Jumlah Air di Bulan Lebih Melimpah dari Prediksi
Tanda-tanda keberadaan air di Bulan sudah diketahui ilmuwan sejak 2009. Studi terbaru menunjukkan jumlah air di Bulan lebih banyak dari perkiraan sebelumnya.
Tanda-tanda keberadaan air di Bulan sudah diketahui ilmuwan sejak 2009. Bahkan, keberadaan air dalam bentuk es di kutub Bulan telah dikonfirmasi pada 2018. Namun, studi terbaru menunjukkan jumlah air di Bulan lebih banyak dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Untuk pertama kalinya, ilmuwan dari Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) mengidentifikasi adanya air di permukaan Bulan di bagian Bulan yang terang atau menghadap Matahari. Selain itu, air di Bulan juga lebih banyak terkumpul di daerah bayang-bayang yang mengalami kegelapan abadi.
Keberadaan air dalam jumlah melimpah itu diumumkan NASA pada Senin (26/10/2020) seiring terbitnya dua hasil riset tentang deteksi air di Bulan di jurnal Nature Astronomy. Temuan itu makin memantapkan cita-cita NASA untuk mengirimkan kembali manusia ke Bulan pada 2024 dan menjadikan Bulan sebagai transit pengiriman manusia ke Mars pada 2030-an.
Jika keberadaan air itu nantinya berhasil diverifikasi, ”Air akan lebih mudah diakses untuk diminum, untuk bahan bakar roket, hingga berbagai hal terkait air yang dibutuhkan NASA,” kata Paul O Hayne dari Laboratorium Fisika Atmosfer dan Antariksa di Universitas Colorado, Boulder, AS, seperti dikutip
Space.
Hayne dan tim mendeteksi keberadaan air di permukaan Bulan menggunakan wahana pengorbit NASA yang mengelilingi Bulan, Lunar Reconnaissance Orbiter. Mereka mendeteksi sebaran perangkap dingin, bagian di daerah bayang-bayang abadi Bulan yang dingin dan teduh serta bisa menyimpan air dalam jumlah besar dalam waktu lama.
Baca juga : Empat ”Bumi Baru” Paling Menjanjikan di Tata Surya
Daerah dengan bayang-bayang abadi itu banyak ditemukan di kedua kutub Bulan. Sebelum temuan ini, hanya kutub selatan Bulan yang diyakini menyimpan air dalam jumlah besar. ”Jika kita berdiri di permukaan Bulan di dekat salah satu kutubnya, akan terlihat daerah bayang-bayang di mana-mana,” tambah Hayne.
Perangkap dingin di daerah bayang-bayang itu memiliki diameter beragam. Makin kecil ukuran perangkap dinginnya, makin banyak jumlahnya. Diperkirakan ada ratusan hingga ribuan daerah perangkap dingin dengan diameter 1 sentimeter atau kurang. Rendahnya temperatur udara di daerah perangkap dingin membuat air di sana berperilaku seperti batu.
”Jika air masuk ke daerah perangkap dingin, dia tidak akan bisa ke mana-mana hingga 1 miliar tahun,” katanya.
Selain itu, Hayne dan tim juga menemukan bahwa 40.000 kilometer persegi luas permukaan Bulan berpeluang mampu menahan air. Luasnya daerah di permukaan Bulan yang mampu menampung air itu dua kali lebih besar dibandingkan prediksi sebelumnya. Sebagai perbandingan, ukuran Bulan adalah seperempat Bumi dengan luas total permukaannya 38 juta kilometer persegi.
Sisi terang
Sementara itu, studi yang dilakukan Casey I Honniball, peneliti di Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA, menemukan adanya sebaran air di sisi Bulan yang terang atau bagian Bulan yang menghadap Matahari. Ketiadaan atmosfer di Bulan membuat bagian Bulan yang terang itu memiliki suhu sangat tinggi, bisa mencapai lebih dari 200 derajat celsius.
Tak hanya menghadap Matahari, sisi terang Bulan adalah bagian permukaan Bulan yang senantiasa dilihat dari Bumi. Kuncian gaya gravitasi Bumi membuat penduduk Bumi hanya bisa melihat satu sisi Bulan sepanjang masa. Kuncian gravitasi itu juga membuat waktu yang diperlukan Bulan untuk berputar pada porosnya (rotasi) sama dengan waktu yang diperlukan Bulan untuk mengelilingi Bumi (revolusi).
Bagian sisi terang ini pula adalah bagian Bulan yang paling banyak dieksplorasi manusia, baik didarati manusia maupun wahana penjejak. Satu-satunya teknologi manusia yang berhasil mendarat di bagian belakang atau sisi gelap atau yang tidak bisa dilihat Bumi hanyalah wahana Chang’e-4 milik China pada Januari 2019.
Baca juga : Atmosfer Bumi Mengembang Jauh hingga ke Bulan
Honniball dan tim mengidentifikasi keberadaan air di bagian terang Bulan itu menggunakan teleskop udara SOFIA atau Stratospheric Observatory for Infrared Astronomy. Teleskop reflektor berdiamater 2,5 meter ini merupakan kerja sama antara NASA dan Badan Penerbangan dan Antariksa Jerman (DLR).
Perangkat teleskop tersebut diletakkan di atas pesawat Boeing 747SP yang mampu terbang selama 10 jam pada ketinggian 11,5-13,7 kilometer di atas muka Bumi. Pengamatan pada panjang gelombang inframerah memang lebih baik dilakukan di bagian stratosfer Bumi, bukan di permukaan Bumi, karena 99 persen inframerah yang dipancarkan benda langit diserap atmosfer Bumi.
Studi Honniball dan tim mampu mendeteksi adanya tanda molekul air (H2O) di permukaan Bulan, bukan molekul hidroksil (OH) seperti yang dilakukan pada penelitian-penelitian terdahulu. Air tersebut ditemukan dalam jumlah melimpah di dekat kawah Clavius, salah satu kawah terbesar di muka Bulan, dan di Mare Serenitatis yang ada di dekat khatulistiwa Bulan.
Konsentrasi air di kedua daerah Bulan tersebut mencapai 100-412 bagian per sejuta atau setara dengan 350 mililiter air dalam setiap 1 meter kubik tanah Bulan. Jika dibandingkan dengan ukuran tanah yang sama di Gurun Sahara, Afrika, jumlah air di Sahara 100 kali lebih banyak dibandingkan dengan yang ada di tanah Bulan.
Meski jumlah air di Bulan terlihat kecil, temuan itu tetap menjadi loncatan akan ketersediaan air di Bulan. Belum lagi, selama ini ilmuwan menduga dari bukti yang ada bahwa tanah Bulan terlalu kering hingga air sulit ditemukan. Nyatanya, air memang ada di permukaan Bulan, termasuk di sisi terang Bulan.
”Temuan ini menantang pemahaman manusia tentang permukaan Bulan dan menimbulkan pertanyaan lain tentang ketersediaa sumber daya alam penting di Bulan yang bisa menunjang eksplorasi antariksa,” kata Direktur Divisi Astrofisika, Direktorat Misi Sains NASA, Paul Hertz seperti dikutip dari situs
NASA.
Sumber berharga
Bagaimanapun, air adalah sumber daya yang sangat berharga untuk menopang kehidupan manusia di mana pun berada, termasuk di luar Bumi. Selama ini, sebagian kecil kebutuhan air untuk antariksawan yang bekerja di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dipasok dari Bumi dengan kargo luar angkasa yang menyambangi ISS beberapa bulan sekali.
Pengiriman kargo ke ISS sangat mahal, mencapai ribuan dollar AS atau puluhan juta rupiah per kilogram. Padahal, air sangat berat. Karena itu, lebih dari 90 persen kebutuhan air bersih, termasuk air minum, di ISS diperoleh dari daur ulang air limbah yang dihasilkan antariksawan di ISS, mulai dari air keringat, air bekas mandi, hingga air seni mereka maupun air seni tikus percobaan yang ada di ISS.
Temuan keberadaan air dalam jumlah lebih melimpah di Bulan ini memberi harapan besar bagi kelangsungan program eksplorasi antariksa. Namun, Jacob Bleacher dari Direktorat Eksplorasi Manusia dan Misi Operasional NASA, seperti dikutip BBC, mengatakan masih butuh studi lanjut untuk memahami sifat endapan air di Bulan. Studi itu akan membantu manusia untuk menentukan seberapa mudah air di Bulan bisa diakses oleh penjelajah Bulan di masa depan.
Melalui misi Artemis, NASA sudah bertekad mendaratkan kembali manusia di Bulan pada 2024. Selama ini, daerah yang direncanakan untuk didarati adalah di sekitar kutub selatan Bulan karena di wilayah itulah sebelumnya banyak ditemukan air. Wilayah itu pula yang direncanakan akan jadi pangkalan transit untuk perjalanan manusia menuju Mars pada 2030-an.
Makin banyaknya lokasi di permukaan Bulan yang dideteksi mengandung air, membuat daftar lokasi pembangunan pangkalan manusia di Bulan makin banyak.
”Pangkalan manusia di Bulan akan ditempatkan di wilayah dengan konsentrasi air besar,” tambah Hannah Sargeant, ahli keplanetan dari Universitas Terbuka Inggirs dari Kampus Milton Keynes, Inggris.
Tak hanya itu, menyebarnya lokasi air di Bulan juga makin menjanjikan bagi misi masa depan untuk membangun permukiman permanan di Bulan. ”Ada atau tidak temuan ini, manusia tetap akan pergi ke Bulan. Namun, temuan ini memberi pilihan lebih banyak dan menjanjikan untuk dikunjungi manusia,” katanya.
Keberadaan air di Bulan juga diyakini akan menjadi dasar ekonomi Bulan di masa mendatang, setelah manusia memiliki cara untuk mengekstraksi air dari tanah Bulan. Adanya air di Bulan akan membuat bahan bakar roket lebih mudah dibuat di Bulan daripada mengirimkannya dari Bumi.
Air Bulan yang telah diubah menjadi hidrogen dan oksigen bisa menjadi bahan bakar roket. Roket ini bisa dimanfaatkan manusia untuk kembali ke Bumi atau melakukan perjalanan lebih jauh ke bagian lain Tata Surya Pengisian bahan bakar di Bulan itu akan membuat biaya perjalanan antariksa maupun pembangunan pangkalan di Bulan menjadi lebih terjangkau.
Dengan semakin majunya ilmu dan teknologi yang dikuasai manusia, pembangunan pangkalan maupun kolonisasi di Bulan dan penjelajahan luar angkasa yang lebih murah, nyaman, dan aman berpeluang besar terwujud. Tinggal waktu yang akan menentukan kapan akhirnya manusia benar-benar bisa menaklukkan Bulan dan antariksa.