China berupaya sangat keras untuk menghilangkan stigma lama yang menggambarkan China sebagai sumber penularan wabah penyakit. China secara sistematis mengubah fokus sistem mitigasi bencana lebih pada upaya pencegahan.
Oleh
TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS
·5 menit baca
Sejak dulu, banyak epidemi berasal dari China dan menimbulkan stigma buruk bagi negara itu. Dua pandemi flu pada abad ke-20, yaitu flu Asia dan flu Hong Kong, berasal dari China dan meninggalkan jejak sekitar 3 juta kematian di seluruh dunia. Kemudian pada abad ke-21 muncul sindrom pernapasan akut parah (SARS), flu burung H5N1, dan sekarang Covid-19.
Penasihat perdagangan Presiden AS Donald Trump, Peter Navarro, pernah mengatakan, China adalah ”inkubator penyakit”. Sejarah China menunjukkan munculnya infeksi zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia), menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana praktik-praktik kesehatan masyarakat dijalankan di negara berpenduduk terpadat di dunia itu.
China juga jadi tempat munculnya flu burung H7N9 dan severe fever thrombocytopenia syndrome (SFTS) serta munculnya kembali rabies, brucellosis, dan zoonosis lain yang pengaruhnya signifikan terhadap ekonomi nasional dan kesehatan masyarakat di China. Kenapa China menjadi pusat penyakit-penyakit baru yang muncul?
Kenapa China menjadi pusat penyakit-penyakit baru yang muncul?
SARS, flu burung, Covid-19
China menjadi kontributor utama dari penyebaran penyakit menular di dunia. Virus flu burung H5N1 pertama kali dideteksi pada angsa di China pada 1996. Kemudian setahun berikutnya, muncul wabah H5N1 pada manusia di Hong Kong. Virusnya diyakini bersumber dari unggas di wilayah China selatan. Meskipun wabah H5N1 pada manusia belum mencapai skala pandemi, saat ini virus itu dapat ditemukan pada unggas dan burung liar di lebih dari 60 negara di dunia.
SARS tidak hanya menjadi masalah kesehatan masyarakat, tapi juga menyebabkan krisis sosial politik yang paling hebat bagi pemimpin China sejak peristiwa Lapangan Tiananmen 1989. Meski telah menyebar ke 26 negara, hampir separuh lebih kasus terjadi di China daratan. SARS ditelusuri bermula dari musang yang daging eksotisnya dijual di pasar hewan liar di wilayah China selatan.
Flu burung H7N9 muncul 10 tahun kemudian di China dan menyebabkan setidaknya empat kali wabah pada manusia selama 2013-2015. Pada akhir 2015, wabah H7N9 telah menyebar ke 17 provinsi di China daratan. Meskipun kejadian wabah hanya terbatas di China, virus H7N9 terus bersirkulasi pada populasi unggas di China.
Begitu juga wabah Covid-19, dimulai di China, yang dikaitkan dengan pasar becek di kota Wuhan, yang banyak menjual hewan hidup dan mati. Virus korona penyebab Covid-19 sebelumnya bersirkulasi pada populasi kelelawar dan belum pernah pada populasi manusia.
Pertama kali terdeteksi di luar China adalah di Thailand dan menyebar sangat cepat ke lebih dari 210 negara. Covid-19 jauh lebih menular dari SARS dan saat ini secara global ada 44,8 juta kasus, 32,7 juta sembuh dengan kematian 1,17 juta orang.
Lingkungan dan budaya
Para ahli mengidentifikasi sejumlah wilayah hotspot tempat wabah penyakit paling mungkin muncul dengan probabilitas risiko paling tinggi dari virus-virus hewan melompat ke manusia. Satu dari wilayah hotspot adalah China selatan.
Kemunculan penyakit menular baru di China selatan bukanlah suatu misteri besar. Tingginya populasi manusia terkonsentrasi di sana, kontak dekat dengan banyaknya spesies hewan yang berpotensi menjadi reservoir, dan tidak memiliki sanitasi yang diperlukan. Ini memberikan peluang lebih mudah bagi virus-virus untuk melompat ke luar.
Kemunculan penyakit menular baru di China selatan bukanlah suatu misteri besar.
Begitu juga faktor seperti perdagangan satwa liar yang berlangsung setiap hari dan sungai-sungai yang penuh kotoran berulang kali menyebabkan munculnya virus-virus baru.
Peter Daszak, ahli kesehatan lingkungan, mengatakan, di China selatan ada banyak peternakan, terutama unggas dan babi, dengan sanitasi yang terbatas dan pengawasan yang lemah. Petani sering membawa ternak mereka ke pasar becek sehingga ternak kontak dengan segala macam hewan eksotik.
Beragam unggas, mamalia, dan reptil menjadi tempat berlabuh virus-virus yang dapat melompati spesies dan bermutasi secara cepat, bahkan menulari manusia.
China memiliki populasi babi tertinggi di dunia, sekitar 310 juta ekor. Tahun 2019, hampir separuh populasi babi di China binasa oleh flu babi Afrika (African swine fever), penyakit yang belum ditemukan vaksinnya. Begitu juga penemuan belakangan ini yang menunjukkan babi di China semakin sering terinfeksi virus influenza H1N1 strain G4 yang berpotensi melompat ke manusia dan perlu mendapatkan perhatian para peneliti dunia.
Faktor budaya juga menyebabkan mengapa China menjadi tuan rumah dari wabah penyakit. Keyakinan tradisional China tentang kekuatan makanan tertentu telah mendorong beberapa kebiasaan yang dianggap berbahaya. Khususnya, aspek kuliner China yang dikenal sebagai ”jinbu” yang secara kasar berarti mengisi kekosongan. Tanaman langka dan satwa dari alam liar dianggap membawa pengisian terbaik, terutama ketika dimakan dalam keadaan segar atau mentah.
China dan globalisasi
Globalisasi ekonomi mendorong terjadinya globalisasi modal, teknologi, tenaga kerja, dan komoditas, dan juga berkontribusi pada globalisasi munculnya penyakit menular. Dunia menjadi komunitas global dan peristiwa kesehatan masyarakat di satu wilayah geografis tertentu bisa memengaruhi kesehatan dan ekonomi di luar wilayah itu sendiri.
Ekonomi China, kombinasi dengan populasi China, mengalami begitu banyak pertumbuhan sehingga sejumlah besar orang kontak dekat dengan sejumlah besar hewan dalam suatu lingkungan bersama. Ini memberikan peluang besar bagi virus-virus untuk menyeberang batas spesies.
Faktor budaya juga menyebabkan mengapa China menjadi tuan rumah dari wabah penyakit.
Banyak ahli epidemiologi merujuk pada fakta mendasar tentang China: populasi 1,4 miliar orang, kedekatan penduduk perkotaan dan perdesaan, rumah potong hewan dan pasar becek di mana hewan langsung disembelih. Empat belas dari 50 kota metropolitan terpadat di dunia ada di China. Sejak 1979, perbatasan China semakin terbuka, mengakibatkan arus orang secara masif masuk dan keluar dari negara itu. Sekitar 143 juta orang mengunjungi China, yang memiliki 70 bandara internasional, pada 2019.
Saat yang sama, peningkatan ekonomi menyebabkan jumlah warga China yang bepergian mengalami kenaikan di dalam negeri dan internasional, dan menghasilkan tingkat perdagangan yang belum pernah terjadi sebelumnya antara dunia dan setiap provinsi di China.
Strategi baru
Sejak SARS dan Covid-19, Pemerintah China telah memperbarui strategi dan mengambil langkah-langkah untuk menghadapi tantangan pencegahan dan pengendalian zoonosis pada manusia, hewan domestik, dan satwa liar.
China berupaya sangat keras untuk menghilangkan stigma lama yang menggambarkan China sebagai sumber penularan penyakit. Pada kenyataannya, China telah berkembang lebih maju dari banyak negara lain dalam menanggulangi darurat bencana.
Upaya Pemerintah China secara sistematis untuk mereformasi sistem mitigasi risiko yang lebih fokus kepada pencegahan bencana. Mulai dari penerbitan undang-undang dan peraturan, sistem pelaporan penyakit digital, perbaikan respons darurat dan kapabilitas penanggulangan penyakit, surveilans penyakit eksotik, hingga kerja sama interdisiplin dan internasional mengikuti konsep one health dan edukasi masyarakat untuk hidup sehat. Strategi dan langkah-langkah yang mungkin saja dapat digunakan sebagai model untuk negara lain.
(Tri Satya Putri Naipospos
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies)