Pertanian Tradisional di Pulau Kalimantan Terancam
›
Pertanian Tradisional di Pulau...
Iklan
Pertanian Tradisional di Pulau Kalimantan Terancam
Masyarakat adat Dayak makin termarjinalkan justru karena beragam program pemerintah. Salah satunya berladang dengan sistem gilir-balik yang tak lagi populer, bahkan dianggap mengancam.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pertanian tradisional Dayak dengan sistem gilir-balik didesak berubah dengan begitu banyak program pemerintah, juga kebijakan. Padahal, sistem berladang Dayak dinilai sangat berkelanjutan dan bahkan merupakan bagian dari identitas kebudayaan yang perlu dijaga.
Hal itu terungkap dalam diskusi daring yang diselenggarakan Forum Masyarakat Adat Heart of Borneo (Forma-HOB), Sabtu (31/10/2020). Diskusi itu diikuti oleh perwakilan masyarakat adat Dayak dari seluruh Pulau Kalimantan, termasuk Sarawak dan Sabah, Malaysia.
Diskusi tersebut dimulai dari pengalaman para peladang yang saat ini kesulitan berladang, bahkan ditangkap. Misalnya, Antonius (51), warga Desa Kamawen, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, yang saat ini masih menjalani proses hukum karena dituduh membakar kebunnya sendiri. Penahanan Antonius kemudian ditangguhkan dan dia menjalani masa tahanan kota.
”Saya saat diperiksa dipaksa harus mengaku kalau saya membakar, padahal saya memadamkan kebun saya yang terbakar. Ancamannya tanah saya hilang,” ungkap Antonius.
Selain Antonius, ada juga M Samai dari Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang saat ini kesulitan berladang lantaran aturan yang mengekang dan larangan membakar lahan yang hingga kini belum ada solusinya. Ia berharap agar hak masyarakat adat, termasuk berladang, bisa dilindungi dan diakui melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.
Hal serupa diungkapkan Ding Seling dari Sarawak, Malaysia. Menurut dia, di negaranya, pemerintah atau yang ia sebut pihak kerajaan dan otoritas juga memiliki persepsi negatif terhadap berladang karena membakar. ”Cara membakar kemudian dinilai merugikan negara,” katanya.
Melihat hal itu, peneliti dari Institut Dayakologi Pontianak, Kalimantan Barat, Richardus Giring Malabo, menjelaskan, kegiatan berladang dengan sistem gilir-balik memiliki banyak tantangan. Mulai dari masifnya ekspansi industri, pembangunan infrastruktur, hingga yang terbaru program food estate yang kebetulan berada di Kalteng.
Menurut Richardus, berladang dengan gilir-balik yang dilakukan orang Dayak sejak ratusan tahun lalu terbukti melestarikan keanekaragaman varietas jenis padi dan beragam komoditas lainnya. Setidaknya ada 2.000 jenis varietas padi lokal yang ditanam berdasarkan karakter tanah dan pertimbangan geologis lain.
Richardus menjelaskan, orang Dayak tidak memakai teori ekonomi pasar yang membuka lahan luas agar mendapat hasil sebanyak-banyaknya. ”Orang Dayak bertani secukupnya, berkesinambungan, alamiah-organik, dan bagian identitasnya,” ungkap Richardus.
Menurut Richardus, cara berladang masyarakat adat Dayak tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga menjawab tantangan budaya. Orang Dayak setidaknya memiliki 40 tahap dalam berladang, mulai dari persiapan hingga pesta syukur panen.
”Namun, sayang sekali, peladang masih dianggap sebagai penyebab kebakaran dan bencana asap. Persepsi ini kemudian membuat gilir-balik tidak lagi populer,” ungkap Richardus.
Jika prosesnya diikuti dengan baik, tidak pernah ada cerita membakar lahan dengan cara orang Dayak menimbulkan bencana asap.
Richardus menjelaskan, berladang gilir-balik dilakukan dengan cara membakar, tetapi tidak pernah merambat ke lahan lain, apalagi milik orang lain. Bahkan, untuk jenis padi tertentu, ada yang tidak perlu membakar sama sekali. ”Jika prosesnya diikuti dengan baik, tidak pernah ada cerita membakar lahan dengan cara orang Dayak menimbulkan bencana asap,” katanya.
Berladang gilir-balik, lanjut Richardus, memiliki pola yang berbeda-beda, bergantung pada wilayah dari ratusan subsuku Dayak. Beberapa suku melakukannya dengan cara berladang di satu wilayah, lalu pindah ke tempat lain, tetapi dalam waktu 5-8 tahun kemudian bisa kembali ke tempat awal yang sudah pernah dibakar sebelumnya.
Hadir juga sebagai pembicara dalam diskusi daring itu Roedy Haryo Widjono dari Nomaden Institute Cross Culture Understanding di Samarinda, Kalimantan Timur. Menurut dia, orang Dayak yang tidak berladang akan kehilangan kedayakannya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan, berladang bahkan merupakan perintah Tuhan karena tertera dalam kitab suci kepercayaan asli Dayak, yakni Kaharingan. ”Berladang bagian dari identitas, budaya, dan warisan leluhur. Berladang itu merupakan konsep holistik semesta,” ungkap Roedy.
Roedy menjelaskan, orang Dayak bahkan tidak hanya menanam padi, tetapi juga beragam komoditas lain, termasuk tanaman obat. ”Bagi orang Dayak, bercocok tanam bukan hanya soal menanam, melainkan juga pemenuhan nilai spiritual di dalamnya,” katanya.
Roedy merekomendasikan perlunya regulasi untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Selain itu, perlu juga pendidikan dan tata niaga baru untuk melindungi dan melestarikan kebudayaan. ”Jangan sampai budaya hanya dinilai sebagai bahan tontonan,” ujarnya.
Hadir pula dalam diskusi, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah Esau Tambang. Ia mengungkapkan, cara berladang orang Dayak juga ada yang tidak membakar sehingga cara seperti itu perlu dikembangkan atau disesuaikan. ”Perlu ada penyesuaian juga dengan teknologi modern, ini juga penting ke depannya,” kata Esau.