Libur Panjang, Warga Jakarta Enggan ”Staycation”
Libur panjang pekan ini tidak banyak berimbas pada hotel-hotel di Jakarta. Warga Jakarta dipastikan lebih banyak keluar kota dan memadati daerah yang memiliki tujuan wisata daripada tinggal di hotel di dalam kota.
Maulana Yusran, Sekretaris Jenderal Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia, Jumat (30/10/2020), menjelaskan, saat libur panjang seperti pada pekan ini, yang terjadi di Jakarta adalah orang-orang pergi ke luar kota dan berlibur atau bervakansi. Mereka pergi ke daerah-daerah yang memiliki destinasi wisata, di antaranya ke Bandung, Yogyakarta, Puncak, dan ke Batu, Malang, Jawa Timur.
”Tempat-tempat dengan tujuan wisata di Pulau Jawa pasti ramai saat seperti sekarang,” kata Yusran.
Sudah pasti itu akan berimbas pada tingkat hunian hotel atau okupansi hotel di tempat-tempat tujuan tersebut. Untuk kota-kota dengan tujuan wisata di luar Jakarta, saat ini terjadi kenaikan tingkat hunian sekitar 70 persen per hari dibandingkan dengan hari-hari tanpa libur saat pandemi.
Untuk Jakarta, lanjut Yusran, sedikit saja warga yang tinggal di hotel di dalam kota Jakarta saat libur panjang untuk menghilangkan kejenuhan atau kebosanan.
Baca juga : Hotel di Jakarta Tidak Banyak Terimbas Libur Panjang
”Staycation atau program penawaran dari hotel bagi mereka yang ingin menghilangkan kebosanan tinggal di rumah dengan cara tinggal di hotel di kota yang sama sedikit saja. Saat long weekend, kalau kita perhatikan, mereka lebih banyak pergi ke luar Jakarta,” ujar Yusran.
Senada dengan Yusran, Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta Krishnadi menyampaikan, untuk luar Jakarta, sudah pasti ramai. Itu berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Saat diberlakukan PSBB transisi, ada pelonggaran sehingga masyarakat keluar Jakarta. Situasi ramai keluar Jakarta itu didukung pula dengan operator pesawat dan kereta yang menambah armada dan menawarkan tarif angkutan yang menarik.
Kalaupun warga mau tinggal di hotel, jelas Krishnadi, biasanya adalah di hotel-hotel yang dekat atau berdampingan dengan pusat perbelanjaan. Hal itu terlihat saat penerapan PSBB transisi pertama pada Juli-Agustus lalu.
”Warga yang sudah merasa sesak atau bosan di rumah, tinggal di hotel lalu bisa ke pusat perbelanjaan,” katanya.
Keperluan bisnis
Hal berbeda diungkapkan Senyra Fransiska, Marketing Communication Executive Grand Mercure Jakarta. Menurut Senyra, untuk Hotel Grand Mercure Jakarta Kemayoran, tingkat hunian ruang kamar mencapai 70 persen. Sampai minggu kedua November, lanjut dia, malah untuk okupansi ruang pertemuan sudah penuh.
Senyra memperkirakan hal itu terjadi karena adanya pelonggaran sehingga pertemuan-pertemuan juga sudah bisa dilakukan di hotel meski masih ada pembatasan kapasitas, lalu juga karena kamar yang ditawarkan longgar dan luas, juga ada penawaran variasi menu, jaminan penerapan protokol kesehatan, serta kolam renang meski juga untuk jam penggunaan dan kapasitas masih dibatasi.
Baca juga : Tingkat Keterisian Hotel di Kabupaten Bogor Sentuh 60 Persen
”Meski banyak yang keluar kota, ternyata peminat untuk tinggal di hotel masih banyak,” ujarnya.
Di masa pandemi, Senyra memastikan, fasilitas hotel yang ditawarkan tetap bisa dipergunakan, tetapi dengan pembatasan jam layanan dan kapasitas. Hal itu, di antaranya,seperti kolam renang dan pusat kebugaran (fitness center) yang tutup pada pukul 17.00.
Pembatasan penggunaan fasilitas hotel itu juga terjadi di Santika Bintaro. Tanita Pribadi, PR Santika Bintaro, menjelaskan, pengunjung bisa berenang di kolam renang Santika Bintaro, tetapi dengan cara memesan lebih dahulu karena ada pembatasan kapasitas pengguna dan waktu penggunaan hanya boleh 2 jam.
Demikian juga di restoran, tamu akan dilayani dalam pengambilan makanan supaya tidak banyak bersentuhan dengan makanan ataupun peralatan makan. Juga pembatasan jumlah tamu di restoran. Hal itu dilakukan untuk menjamin adanya penerapan protokol kesehatan.
”Kalau okupansi memang ada di 50-an persen. Tapi, lebih banyak untuk keperluan bisnis, pertemuan, dan kamar,” kata Tanita.
Baca juga : Lagi, Wisatawan Puncak Bogor Terkonfirmasi Reaktif
Dengan situasi saat ini, Krishnadi mengatakan, dari pemantauan PHRI untuk libur panjang saat pandemi ini, okupansi hotel di Jakarta memang bervariasi. Namun, rata-rata sepi. ”Kalau dipersentasekan, berkisar 20-30 persen,” katanya.
Libur, ke Puncak saja
Keengganan warga Jakarta berlibur di dalam kota, antara lain, diungkapkan oleh Enggar Dwi Sakti (28), warga Jakarta Selatan. Ia bersama pasangannya melewatkan libur cuti bersama kali ini dengan berwisata ke Puncak, Bogor. Enggar paham konsekuensinya tidak hanya terjebak macet, tetapi juga berisiko terpapar Covid-19.
”Libur panjang, jadi kesempatan jalan-jalanlah. Selama ini, sejak pandemi, belum pernah jalan-jalan ke luar Jakarta. Sumpek kerja terus, jadi memang perlu jalan-jalan dan penyegaran. Kalau macet, pasti, kan, apalagi saya bawa mobil. Memang tiap minggu atau libur selalu macet. Itu sudah biasa, toh,” tutur pria asal Semarang tersebut.
Enggar menuturkan, kondisi di sejumlah obyek wisata di Puncak, seperti di kebun teh Cisarua dan Telaga Warna, cukup ramai dikunjungi pengunjung, begitu pula di sejumlah rumah makan. Beberapa pengunjung masih ada yang tidak mengenakan masker dan menjaga jarak. Namun, dari pengamatannya, ia sering berjumpa dengan petugas satpol PP dan petugas lainya untuk memantau ketertiban protokol kesehatan warga.
Baca juga : Selama Liburan, Antisipasi Penularan Kluster Keluarga
”Ya, kepikiran juga kalau terciduk petugas karena enggak tertib protokol kesehatan. Jadi, harus taat pakai masker. Ini untuk mitigasi diri sendiri juga. Bawa semprot pembersih tangan. Sepulang libur juga rencana mau ikut rapid test,” tutur Enggar.
Hal senada disampaikan Regi (33), warga Kota Depok, Jawa Barat. Regi pergi bersama istri dan anaknya yang masih berumur 5 tahun ke Puncak, Bogor. Ia mengaku tak terlalu khawatir tertular Covid-19 asal tetap memakai masker dan tetap menjaga kesehatan.
”Insya Allah aman, kami tetap mengenakan masker. Cuma, memang, kalau ke warung atau tempat makan, ramai,” kata Regi yang berangkat menggunakan sepeda motor.
Wakil Ketua PHRI Kabupaten Bogor Boboy Ruswanto mengatakan, tingkat okupansi hotel di Kabupaten Bogor, terutama di Kawasan Puncak, Bogor, meningkat berkisar 55-60 persen.
”Rata-rata, pengunjung menginap 1 malam saja. Tingkat okupansi sampai 1 November atau berakhirnya libur panjang tetap 60 persen. Jadi, memang keterisian hotel tidak boleh lebih dari 60 persen. Kita bersama ikuti aturan protokol kesehatan. Pengunjung yang datang juga harus menaati protokol kesehatan, begitu pula karyawan hotel dipastikan sehat atau negatif Covid-19 dalam bertugas,” tutur Boboy, Jumat.
Boboy mengatakan, PHRI tetap mendukung aturan pembatasan oleh pemerintah agar penyebaran Covid-19 saat libur panjang akhir Oktober ini bisa tetap berjalan dengan kepatuhan protokol kesehatan.
Namun, Wali Kota Bogor Bima Arya bersama tim elang saat inspeksi mendadak menemukan pelanggaran protokol kesehatan, setidaknya di tempat-tempat makan yang tidak menerapkan menjaga jarak.
”Tak ada pembatasan kapasitas 50 persen di restoran. Semua meja dan kursi terisi penuh. Data juga menunjukkan arus masuk ke Bogor di Tol Jagorawi naik dua kali lipat. Kami pantau, rumah makan yang masih melanggar akan kami tindak, akan kami tutup. Kunci mengurangi penyebaran Covid-19 adalah protokol kesehatan, faktanya tak semua patuh protokol kesehatan,” tutur Bima.
Bima melanjutkan, dari laporan yang ia terima dan dari pemantauannya, arus lalu lintas di Kota Bogor, baik yang berwisata ke Kota Bogor maupun yang hendak menuju obyek wisata lainnya, naik hingga 30 persen.
Nafsu berlibur terbukti bisa menutup mata sebagian warga terhadap bahaya pandemi. Mungkin, bagi mereka, kalaupun ada dampak negatif, nanti bisa dipikirkan lagi. Sekarang yang penting senang-senang. Duh!