Jembatan Peradaban Islam, Pancasila, dan HAM
Nilai-nilai di dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan, nilai-nilai Islam mewujud dalam lima sila Pancasila. Ditambah penghargaan atas HAM, ketiga pilar itu berkontribusi besar bagi peradaban dunia.
Dunia mengalami krisis kemanusiaan yang tidak mudah diatasi. Upaya membangun jembatan kesepahaman tentang nilai-nilai bersama yang dijunjung tinggi secara universal diharapkan dapat membawa umat manusia keluar dari krisis kemanusiaan yang saat ini terjadi.
Kolaborasi antara prinsip utama Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam atau rahmatan lil alamin, ideologi Pancasila, dan nilai-nilai hak asasi manusia yang fundamental dan tidak dapat dikurangi (unalienable rights) kiranya dapat berkontribusi membangun titian menuju peradaban baru yang lebih harmonis dan saling menghargai.
Upaya untuk membangun jembatan dialog dan pemahaman membutuhkan upaya dari banyak pihak. Tak hanya satu-dua pihak, tetapi konsensus bersama yang sedapat mungkin diterima secara universal.
Upaya untuk membangun jembatan dialog dan pemahaman membutuhkan upaya dari banyak pihak. Tak hanya satu-dua pihak, tetapi konsensus bersama yang sedapat mungkin diterima secara universal. Pemahaman akan nilai- nilai bersama dalam kaitannya dengan kemanusiaan, di dalam dunia yang telah menjadi ”desa global”, mau tak mau harus diwujudkan melalui konsensus yang dibuat secara tulus.
Dalam seminar internasional bertajuk ”Islam Rahmatan lil Alamin, Pancasila and the Commission on Unalienable Rights: Preserving and Strengthening A Rules-Based International Order in the 21st Century, Founded Upon Shared Civilizational Values” yang diadakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Gerakan Pemuda Ansor bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Rabu (28/10/2020), di Jakarta, jembatan dan kolaborasi antara nilai-nilai rahmah dalam Islam, Pancasila, dan nilai-nilai HAM itu berusaha dilakukan.
Baca juga: Kolaborasi Islam, Pancasila, Prinsip HAM Wujudkan Perdamaian
Para pembicara yang hadir, antara lain, Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf; Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, anggota Dewan Pengarah BPIP, Rikard Bagun; Pelapor Khusus untuk Commission on Unalienable Rights Kementerian Luar Negeri AS Cartwright Weiland; dan pembicara kunci Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Acara dihadiri pula Kepala BPIP Yudian Wahyudi serta jajaran dewan pengarah BPIP, termasuk Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP Try Sutrisno.
Pada sesi kedua, pembicara yang hadir ialah Yaqut Cholil Qoumas (Ketua Umum Pengurus Pusat GP Ansor), Siswo Pramono (Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kemenlu Indonesia), Cesar Rosello (Utusan Khusus Centrist Democrat International), Mary Ann Glendon (Ketua Commission on Unalienable Rights, Kemenlu, AS), dan C Holland Taylor (utusan GP Ansor untuk PBB, Amerika dan Eropa).
Mahfud mengatakan, pendiri bangsa telah meletakkan fondasi yang kuat dalam bentuk dasar negara Pancasila. Pancasila adalah hasil konsensus berbagai elemen di Indonesia, baik kelompok nasionalis maupun agama. Pancasila lahir sebagai ideologi yang menyadari realitas kemajemukan Indonesia. Walaupun mayoritas penduduk Indonesia Muslim, bukan pendekatan mayoritanisme yang dipilih para pendiri bangsa, melainkan pendekatan yang mengakomodasi segala perbedaan untuk menuju persatuan.
Kendati demikian, nilai-nilai Pancasila merefleksikan nilai-nilai Islam. ”Nilai Islam itu tercitrakan dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menggambarkan keyakinan warga bangsa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang juga merupakan salah satu nilai dan prinsip penting dalam Islam,” ujar Mahfud.
Baca juga: Islam dan Pancasila
Nilai-nilai Islam juga mewujud dalam empat sila lainnya, yakni kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan atau demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai itu juga merupakan prinsip di dalam Islam dan merupakan nilai yang ak dapat dilepaskan dari substansi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Karena itu, Islam sama sekali tak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Islam pun kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi.
Mahfud mengatakan, konstitusi Indonesia menegaskan kemerdekaan adalah hak seluruh bangsa. Kemanusiaan dan nilai-nilai universal atas HAM yang berlaku umum di dunia juga dijunjung tinggi oleh Indonesia. Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang perlindungan HAM. Di berbagai regulasi juga dijamin berbagai hak dasar, termasuk hak beribadah dan beragama, hak berpendapat dan berekspresi, hak hidup, dan jaminan atas kesejahteraan.
Nilai-nilai Islam juga mewujud dalam empat sila lainnya, yakni kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan atau demokrasi, dan keadilan sosial
Kolaborasi
Rikard Bagun mengatakan, Islam, Pancasila, dan nilai-nilai HAM diharapkan bisa berkolaborasi dalam menjembatani terciptanya nilai-nilai peradaban pada abad ke-21. Dalam situasi dunia yang sedang krisis, yang digambarkan dengan istilah VUCCA, yakni volatility (perubahan cepat/kelabilan), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleksitas/kerumitan), dan ambiguity (ambiguitas/kebimbangan), maka ketiga pilar itu dapat mengambil kesempatan untuk bekerja sama dalam membangun peradaban dunia dengan berbagai nilai mulia yang sama.
Sekalipun ketiganya berasal dari sosio-kultural yang berbeda, yakni prinsip rahmatan lil alamin dari Islam, Pancasila dari Indonesia, dan HAM dari dunia Barat, jika kekuatan itu berkolaborasi mengadvokasi nilai-nilai bersama, seperti perdamaian, persatuan dalam perbedaan, hidup damai dan berdampingan, serta kebahagiaan, maka dampaknya akan luar biasa bagi kemanusiaan.
”Sikap saling menghargai terhadap perbedaan sangat penting di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, baik dalam hal etnisitas, agama, bahasa, dan sebagainya. Lebih penting lagi ialah bagaimana kemajemukan itu dapat menjadi kekuatan yang menyatukan,” ungkapnya.
Yahya Cholil Staquf mengatakan, untuk mengatasi ketegangan-ketegangan terkait dengan Islam, tidak cukup dengan bicara Islam sebagai agama perdamaian atau rahmatan lil alamin. Sejumlah yurisprudensi hukum Islam atau fikih harus diakui masih mengikuti zaman abad pertengahan. Kondisi ini menimbulkan persoalan karena semua teks itu tertulis dan masih diajarkan sampai sekarang. Pemahaman teks itu harus dikontekstualisasikan pada era sekarang, jika tidak, akan muncul persoalan. Sebagai contohnya ialah penyebutan kafir bagi kelompok non-Muslim.
”Beberapa kitab fikih yang diajarkan masih memuat pembedaan antara Muslim dan non-Muslim. Untuk non-Muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim, misalnya, ada pembedaan antara kafir dzimmi dan kafir harbi. Kafir dzimmi dilindungi hak-haknya, tetapi mereka dilindungi bukan sebagai warga negara yang setara. Kalau dalam diskursus Islam klasik, orang-orang kafir itu tidak boleh melintasi jalan yang dilalui orang Islam dan tidak boleh naik kendaraan,” ujarnya.
Interpretasi atas kitab fikih itu, menurut Yahya, harus direkontekstualisasikan. NU dalam musyawarah nasional di Banjar, Jawa Barat, telah menjawab persoalan itu. Tidak ada lagi penyebutan kafir dalam konteks negara bangsa karena setiap warga negara sama haknya di depan hukum negara. Penyebutan dan pembedaan antara Muslim dan non-Muslim itu menjadi jauh dari relevan.
Pemahaman teks itu harus dikontekstualisasikan pada era sekarang, jika tidak, akan muncul persoalan. Sebagai contohnya ialah penyebutan kafir bagi kelompok non-Muslim.
Belajar dari masa lalu
Mary Ann Glendon mengatakan, komisinya meyakini proyek advokasi HAM dan upaya membangun kesepahaman akan HAM yang tidak boleh dikurangi (unalienable rights) di antara banyak negara dan peradaban di dunia dapat diwujudkan dengan belajar dari keberhasilan 72 tahun lalu, di mana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya terbentuk. Pada 1948, Deklarasi HAM Universal lahir dan menandai diakuinya HAM sebagai satu konsensus nilai-nilai yang disepakati oleh dunia.
Komisi HAM yang dibentuk oleh Kemenlu AS berupaya meneliti dan menjajaki kemungkinan untuk menguatkan dan mendiskusikan nilai-nilai HAM dasar yang tidak dapat dikurangi dengan berbagai negara dan peradaban, termasuk Islam, dan Indonesia. Glendon mencatat sejumlah hal yang harus disadari jika belajar dari Deklarasi HAM Universal.
Menurut Glendon, tidak semua hal yang dianggap sebagai hak dapat berlaku universal karena ada perbedaan budaya dan lokalitas yang harus dipertimbangkan. HAM universal itu bukan berarti seragam atau sama maknanya karena sekali lagi ada unsur budaya yang melatarbelakangi. Selain itu, kemerdekaan atas sesuatu hal itu sifatnya interdependen atas pengakuan dan jaminan kebebasan yang lain sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan atau diambil sebagian. Pendekatan nilai-nilai HAM masa depan, karena itu, lebih bersifat pluralistik serta memperhatikan lokalitas dan unsur budaya sehingga nilai-nilai itu tak jadi semacam paksaan.
”Kita sedang membangun warisan untuk umat manusia. Pada 75 tahun mendatang, orang yang belum lahir akan melihat apa yang sudah kita upayakan,” kata Glendon.