Tak Semua Daerah Ikuti Surat Edaran
Tak semua daerah mengikuti Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan untuk menyamakan upah minimum (UMP) 2021 dengan UMP 2020. Jawa Tengah dan DIY tetap menaikkan upah dengan menimbang inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Hingga Jumat (30/10/2020), sebanyak 28 dari total 34 provinsi telah menetapkan upah minimum provinsi atau UMP 2021 sesuai dengan surat edaran Menteri Ketenagakerjaan, yakni sama dengan UMP 2020. Namun, tak semua daerah mengikuti surat edaran itu.
Dalam Surat Edaran (SE) Nomor M/11/HK.04/2020 tentang Penetapan Upah Minimum 2021, tertanggal 26 Oktober 2020, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah meminta para gubernur untuk menyesuaikan upah minimum 2021 sama dengan nilai upah minimum 2020.
Pemerintah memandang, keputusan untuk tidak menaikkan dan menurunkan upah itu sebagai jalan tengah antara kepentingan pengusaha dan pekerja. UMP 2021 menurut rencana akan diumumkan serentak pada Sabtu (31/10/2020).
Provinsi yang menaikkan UMP 2021 antara lain Jawa Tengah dan DI Yogyakarta (DIY). Pemerintah Jawa Tengah, Jumat, mengumumkan UMP 2021 sebesar Rp 1.798.979, naik 3,27 persen dibandingkan dengan UMP 2020 sebesar Rp 1.742.015.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, keputusan untuk menaikkan UMP diambil setelah berdialog dengan unsur serikat pekerja/buruh dan pengusaha dalam Dewan Pengupahan Daerah. Dari dialog itu diputuskan untuk tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan, yang mengatur penentuan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi secara tahunan (yoy) per September 2020 adalah 1,42 persen dan pertumbuhan ekonomi 1,85 persen. Dari situ muncul angka 3,27 persen. ”Upah minimum kami tidak sesuai dengan SE Menaker, tetapi perlu kami sampaikan bahwa ini sesuai PP No 78/2015. Dua faktor pertumbuhan ekonomi dan inflasi ini yang kami coba pegang erat,” tutur Ganjar.
Di DIY, hasil kesepakatan Dewan Pengupahan DIY merekomendasikan kenaikan penetapan UMP 2021. Dalam rekomendasi itu disebutkan, unsur pekerja mengusulkan kenaikan upah 4 persen, sementara unsur tenaga ahli mengusulkan kenaikan upah 3,33 persen, sesuai PP No 78/2015.
Baca juga : Standar Upah Tidak Berubah
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY Aria Nugrahadi menyampaikan, unsur pengusaha tak keberatan dengan usulan tenaga ahli. ”Keputusan ini diperoleh dengan musyawarah dan mufakat. Kenaikan 3,3 persen ini sesuai pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Pihak pengusaha juga tidak berkeberatan,” ujarnya.
Menurut Aria, usulan kenaikan upah ini mempertimbangkan kondusivitas dalam pertumbuhan ekonomi. Saat ini, pertumbuhan ekonomi memang cenderung lambat. Namun, perlahan perekonomian masyarakat mulai bergerak. Ia meyakini, ke depan, perekonomian akan terus tumbuh sehingga memperlancar dunia usaha, yang pada akhirnya juga meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Usulan kenaikan upah ini mempertimbangkan kondusivitas dalam pertumbuhan ekonomi.
Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani tidak merespons saat dimintai pendapat mengenai penetapan UMP di sejumlah daerah yang tidak sesuai dengan SE Menaker. Sebelumnya, Menaker Ida Fauziyah berharap, para gubernur dapat menjadikan SE Menaker sebagai referensi jalan tengah dalam menetapkan upah minimum.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Jumat, mengatakan, penetapan UMP 2021 sebaiknya tidak dipukul rata untuk semua daerah dan sektor. Jika kenaikan dirasakan terlalu berat, besarannya bisa disesuaikan dengan kemampuan daerah dan jenis industri masing-masing.
”Saat ini, masih banyak perusahaan yang beroperasi seperti biasa. Jadi jangan dipukul rata bahwa semua perusahaan tidak mampu membayar kenaikan upah minimum,” kata Said.
Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha oleh BPS menunjukkan, 58,95 perusahaan masih beroperasi seperti biasa dan 0,49 persen perusahaan beroperasi melebihi kapasitas sebelum Covid-19.
Ada sekitar 77 dari setiap 100 perusahaan di sektor pengadaan air dan pengelolaan limbah, pertanian, peternakan dan perikanan, serta real estat yang tetap beroperasi seperti biasa.
Menurut Said, pemerintah provinsi memiliki kewenangan prerogatif untuk menetapkan UMP masing-masing tanpa perlu mengikuti SE Menaker. Ia mengatakan, industri dan perusahaan yang tidak mampu menaikkan upah minimum tidak perlu dipaksa.
Mereka bisa saja tidak menaikkan upah minimum, asal transparan membuktikan bahwa usahanya memang merugi akibat Covid-19. ”Sepanjang perusahaan bersangkutan bisa membuktikan laporan keuangan perusahaan yang merugi akibat pandemi, supaya adil juga bagi pekerja,” ucap Said.
Baca juga : Jalan Tengah Polemik Upah
Saat ini, pemerintah membebaskan perusahaan yang tidak terdampak pandemi untuk mendiskusikan kenaikan upah secara internal bersama serikat pekerja di tiap perusahaan. Namun, sifatnya tidak wajib. ”Itu hak mereka, apakah mau menaikkan atau tidak, melalui kesepakatan di internal dengan pekerja,” kata Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani.
Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dari unsur serikat pekerja, Sunardi, mengatakan, Depenas tidak pernah memberikan rekomendasi agar UMP disamakan dengan UMP 2020. Dalam rapat pleno Depenas, 15-17 Oktober 2020, unsur pengusaha dan serikat pekerja memang berbeda pendapat.
Unsur pengusaha mengusulkan agar UMP dan UMK tahun 2021 bagi perusahaan yang terdampak Covid-19 disamakan dengan UMP dan UMK tahun 2020. Perwakilan unsur serikat pekerja/buruh meminta agar penetapan UMP dan UMK 2021 dikembalikan saja ke penghitungan dan rekomendasi dewan pengupahan daerah masing-masing.
Sunardi menilai, SE Menaker akhirnya hanya mengakomodasi usulan dari pengusaha. ”Kenapa tiba-tiba yang diakomodasi hanya satu usulan. Seharusnya pemerintah bisa menjembatani antara kedua usulan itu, bukan malah berat sebelah ke pihak pengusaha,” ujarnya.
Hidup layak
Dalam menentukan upah minimum 2021, pemerintah pusat tidak menggunakan variabel perhitungan upah minimum pada umumnya, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Sebelumnya, Dinar Titus mengatakan, jika mengikuti variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi, upah pekerja justru bisa turun.
Meski pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 tentang KHL, penentuan upah minimum 2021 dan seterusnya tidak akan mengikuti standar terbaru itu. Penghapusan komponen KHL dari penentuan upah minimum disesuaikan dengan isi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Hal itu ditegaskan dalam Passal 43 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan. Saat ini, RPP sedang dibahas dalam forum tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan perwakilan serikat buruh.
Dalam draf yang merevisi PP No 78/2015 tentang Pengupahan itu, upah minimum tidak lagi ditetapkan berdasarkan KHL dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai gantinya, upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, yang datanya bersumber dari BPS.
Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Agatha Widianati menyebutkan, kebijakan penetapan upah tetap harus mengacu pada kondisi perekonomian dan kondisi ketenagakerjaan.
Dalam draf yang merevisi PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan itu, upah minimum tidak lagi ditetapkan berdasarkan KHL.
”Detail mengenai kedua hal ini akan dijabarkan dalam RPP yang sekarang masih dalam pembahasan, terkait apa yang dimaksud dengan kondisi perekonomian dan apa yang dimaksud dengan kondisi ketenagakerjaan,” katanya.
Organisasi Buruh Dunia (ILO) mendefinisikan KHL sebagai standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik, nonfisik, dan sosial untuk kebutuhan satu bulan. Kebutuhan yang dicakup adalah makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, sampai kebutuhan rekreasi.
Selama ini, KHL ditetapkan berdasarkan survei yang dilakukan Dewan Pengupahan Nasional serta Kementerian Ketenagakerjaan, dan harus diperbarui setidaknya lima tahun sekali.
Baca juga : Kebutuhan Hidup Layak Tidak Lagi Menjadi Acuan