”Perjudian” Itu Telah Berakhir
Polemik kapan akan digelarnya Liga 1 dan Liga 2 belum terselesaikan. Penolakan izin menggelar Liga 1 pada November dari polisi membuat PSSI harus berpikir ulang cara memutar kompetisi kasta tertinggi.
Topik hangat sepak bola nasional dalam dua pekan terakhir lebih tajam menyorot kompetisi strata tertinggi Liga 1 dan 2. Apakah bisa segera bergulir lagi sesuai jadwal yang telah ditentukan, atau masih terus tertunda dengan berbagai alasan dari PSSI? Pembicaraan di kalangan komunitas sepak bola nasional memang lebih sering mengangkat masalah kompetisi ini. Isu ini mengalahkan persiapan tim U-19 yang sudah selesai menjalankan, untuk sementara, latihan dan uji coba di luar negeri.
Dalam tulisan saya, sekitar tiga pekan lalu dengan judul ”PSSI Bukan Hanya Timnas” ada disinggung tentang bagaimana PSSI menyelesaikan persoalan kompetisi ini sesegera mungkin sehingga roda kompetisi kembali berputar dan otomatis menghidupkan perekonomian pemain, ofisial, serta mereka semua yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan tersebut.
Di alenia kedua dari bawah pada tulisan saya tersebut, tertulis: ”Sekadar mengingatkan kembali, bahwa Ibul tidak mungkin berjudi dengan kepolisian dalam meyakinkan pihak klub untuk kelanjutan kompetisi. Rencana awal bulan Oktober digelar kompetisi sudah gagal. Apakah Ibul mau mempertaruhkan reputasinya lagi dengan menjanjikan klub bahwa kompetisi akan bergulir di November? Bagaimana kalau kembali kepolisian tidak memberikan izin keramaian?” Terbukti sudah…!
Baca juga : PSSI Bukan Hanya Timnas
Dalam rapat Exco PSSI di Yogyakarta, 13 Oktober, dikeluarkan keputusan bahwa kompetisi akan bergulir kembali 1 November 2020. Keputusan ini sesuai dengan janji awal Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan atau biasa disapa Ibul bahwa pihaknya akan terus berupaya memutar kompetisi kembali sesegera mungkin.
Sebagai penanggung jawab tertinggi, Ibul memang terus berupaya agar kompetisi bisa digelar kembali. Meski jalan menuju pengambilan keputusan sangat bernuansa konflik dan kepentingan. Di dalam Exco sendiri terpecah suara antara yang setujuh kompetisi kembali berputar dan yang kontra menginginkan kompetisi dihentikan saja. Kedua pihak yang berseberangan sama-sama mempunyai alasan sendiri-sendiri.
Tidak berani
Exco PSSI akhirnya lempar handuk, pertanda menyerah untuk menggulirkan kompetisi di tahun 2020 ini. Langkah yang diambil Exco dengan cara pengambilan keputusan lewat surat-menyurat ini, memastikan kompetisi kembali berputar awal tahun depan, 2021. Format kompetisi akan dibicarakan kemudian, karena sudah pasti kompetisi tahun 2020 tersebut harus diselesaikan dalam tempo sekitar dua-tiga bulan saja.
Alasannya sangat sederhana, ada bulan puasa dan acara mega Piala Dunia U-20 di enam kota di Tanah Air, Mei-Juni 2021. Kompetisi periode tahun 2021 pun dengan sendirinya akan mulai berputar seusai gelaran Piala Dunia U-20, sekitar Juli atau Agustus.
Baca juga : Pemerintah Intervensi PSSI?
Secara organisasi, keputusan ini sudah tepat. Paling tidak sudah ada kepastian jadwal dari PSSI bahwa kompetisi akan bergulir awal tahun depan, dan klub-klub peserta dipersilakan mempersiapkan diri untuk berlaga. Namun, seperti cerita sebelumnya, siapa yang bisa menjamin bahwa di awal tahun depan, kepolisian bisa memberikan izin keramaian bagi PSSI? Dua kali sudah, tertundanya kompetisi digulirkan kembali karena masalah perizinan dari kepolisian dan bukan karena ketidakmampuan PT LIB selaku operator kompetisi memutar kompetisi.
Apakah faktor ”kepolisian” ini sudah dipikirkan matang-matang oleh Ibul dan Exco? Mungkinkah ada sesuatu di balik sulitnya kepolisian memberikan izin keramaian bagi PSSI? Kok, pilkada saja bisa, lalu mengapa pertandingan bola—tentu dengan mengikuti protokol covid-19—tidak mendapat izin atau persetujuan pemerintah?
Sebagai jenderal (purn) polisi, Ibul seharusnya tidak sulit mendapatkan izin keramaian tersebut. Namun, faktanya bertolak belakang. Adakah hubungan yang kurang harmonis di antara Ibul dan kepolisian atau faktor-faktor di luar sepak bola yang menghambat PSSI mendapatkan restu dari kepolisian? Tanyakan kepada rumput yang bergoyang…!
Baca juga : Sudahkan Shin Tae-yong Diberi Kewenangan Penuh?
Info A1 yang didapat penulis, seharusnya kompetisi per 1 November sudah bisa bergulir, kalau saja Ibul memiliki niat, dan lebih tepat keberanian dalam memperjuangkan sepak bola (baca PSSI) yang dipimpinnya. Dua pekan lalu, sudah ada lampu hijau dari pemerintah untuk mempersilakan PSSI memutar kompetisi, tetapi Ibul dan PSSI tidak cerdas dan tidak berani memanfaatkan momentum tersebut.
Saat bertemu Presiden Joko Widodo dalam acara evaluasi persiapan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 tahun depan sekitar dua pekan lalu di Istana Negara, Ibul memiliki kesempatan untuk mendapatkan izin tersebut, tetapi tidak dilakukannya. Padahal rapat saat itu dihadiri, antara lain, Presiden, Kapolri, Menpora, PSSI (baca Ibul), serta perwakilan beberapa kementerian dan lembaga terkait.
Di depan Presiden, Ibul bagaikan terkunci rapat-rapat mulutnya untuk mengutarakan maksud PSSI menggulirkan kompetisi pada November. Padahal, skenario tersebut sudah dirancang dan dipersiapkan secara matang, dan Ibul tinggal menyampaikan saja kepada Presiden.
Akan tetapi, karena ketidakberanian Ibul, akhirnya pupuslah harapan menggulirkan kompetisi pada November. ”Saya tidak menyangka, Ibul, kok, penakut seperti itu,” tegas salah seorang petinggi PSSI setelah mengetahui adanya skenario tersebut.
Di dalam kasih, tidak ada ketakutan; kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barang siapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.
Ada alasan dari oknum petinggi PSSI tersebut untuk kecewa dengan sikap Ibul di depan Presiden. Dia sangat yakin dan optimistis, jika saat itu Ibul menyampaikan maksud PSSI memutar kembali kompetisi, Presiden akan menyetujuinya. Karena pernyataan Presiden itu disampaikan langsung dan didengar Kapolri. Otomatis, Kapolri tinggal meneruskan keinginan Presiden itu dengan mengeluarkan izin keramaian bagi PSSI.
Sikap Menpora
Hal lain yang menarik adalah langkah Menpora dalam menyikapi pelaksanaan kompetisi sepak bola ini. Ada ketidakpastian sikap dari Menpora, atau sikap ambigu, terutama antara menyetujui atau tidak kompetisi itu bergulir kembali. Melalui Kemenpora sebagai kepanjangan tangan pemerintah, masalah kompetisi ini seharusnya tidak perlu berlarut-larut kepastiannya.
Baca juga : Naturalisasi, antara Impian dan Kenyataan
Menpora pernah ”meminjam” kapasitas Polri untuk bersama-sama tidak mengizinkan kompetisi berputar pada awal Oktober. Saat itu, Polri yang mendekatkan diri kepada Menpora untuk sama-sama membahas masalah kompetisi sepak bola. Keluarlah kesepakatan segitiga, PSSI-Polri-Menpora bahwa kompetisi ditunda.
Jika memang demikian dan merujuk pada pernyataan terakhir Sesmenpora Gatot Dewabroto dua pekan lalu, pemerintah mempersilakan seluruh cabang olahraga memutar kompetisi, maka sudah tidak ada masalah lagi. Lalu, mengapa Menpora tidak terus terang saja menginstruksikan PSSI untuk melanjutkan memutar kompetisi, dengan terlebih dahulu melunakkan sikap Polri?
Dengan memakai prinsip terbalik, maka Menpora kali ini harusnya bisa bekerja sama dengan kepolisian untuk mengeluarkan izin bagi PSSI. Pertanyaannya, mengapa Menpora tidak mau atau tidak berani melakukannya? Apakah Menpora juga dalam posisi tidak berani, karena khawatir langkah yang akan diambil bisa disebut sebagai intervensi pemerintah terhadap PSSI?
Kalau tadinya Polri yang mendatangi Menpora, maka kini, Menpora-lah yang mengundang Polri untuk mengeluarkan izin bagi PSSI. Mengapa? Karena Polri adalah kepanjangan tangan pemerintah seperti yang dikemukakan Menpora Zainudin Amali ketika menerima Polri untuk membahas persoalan kompetisi ini beberapa pekan lalu di kantor Kemenpora.
Sebaiknya, Menpora jangan lagi mengekang diri dalam kungkungan kata: ”intervensi”. Sejak tahun 2017, ketika PSSI mendatangani Presiden untuk meminta bantuan dalam mendukung dan mengembangkan pembinaan sepak bola dan pembangunan intfrastruktur, maka jurang pemisah—dengan memakai kata intervensi—antara PSSI-pemerintah sudah tersambung. PSSI sudah ”melamar” pemerintah untuk bersama-sama bergandeng tangan memperbaiki sepak bola Indonesia.
Dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional (P3N), pemerintah secara jelas dan tegas sudah menjawab kerja sama yang harmonis yang ditawarkan PSSI. Jadi, sekali lagi, pemerintah tidak perlu khawatir dengan kata intervensi. Apabila perlu, dan jika keadaan semakin sulit dikendali, pemerintah berhak menggelar Kongres Luar Biasa (KLB), atau melahirkan federasi baru sekalian.
PSSI juga harus berkaca diri untuk tidak perlu mengumandangkan kata ”intervensi”, yang akhirnya memperlebar jarak dan hubungan yang sinergi dengan pemerintah. PSSI tidak perlu bersikap mendua untuk berlindung dalam ketidakmampuannya mengurus sepak bola. Jika bantuan atau keterlibatan pemerintah menguntungkan PSSI, maka itu disebut sebagai kerja sama yang baik. Namun, ketika pemerintah mencoba memperbaiki kebobrokan di PSSI, itu disebut sebagai intervensi.
Saatnya sekarang PSSI membuka diri dari seluruh elemen yang masih peduli dengan sepak bola nasional, sebelum direvolusi pemerintah atau masyarakat sepak bola. Meminjam pernyataan rekan wartawan senior saya, Yon Moeis: ”Jenderal, kaki sebelah Anda sudah di bibir jurang. Tunggu didorong saja, masuklah seluruh badan ke dalam jurang ”. Bagaimana…?!
(Yesayas Oktovianus,
wartawan Kompas 1983-2016)