Kemelut upah minimum yang tak terkendali hanya akan semakin membuat ciut investor dan memperkeruh iklim berusaha apabila tidak bisa diselesaikan dengan baik.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Pemerintah memutuskan tidak menaikkan upah minimum 2021. Pemerintah juga menyiratkan, kebutuhan hidup layak tak lagi menjadi acuan penghitungan upah minimum ke depan.
Suatu keputusan yang dipastikan tak akan disambut baik oleh buruh, tetapi pemerintah menyatakan ini keputusan terbaik untuk situasi saat ini. Menaker mengatakan, langkah ini sebagai jalan tengah yang mengakomodasi kepentingan, baik pengusaha maupun pekerja, yang sama-sama terpukul oleh Covid-19, demi menjaga keberlangsungan usaha perusahaan sekaligus kesinambungan lapangan kerja bagi pekerja.
Menaker juga mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan bantalan sosial untuk menjaga agar daya beli masyarakat tak menurun dengan tidak dinaikkannya upah minimum (UM). Meski sedikitnya 25 provinsi menyatakan akan menerapkan keputusan itu, reaksi keras muncul dari sebagian kelompok buruh yang menganggap pemerintah hanya berpihak kepada pengusaha, sebagaimana juga pada kasus UU Cipta Kerja.
Mereka tetap pada tuntutan kenaikan UM. Mereka mengancam melancarkan aksi demo besar di semua kota. Sikap serupa ditunjukkan atas rencana penghapusan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai acuan dalam penghitungan UM ke depan karena hal itu dinilai kian mengancam taraf hidup pekerja.
Semua pihak perlu menyikapi situasi ini dengan kepala dingin. Kemelut UM yang tak terkendali hanya akan semakin membuat ciut investor dan memperkeruh iklim berusaha—yang justru hendak diperbaiki dengan UU Cipta Kerja—apabila tidak bisa diselesaikan dengan baik.
Kita sangat memahami situasi berat yang dihadapi buruh akibat dampak Covid-19, terutama dengan penurunan tajam pendapatan dan PHK yang terus bertambah. Namun, memaksakan upah tetap naik, sedangkan kondisi dunia usaha babak belur, pada akhirnya juga tak akan menguntungkan buruh sendiri jika misalnya membuat perusahaan memilih tutup dan melakukan PHK. Survei Badan Pusat Statistik dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memperlihatkan, PHK masih akan tinggi beberapa waktu ke depan jika penyebaran Covid-19 tak bisa segera dikendalikan.
Kebijakan stimulus dan relaksasi, sejauh ini, belum mampu sepenuhnya membendung dampak korona ke dunia usaha. Ditambah lagi serapan stimulus yang rendah. Bagi pemerintah sendiri, mempertahankan UM ibarat pisau bermata dua. Tak menaikkan UM bisa menahan jumlah perusahaan yang melakukan PHK. Namun, di sisi lain, tak menaikkan UM akan kian melemahkan daya beli dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, dan pada gilirannya membuat semakin berat bagi kita untuk keluar dari resesi.
Selama ini, meski sudah banyak program stimulus pekerja yang dilancarkan pemerintah, skema itu tak menyentuh sebagian besar pekerja formal, apalagi pekerja informal. Di sini pentingnya penguatan jaring pengaman sosial, terutama melalui perluasan sasaran program bantuan tunai bagi kelompok pekerja yang belum terlindungi. Kegagalan memastikan hal ini tidak hanya menjadi pertaruhan bagi kesejahteraan buruh dan stabilitas sosial, tetapi juga pemulihan ekonomi.
Dari sisi pengusaha, bagi yang mampu, juga dituntut itikad baik untuk tidak menjadikan dalih pandemi agar upah tidak naik. Kesediaan semua pihak bekerja sama melewati masa-masa sulit ini bersama-sama sangat penting di sini.