Semangkok Mi dan Segelas Kopi di Saat Akhir Bersama Mbah Maridjan
Belum selesai saya menyantap pesanan makanan, terdengar sirene keras penanda Merapi erupsi. Saya segera meninggalkan makanan yang tak sempat saya habiskan itu karena Merapi keburu erupsi besar.
Masih segar di ingatan ketika Mbah Maridjan menoleh ke arah puncak Merapi yang tertutup mendung kelam. Hari itu, Selasa (26/10/2010) sekitar pukul 16.30.
Raut muka Mbah yang awalnya ceria mendadak berubah suram. ”Iya, kayane wis wektune,” gumamnya dalam bahasa Jawa yang artinya, ”Iya sepertinya ini sudah waktunya”.
Perkataannya menanggapi lontaran salah satu tamu tentang kondisi yang tiba-tiba gelap. Biasanya dalam suasana mendung kelam seperti itulah Merapi nduwe gawe alias ”menggelar hajat”, istilah warga lereng Merapi untuk aktivitas erupsi.
”Dulu-dulu memang selalu mendung dan kabut seperti ini pas Merapi njeblug. Ora tau dibuka, ditutup terus (tidak pernah terlihat, tertutup terus),” katanya.
Apakah Juru Kunci Merapi bernama asli Mas Penewu Surakso Hargo itu sedang membaca penanda alam dari Merapi, gunung yang sepeninggal ayahnya begitu setia ia jaga?
Saya tiba di rumah Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Kecamatan Umbulharjo, Sleman, DI Yogyakarta, menjelang pukul 12.00 siang. Tugas mewawancarai Juru Kunci Merapi itu datang langsung dari kantor Jakarta. Saat itu, saya masih bertugas sebagai wartawan untuk Kompas Biro Yogyakarta.
Di sana, telah berkumpul beberapa wartawan lain yang tengah menunggu untuk mewawancarai Mbah Maridjan. Saat itu matahari bersinar terang dan langit begitu biru, tetapi udara tetap terasa sejuk.
Puncak Merapi yang berjarak hanya 4 kilometer terlihat jelas. Ayam-ayam katai dan anak-anak yang bermain di halaman membuat suasana terasa tenang dan ceria.
Baca juga: ”Stop Press” dan Film Esek-esek
Kami tak perlu menunggu lama karena Mbah Maridjan segera pulang dari ladang menjelang pukul 13.00. Setelah membersihkan diri, ia berganti pakaian serta memakai kopiah dan sarung lalu pergi ke masjid untuk shalat. Sekembalinya, ia menerima para wartawan di ruang tamu, ruang yang berhias lukisan foto Sultan Hamengku Buwono IX, sosoknya, dan Gunung Merapi, serta terdapat payung Jawa dan beberapa bilah tombak.
Perbincangan siang itu berlangsung santai. Ia banyak melucu sembari terus menghindar menjawab pertanyaan terkait imbauan evakuasi yang diserukan pemerintah. Erupsi Merapi diperkirakan tak lama lagi.
Alih-alih menjawab pertanyaan wartawan apakah ia akan ikut mengungsi, abdi dalem Keraton Yogyakarta itu justru bercerita ke sana-kemari. Mulai dari pengalamannya pergi ke Monumen Nasional dan terkagum-kagum dengan teknologi bernama lift hingga melihat semut-semut yang pulang ke liangnya siang itu. Entah apakah kisah yang ia ceritakan itu sebagai simbolisme atau alat untuk menghindar agar tidak perlu menjawab pertanyaan tentang evakuasi.
Saat itu, Mbah Maridjan juga menolak diambil fotonya karena jengkel dengan wartawan yang tak henti mengejarnya. Ia merasa pemberitaan media bias. ”Sing cilik dadi gedhe, sing apik dadi elek,” katanya. Arti perkataannya kira-kira: yang kecil jadi besar, yang baik malah jadi jelek.
Baca juga: Pengalaman Kecebur Kolam hingga Dikira Menteri
Seiring meningkatnya aktivitas Merapi, pernyataan Mbah Maridjan selalu dinanti media. Saat itu seperti ada benturan antara sains dan kepercayaan spiritual lokal.
Sains yang diwakili Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengimbau warga agar mengevakuasi diri hingga jarak aman 10 kilometer dari puncak Merapi. Tempat-tempat pengungsian sudah disiapkan pemerintah setempat. Adapun keyakinan lokal yang diwakili Mbah Maridjan memilih bertahan di rumah.
Sikap Mbah Maridjan yang menolak evakuasi diikuti sebagian warga. Mereka meyakini Juru Kunci Merapi itu sebagai sosok yang secara spiritual dekat dengan Merapi. Pernyataan Mbah Maridjan saat itu menjadi penting karena tahun 2006 ia juga menolak imbauan evakuasi menjelang erupsi.
Mbah Maridjan yang selamat dari erupsi Merapi 2006 agaknya makin menguatkan keyakinan sebagian warga bahwa ia yang paling paham tabiat Merapi sehingga ketika 2010 ia kembali menolak evakuasi, sebagian warga pun mengikuti.
Baca juga: Waktu-waktu Ajaib Pentas Komunitas Lima Gunung
Keengganan warga untuk evakuasi bisa dipahami. Mereka memiliki ladang dan ternak yang tak bisa begitu saja ditinggalkan karena butuh perawatan setiap hari. Sebetulnya, Mbah Maridjan tak pernah mengajak orang lain bertahan menolak evakuasi. Sikapnya merupakan pilihan pribadi.
Perbedaan pandangan antara Mbah Maridjan dan pemerintah sempat memanas di media. Sesudah rombongan wartawan pergi, warga desa, kerabat, dan teman-teman keluarga yang datang dari Kota Yogyakarta kembali meramaikan rumah Mbah Maridjan.
Tinggal saya satu-satunya wartawan di sana. Kendati tugas wawancara sudah saya tunaikan, ada rasa penasaran yang membuat saya tetap bertahan. Mbah Maridjan kemudian keluar rumah untuk meneruskan perbincangan di teras.
Ia sudah berganti memakai celana pendek dan kaus seadanya. Tanpa kehadiran banyak wartawan, Mbah Maridjan bicara lebih lepas. Saya memilih hanya mendengarkan tanpa bertanya-tanya lazimnya wartawan.
Baca juga: Tantangan Jurnalis Perempuan: Antara Keluarga dan Berita
Di tengah percakapan, cuaca yang tadinya cerah mendadak berubah gelap. Sekitar pukul 16.00, mendung kelabu membuat suasana menjadi suram dan menutup rapat sosok Merapi. Raut wajah Mbah Maridjan berubah dari santai menjadi muram. Matanya nanar memandang ke arah Merapi.
Sesudah menggumam ”Waktunya sepertinya sudah tiba”, dengan raut muka serius ia menyudahi obrolan di teras. Lelaki bersosok kecil nan beruban itu masuk ke dalam rumah. Rupanya ia mengganti kaus dan celana pendek yang dipakainya dengan kopiah dan sarung. Dalam suasana gelap dan gelisah, ia berangkat ke masjid di belakang rumah untuk menunaikan shalat Ashar. Obrolan pun bubar.
Mi dan kopi yang tak sempat dihabiskan
Sekitar pukul 17.30, saya kemudian memesan mi instan dan segelas kopi di warung yang berada di sebelah rumah Mbah Maridjan. Entah mengapa, saya belum ingin meninggalkan lokasi. Editor di Kantor Biro Jogja Mas Thomas Pujo kemudian menelepon meminta saya kembali ke kantor karena tanda-tanda erupsi Merapi menguat.
Benar saja. Belum selesai saya menyantap pesanan makanan, terdengar sirene keras penanda Merapi erupsi. Saya segera meninggalkan makanan yang tak sempat saya habiskan itu karena Merapi keburu erupsi besar.
Tak berapa lama, sosok Mbah Maridjan terlihat melintas dari masjid kembali ke rumah. Beberapa mobil tampak masuk ke halaman rumah dengan tergesa, di antaranya sekira 5 mobil petugas PLN yang datang untuk memeriksa jaringan listrik, mobil untuk menjemput Mbah Maridjan sekeluarga, dan mobil kantor saya yang disopiri Mas Tugiman. Mobil itu dikirim karena saya tak juga muncul di kantor.
Suara sirene terus meraung. Awan gelap terlihat dari arah puncak Merapi. Namun saya telah bertekad untuk melihat evakuasi keluarga Mbah Maridjan. Separuhnya, saya penasaran dan ingin membuktikan semua perkataan Juru Merapi yang kukuh tak mau mengevakuasi diri itu.
Dalam suasana serba gelisah itu, melalui pintu yang terbuka, terlihat kesibukan keluarga Mbah Maridjan berkemas-kemas. Suasana semakin mencemaskan. Aroma sulfur tercium menyengat di hidung.
Awan gelap terlihat tepat di atap rumah di lahan keluarga Mbah Maridjan. Meskipun rasa penasaran belum terpuaskan, akal sehat dan insting bertahan hidup mendorong saya memutuskan untuk pergi.
Suasana cemas berubah menjadi ketakutan. Sekitar pukul 18.00, saya masuk mobil dan bersama Mas Tugiman melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan Kinahrejo. Di belakang kami, rangkaian mobil rombongan petugas PLN. Sedangkan mobil putih yang sedianya akan mengevakuasi keluarga Mbah Maridjan terlihat masih terparkir saat kami turun.
Gunung Merapi kemudian meletus pukul 18.10, 18.15, dan 18.25. Saat kami tiba di balai pertemuan warga Umbuharjo, kepanikan terasa. Balai itu menjadi shelter pengungsian terdekat dari rumah Mbah Maridjan. Sesekali terdengar isak tangis dan teriakan kesakitan. Rupanya dari orang-orang yang menjadi korban awan panas.
Telepon genggam saya mati karena kehabisan baterai. Saya bertahan di sekitar shelter pengungsian untuk menulis berita sembari menunggu kabar mengenai kondisi Mbah Maridjan dan keluarganya. Sekitar pukul 19.30, datang kabar Mbah Maridjan telah meninggal dalam peristiwa erupsi besar Merapi. Namun, seluruh keluarganya berhasil dievakuasi dengan selamat.
Rangkaian erupsi Merapi 26 Oktober-5 November 2010 menyebabkan 353 orang meninggal, termasuk Mbah Maridjan. Sebanyak 368 orang lainnya terluka dan 61.154 orang mengungsi.
Saat menerima tugas wawancara Mbah Maridjan, tak tebersit di benak saya akan merekam hari terakhir sang Juru Kunci Merapi itu. Seluruh tulisan hari itu saya selesaikan di shelter pengungsian di sekitar Kinahrejo.
Hari itu terasa berlalu begitu cepat. Saya seolah tak punya waktu untuk membiarkan emosi turut menilai apa yang telah terjadi. Tengah malam, barulah saya tiba di kos tempat saya tinggal di Klitren Lor, Kota Yogyakarta. Saat akhirnya telepon seluler saya kembali menyala, panggilan telepon dan pesan pendek bertubi-tubi masuk, menanyakan kabar.
Seorang kawan sampai menangis karena mendengar kabar saya turut menjadi korban tewas. Para editor di Jakarta juga menelepon untuk memastikan keselamatan saya. Saat itu, barulah kesadaran datang. Betapa besar peristiwa hari itu. Saya mungkin baru saja selamat dari ancaman kematian.
Belakangan, foto mi dan kopi yang berselimut debu vulkanik di meja dapur warung Mbah Maridjan menjadi obyek jepretan para fotografer yang datang keesokan harinya. Foto itu diiringi narasi ”hidup yang dipaksa ditinggalkan” malam sebelumnya dan masih beredar hingga 10 tahun setelah kejadian.
Dalam skala lebih besar, kejadian satu dekade yang lalu itu mengguncang kesadaran berbagai pihak. Setidaknya, hal itu melunakkan benturan antara sains dan keyakinan lokal.
Surono yang kala itu menjadi Kepala PVBMG menyadari sains harus semakin membumi dan lebih memahami keyakinan warga lokal. Ia pun menggagas komunitas Mitigasi Bencana tanpa Dasi dan Roti.
Dalam beragam pertemuan, Mbah Rono, sapaan akrab Surono, datang tanpa bahasa muluk-muluk. Di sana ia terus melayani apa pun pertanyaan warga lereng Merapi soal mitigasi bencana.
Demikian juga warga yang memegang keyakinan lokal, sekarang lebih rasional dalam mendengarkan sains dan tak lagi ngotot hanya mengukuhi keyakinannya sendiri. Erupsi Merapi 2010 telah membawa pelajaran yang begitu penting dalam mitigasi bencana kegunungapian.