Ekonomi Sosial Kemanusiaan, Ekonomi Daulat Rakyat
Buku ini terasa beda dari berbagai pendekatan konsep dan teori ekonomi berkeadilan karena berangkat dari pendekatan faktual konkret Indonesia. Dari sisi itu, tawaran yang disampaikan inspiratif dan segar.
Data Buku
Judul: Ekonomi Politik Daulat Rakyat Indonesia. Pancasila sebagai Acuan Paradigma
Penulis: Francis Wahono
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2020
Tebal: xv + 336 halaman
ISBN: 978-623-241-074-9
Buku ini menawarkan konsep Ekonomi Sosial Kemanusiaan, berangkat dari narasi Ekonomi Politik Darurat Indonesia dengan Pancasila sebagai acuan paradigma. Istilah Daulat Rakyat diambil dari nama jurnal yang diterbitkan Mohamad Hatta.
Buku lahir dari keprihatinan penulisnya, Francis Wahono, soal langkanya buku perekonomian Indonesia dari sudut teori dan konsep yang ditulis dari pengalaman yang digali dari Indonesia. Oleh karena itu, ia menawarkan Pancasila, dasar negara NKRI, sebagai acuan paradigma. Teori dan konsep Barat memang berlaku umum, tetapi tetap saja diperlukan teori dan konsep yang digali dari pengalaman Indonesia.
Teori-teori ekonomi Barat dijadikan referensi yang disikapi secara kritis sekaligus dipakai sebagai tempat berpijak narasi pengalaman Dunia Selatan yang dulu dikategorikan sebagai negara berkembang, termasuk Indonesia.
Teori dan konsep Barat memang berlaku umum, tetapi tetap saja diperlukan teori dan konsep yang digali dari pengalaman Indonesia.
Latar belakang disiplin ilmu ekonomi yang berangkat dari ekonomi kerakyatan dan disiplin filsafat-teologi (Katolik) di antaranya teologi pembebasan sebagai minat penulisnya terasa kental. Konsep dan narasinya tidak lepas dari teologi pembebasan, tidak dalam konteks teologi, tetapi dalam metodologi membangun teori dan konsep perlawanan (hlm 251).
Wahono memungut pendapat salah satu tokoh teolog pembebasan, John Sobrino, yang menyempurnakan rumusan Karl Marx, bahwa kapitalisme dilawan dengan mengambil alih sarana produksi. Menurut Sobrino, Marx masih kurang dua tahap lagi, yakni kritik ideologi kedua dan kritik atas tahap kedua, sebab yang dilakukan baru kritik ideologi pertama, kapitalisme.
Sementara kritik ideologi kedua adalah fase setelah kapitalisme. Sistem yang ditawarkan Marx (komunisme) tidak memberi ruang pada kritik atas kritik dan inilah yang diperjuangkan Sekolah Frankfurt (hlm 252). Dinamika prosesnya, ”aksi-refleksi-aksi-refleksi-aksi”, yang kemudian diadopsi teologi-teologi pembebasan. Teologi pembebasan tidak selesai dengan kritik seperti Marx, tetapi diteruskan dengan proses eksegese sesuai komitmen dan iman kristiani yang bersumber dari kitab suci.
Dengan metodologi itu, Pancasila menjadi acuan paradigma, ditawarkan sintesis baru, dari tesis ekonomi politik daulat rakyat Soekarno-Hatta dan tesis ekonomi-neopopulisme Widjojo dkk, dengan dukungan Emil Salim yang memberi perhatian keselamatan lingkungan. Mengacu pada kelima pasal Pancasila, sintesis baru itu adalah Ekonomi Sosial Lestari.
Keberlanjutan (sustainability) pembangunan harus dipahami sebagai proses bukan hasil akhir. Dengan demikian, ideologi politik, pembenaran sosial dan ungkapan budaya vis-a-vis ekonomi dan ekologi yang bernuansa keserakahan dan kerusakan harus diubah menjadi pembatasan, penghematan, dan pelestarian (hlm 297).
Keberlanjutan (sustainability) pembangunan harus dipahami sebagai proses bukan hasil akhir.
Sebelum sampai pada kesimpulan akhir (ekonomi sosial lestari), dibahas dinamika gagasan yang dibangun dari gagasan dasar ekonomi sosial kemanusiaan dengan mengutip teori dan konsep ilmuwan-ilmuwan Barat dan Ajaran Sosial Gereja dari konstitusi dan magisterium para paus dengan kacamata teologi pembebasan.
Menegaskan dan memperkuat bangunan teorinya, dikutip sejumlah tokoh ekonom Indonesia—tidak dimuat Sritua Arief yang dirasanya mirip dengan Sri-Edi Swasono dan Dawam Rahardjo yang pandangannya mirip versi baru Mohamad Hatta—dan pemuatan kembali artikel-artikel yang pernah dimuat di media massa terkait nuansa ekonomi sosial kemanusiaan.
Di luar Pendahuluan dan Penutup, buku ini terdiri atas 17 Bab dengan setiap sila Pancasila dibahas dalam masing-masing tiga bab teori. Sekapur Sirih Emil Salim melemparkan harapan, dengan melihat beberapa contoh negara berbeda-beda dalam menerapkan ideologi nasionalnya, menarik kalau perkembangan ideologi Pancasila dikaitkan dengan perwujudan skala preferensi para pemimpin kita di masa lalu.
Ekonomi yang berkeadilan
Sebagai acuan paradigma, sila Ketuhanan yang Maha Esa ditarik dalam realitas bahwa paham surga bukan sesuatu yang nanti, tetapi yang sekarang. Realitas kemiskinan dikaitkan dengan konsep kemiskinan. Diperkenalkan istilah teologi hijrah, ”kita tidak bisa menuju ke surga dengan tujuan surga saja” (hlm 41-42). Oleh karena itu, perlu dicari teologi yang mampu menyambungkan badan dan jiwa, realitas dan makna.
Dimajukan pendekatan teologi pembebasan yang berangkat dari refleksi realitas negara-negara Amerika Latin yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan. Teologi pembebasan pun berkembang di negara-negara lain dengan titik berangkat dari realitas.
Metodologi teologi pembebasan—aksi, refleksi, aksi, refleksi, aksi—dipakai dalam pembahasan kelima sila Pancasila. Membaca realitas, menafsirkan sebagai tindak lanjut, dan menawarkan bentuk dan yang sebaiknya dilakukan, termasuk mengapresiasi contoh-contoh yang sudah hidup dalam masyarakat.
Taruh contoh Credit Union (CU) untuk masyarakat terpinggirkan yang disebutnya sebagai bentuk perlawanan ilmu pengetahuan dan teknologi manajerial (hlm 47). Tujuan utama CU adalah menabung dalam arti meningkatkan martabat dan bukan akumulasi kapital.
Tujuan utama Credit Union adalah menabung dalam arti meningkatkan martabat dan bukan akumulasi kapital.
Terkait sila kelima, Keadilan Sosial, menurut Wahono, sepanjang sejarah manusia, keadilan sosial tidak pernah dapat diserahkan pada mekanisme pasar separti dianut neoliberalisme. Mekanisme pasar selalu akan mengarah pada ketidakadilan karena selalu akan diselesaikan dengan kompetisi survival of the fittest (Charles Darwin)–(hlm 262).
Seperti pada uraian keempat sila sebelumnya—selalu disampaikan tools atau alat sebagai aksi—acuan sila kelima ini pun disertai sembilan kebijakan ekonomi berkeadilan; bukan hal baru tetapi disampaikan sebagai kesatuan (hlm 263-268). Saran terakhirnya, perbaikan bangsa ini hanya mungkin dimulai dari membuat rancang bangun dan mempraktikkan pendekatan yang berangkat dari akal sehat dan jaringan organisasi rakyat jelata (hlm 271).
Mengikuti jalan pikiran, pembahasan teori dan konsep Wahono, pembaca perlu jeli sebab sering terjadi referensi pendapat dan buku-bukunya terjadi duplikasi, bahkan sering terasa dipaksakan. Namun, pembaca perlu kagum dengan beragam pendapat dan referensi yang disampaikan dan dikutip sebagai penegas argumentasi, menunjukkan beragam dan banyaknya buku bacaan penulisnya.
Buku ini terasa beda dari berbagai pendekatan konsep dan teori ekonomi berkeadilan karena berangkat dari pendekatan faktual konkret Indonesia. Dari sisi itu, tawaran yang disampaikan inspiratif dan segar. Sayang, penulis tidak memberi jawaban atas pendapat Emil Salim di Sekapur Sirih.
Menurut Emil Salim, skala peferensi sangat pemimpin dalam memahami dan menerapkan ideologi saat memimpin negaranya, sering bersifat pragmatis, dan sangat dipengaruhi situasi dan semangat zaman.
(St Sularto, Wartawan dan Penulis Buku)
Francis Wahono