
Menurut dia, pejabat publik yang terinfeksi Covid-19 harus memberi tahu secara terbuka dan bertanggung jawab agar pelacakan kasus bisa dilakukan karena kemungkinan interaksinya yang luas. ”Publik harus tahu, tidak cukup isolasi mandiri,” katanya. ”Presiden Donald Trump saja mengumumkan saat diketahui positif. Itu etikanya sebagai pejabat publik.”