Partai Persatuan Pembangunan perlu mempertegas warna partainya, mengingat saat ini jumlah partai Islam berkembang. PPP perlu faktor pembeda untuk dapat menarik dukungan pemilih, khususnya kaum milenial.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komite pengarah Muktamar IX Partai Persatuan Pembangunan menjajaki komunikasi dengan unsur-unsur fusi partai guna mendapatkan masukan dan menguatkan konsolidasi dengan unsur pendiri. Penguatan dengan unsur-unsur pendiri diyakini menjadi salah satu cara untuk membangun soliditas partai dan mengembalikan dukungan kepada partai.
Wakil Ketua Komite Pengarah (Steering Committee) Muktamar IX PPP Syaifullah Tamliha, saat dihubungi, Sabtu (31/10/2020), mengatakan, Senin depan, panitia muktamar akan berkeliling serta mendatangi pimpinan lembaga dan organisasi fusi, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Muslimin Indonesia (MI), dan Syarikat Islam (SI).
”Kami, steering committee, akan melakukan tur atau kunjungan ke berbagai organisasi fusi dan organisasi Islam lainnya, seperti ke PBNU, Muslimin Indonesia, PP Muhammadiyah, Syarikat Islam, dan Perti, mulai Senin depan. Ini merupakan kesempatan untuk berkoordinasi dengan unsur fusi lainnya. Tanpa dukungan empat unsur fusi itu, susah bagi PPP untuk berkembang. Jati diri pendiri harus tetap dirawat sebaik-baiknya,” kata Syaifullah.
Panitia muktamar akan berkeliling dan mendatangi pimpinan lembaga dan organisasi fusi, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Muslimin Indonesia (MI), dan Syarikat Islam (SI).
Politik akomodatif akan berusaha dilakukan oleh PPP untuk memastikan unsur fusi PPP terlibat sepenuhnya di dalam kepengurusan partai. Kunjungan itu juga dimaksudkan untuk meminta masukan dan sumbang saran dari unsur pendiri partai tentang arah dan langkah partai ke depan.
”Kami ingin meminta masukan kepada mereka, bagaimana sebaiknya PPP agar lebih menarik bagi pemilih dan langkah-langkah ke depan yang dapat dilakukan bersama,” tuturnya.
Syaifullah mengatakan, politik akomodatif itu dapat dilakukan dengan penyusunan struktur pengurus partai yang mencerminkan empat fusi. Misalnya, jika ketua umum (ketum) partai terpilih dari unsur NU, maka sekretaris jenderal (sekjen) dapat berasal dari MI atau Muhammadiyah dan perwakilan fusi yang lain, yakni Perti dan SI. Begitu pula jika ketum berasal dari unsur lain, posisi sekjen dan fungsionaris di level DPP mengakomodasi unsur fusi yang lain.
”Fusi itu nanti harapannya dapat tecermin di dalam struktur kepengurusan PPP. Mereka yang duduk di kepengurusan harus seseorang yang mengakar di bawah secara ideologis, tidak sekadar karena ikatan biologis,” ujarnya.
PPP saat ini memberikan perhatian kepada kelompok milenial yang merupakan pemilih potensial. Jaringan yang dimiliki PPP akan digerakkan untuk menjaring para pemilih potensial itu.
Saat ini, menurut Syaifullah, PPP memberikan perhatian kepada kelompok milenial yang merupakan pemilih potensial. Jaringan yang dimiliki PPP akan digerakkan untuk menjaring para pemilih potensial itu. Sebagai contoh, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) adalah kalangan muda potensial yang dapat menjadi ceruk pemilih PPP.
Dari 80 juta warga NU, jika sebagian besarnya saat ini adalah kalangan milenial, jaringan PPP yang ada di PMII, IPNU, dan kelompok lain akan digerakkan untuk menarik simpati mereka dengan berbagai platform partai dan program-program yang ditawarkan. Dalam konteks ini, menurut Syaifullah, kalangan muda memang menjadi salah satu sasaran PPP di masa depan.
Ketua DPP PPP Lena Mariana Mukti mengatakan, muktamar IX adalah momentum bagi partai untuk menentukan arah masa depan partai sesuai dengan khitah perjuangan PPP. Selain mengeratkan konsolidasi dengan empat unsur fusi partai, muktamar harus pula mengedepankan proses kaderisasi internal. Ia mengingatkan PPP bagaimanapun adalah partai kader sehingga kepengurusan dan pengorganisasian partai sebaiknya mengutamakan para kader partai.
Pemilihan Ketum PPP, lanjut Lena, diharapkan tidak menggadaikan identitas PPP sebagai partai kader. ”Mekanisme pemilihan Ketum PPP harus dikembalikan kepada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. PPP memiliki banyak kader yang mumpuni dan memenuhi syarat sebagai pimpinan partai,” ujarnya.
Di sisi lain, Lena mengedepankan perlunya kaderisasi perempuan di PPP. Politik afirmasi 30 persen perempuan di dalam struktur PPP, menurut dia, sudah berjalan relatif baik. Di dalam PPP, perempuan tidak hanya sekadar formalitas, tetapi memang dilibatkan juga dalam pengambilan keputusan di dalam jajaran pengurus harian.
”Mukernas PPP yang lalu juga mengamanatkan agar 30 persen bantuan politik (banpol) untuk parpol dapat digunakan untuk kaderisasi perempuan di PPP. Jika hal ini dapat diakomodasi menjadi keputusan muktamar, ini menjadi terobosan yang bagus,” ujarnya.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menuturkan, PPP perlu pemosisian ulang soal warna partai. Selama ini, PPP dikenal sebagai partai Islam. Namun, dengan berkembangnya partai berbasis pemilih Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), termasuk pula Partai Amanat Nasional (PAN), dan beberapa partai baru, posisi dan warna PPP harus berbeda. Pembedaan ini penting untuk memperjelas identitas PPP di mata pemilih.
”Kalau PPP bisa memosisikan ulang dirinya, yakni apakah tetap sebagai partai Islam, tetapi dengan diferensiasi tertentu, yang membedakan diri dengan PKB dan PKS, misalnya, masih ada peluang ceruk pemilih Muslim melirik partai ini. Namun, jika tidak, sulit bagi PPP untuk berebut pemilih yang kian sempit di antara banyak partai dengan warna Islam,” ujarnya.
Posisi dan warna PPP harus berbeda. Pembedaan ini penting untuk memperjelas identitas PPP di mata pemilih.
Posisi lain yang dapat diambil oleh PPP ialah menjadi partai yang terbuka sehingga tidak membatasi diri pada warna Islam. Sebab, di sisi lain, untuk menguatkan kembali empat unsur fusi itu sekalipun mungkin dilakukan, tetapi menyatukan kembali aspirasi politik mereka ke dalam satu rumah besar partai adalah pekerjaan yang tidak mudah, mengingat begitu banyak pilihan politik yang tersedia.
”Sejarah partai adalah hal yang sangat penting dirawat, tetapi kembali pada sejarah fusi partai dengan mengandaikan empat unsur itu kembali bersatu agak sulit dilakukan. Sebab, fusi dulu ibaratnya adalah kawin paksa. Saat ini yang tidak kalah penting ialah mereposisi kembali PPP,” ungkapnya.