Kerja di Era Digital
Kita perlu membekali masyarakat agar dapat bertoleransi terhadap tekanan, dapat tenang menghadapi kompetisi, mampu tetap berpikir luwes, dan mengembangkan resiliensi.
Beberapa hari lalu World Economic Forum menerbitkan laporannya, ”The Future of Jobs Report 2020” yang sangat diwarnai ulasan terkait konteks pandemi Covid-19. Situasi sekarang menghadirkan gambaran tidak jelas mengenai kondisi kerja dan pasar dalam lima tahun ke depan.
Bagaimanapun, dengan hadirnya teknologi yang telah sangat canggih, tak dapat dicegah akan ada banyak adopsi teknologi yang mengubah deskripsi kerja serta tuntutan keterampilan dan kompetensi. Itu berarti mengubah banyak hal lain juga.
Perubahan mendasar
Pada tahun 2025, diperkirakan waktu kerja yang digunakan manusia dan mesin akan sama besarnya. Dari perusahaan yang disurvei, ada 43 persen yang menyatakan akan mengintegrasikan teknologi dan mengurangi angkatan kerjanya. Sementara itu, ada 34 persen yang berencana memperluas tenaga kerja demi dapat mengintegrasikan teknologi.
Ada cukup banyak pekerjaan hilang, tetapi ada juga pekerjaan baru yang tercipta. Yang baru muncul lebih lambat daripada yang hilang mengingat ada cukup banyak pekerjaan yang dapat digantikan oleh mesin dan teknologi.
Pola yang sama, di satu sisi, tak terhindarkan, akan berlangsung secara global. Di sisi lain, semua badan usaha perlu berjuang membenahi diri agar tidak mati. Negara-negara juga berjuang agar tidak sekadar menjadi konsumen pasif yang akan dilindas pelaku aktif ekonomi dunia. Dalam situasi demikian, kesenjangan-kesenjangan baru memang dapat tercipta akibat efek teknologi dan resesi yang dibawa pandemi.
Seberapa keras pun kita berupaya menentang, penutupan jenis-jenis atau bidang kerja tertentu akan tetap terjadi karena tuntutan agar dapat tetap bertahan dalam kompetisi yang sangat tajam. Seiring dengan perubahan yang ada, badan usaha yang satu tak mampu bertahan, sementara orang-orang muda mencoba berinovasi untuk menciptakan dan membangun bidang usaha baru.
Sikap proaktif
Berpikir dalam kerangka berpikir sama seperti dua puluh tahun lalu ketika peran teknologi tidak semasif sekarang, atau dalam cara berpikir seperti sebelum adanya pandemi tidak berguna. Mau tidak mau, sikap yang harus dikembangkan adalah sikap proaktif, yang semuanya harus dikaitkan dengan teknologi.
Bahkan hal-hal yang dulu mungkin dilihat berseberangan, atau tidak ada relevansi dengan teknologi, sekarang semuanya perlu terhubung teknologi. Misalnya mencipta, menyebarkan, dan menikmati karya seni.
Bagaimana kita semua perlu menghubungkan diri dengan teknologi akan berbeda-beda tergantung minat dan kompetensi. Ada yang merasa cukup untuk dapat memanfaatkannya, ada pula yang memilih mendalami untuk dapat menguasai, mendesain, mengendalikan bahkan menciptakan teknologi itu sendiri.
Tantangannya memang berlipat-lipat di masa kini. Agar nantinya dapat bertahan dan berperan dalam masyarakat, mahasiswa perlu dibantu mengembangkan dan memanfaatkan kemampuan berpikir kritis, analitis, sekaligus inovatif. Perguruan tinggi juga membenahi kurikulum untuk dapat membekali mahasiswa dengan keterbukaan diri, kemampuan belajar aktif dengan berbagai strategi, mengadopsi teknologi, sekaligus sikap proaktif dan inovatif.
Kesehatan mental dan ketangguhan
Selain hal itu, ada hal sangat penting yang cukup sering terlupakan. Tidak dapat dimungkiri ada persoalan-persoalan psikologis yang muncul dan perlu diantisipasi terkait perubahan dan tantangan yang dibawa oleh kehidupan yang dimediasi oleh internet dan teknologi.
Kami mendapati banyak mahasiswa yang menunjukkan gambaran berbagai persoalan penyesuaian diri dan kesehatan mental. Sebagiannya sangat tegang dan tertekan dengan tuntutan pendidikan. Pergerakan sangat cepat dan banjir informasi menyulitkan otak untuk dapat memilih dan menetapkan prioritas.
Otak juga seperti dipaksa untuk terus bekerja dan sulit beristirahat.
Yang lainnya mungkin juga membawa kerentanan dari rumah atau keluarga, karena orangtua tidak dapat menjalankan peran dengan baik sebagai pembimbing sekaligus teman bagi anak. Bisa jadi orangtua bergulat dengan persoalannya sendiri sehingga memberikan tuntutan berlebihan kepada anak, tetapi tidak menyediakan rasa aman dan afeksi yang memadai.
Pertemuan dan percakapan dari hati-ke-hati minim sehingga kita hidup dalam ingar bingar informasi tetapi mungkin merasa kesepian. Belum lagi suasana kompetitif makin dikuatkan oleh media sosial yang menghadirkan pembandingan sosial. Orang muda melihat tampilan (belum tentu yang sesungguhnya) tentang kehidupan orang lain yang terlihat lebih keren, lebih sukses, dan lebih bahagia.
Hal yang dulu sudah diperlukan sekarang menjadi jauh lebih diperlukan lagi untuk dapat bertahan di dunia pendidikan dan di dunia kerja. Kita perlu membekali masyarakat dengan kemampuan mengelola (manajemen) diri sendiri: bagaimana dapat bertoleransi terhadap tekanan, dapat tenang menghadapi kompetisi, mampu tetap berpikir luwes dan mengembangkan resiliensi.
Sikap bertanggung jawab, kemampuan melihat masalah dari sudut pandang orang lain, dan keterampilan bekerja dengan orang lain tetap sangat penting untuk dimiliki, bahkan mungkin menjadi lebih penting lagi di masa kini.
Tampaknya kita perlu selalu mengingatkan diri bahwa perdebatan terkait UU Cipta Kerja perlu diletakkan dalam konteks itu. Dengan banyaknya tantangan ekonomi masa kini, mendikotomikan pengusaha dan pekerja sepertinya kurang relevan lagi. Bukankah orang muda, khususnya, perlu berinovasi untuk menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri ataupun bagi orang-orang lain?
Jadi, di masa kini dan masa depan, banyak dari kita adalah pengusaha yang sekaligus pekerja, atau pekerja yang sekaligus berpikir sebagai pengusaha. Pencipta lapangan kerja dan pengusaha memikirkan nasib orang banyak yang memerlukan mata pencarian untuk dapat hidup dengan layak. Sebaliknya, dalam diri pekerja ada kesadaran wirausaha bahwa membangun dan mempertahankan bisnis sama sekali bukan hal mudah.
Dengan demikian, semua bekerja sama dan saling membantu dalam upaya dan tanggung jawab terbaik untuk berkontribusi maksimal membangun masyarakat sejahtera dan bahagia.