Flu Spanyol Cermin Sejarah Pandemi
Pandemi flu Spanyol mungkin menjadi pandemi satu-satunya yang paling mendekati tentang apa yang kita alami hari ini. Buku ini mengajak kita becermin dari sejarah.
Judul buku: Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial, 1918-1919
Penulis: Ravando
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: Cetakan I, 2020
Jumlah halaman: 468 halaman
ISBN: 978-623-241-554-6
Tak ada waktu lebih tepat selain saat ini untuk belajar mengenai sejarah pandemi. Buku Perang Melawan Influenza karya Ravando hadir melengkapi khazanah historiografi Indonesia di tengah terbatasnya buku-buku yang mengulas tentang sejarah kesehatan di Indonesia. Melalui tulisannya, penulis berhasil memotret pelbagai dampak yang ditimbulkan oleh flu Spanyol di Indonesia masa kolonial, antara tahun 1918-1919.
Seakan memberi cermin kepada pembacanya, buku ini menunjukkan bahwa beragam fenomena buruk rupa yang terjadi lebih dari seabad silam ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang kita saksikan pada hari ini ketika Indonesia harus bergelut dengan pandemi Covid-19. Miris rasanya. Seratus tahun telah berlalu, bukankah respons kita terhadap wabah seharusnya sudah jauh lebih baik?
Tak terkendali tanpa transparansi
Pandemi flu Spanyol—yang sebenarnya bukan bermula dari ”Negeri Matador” itu—diduga kuat berawal dari daerah kecil di Haskell County, Kansas, di Amerika Serikat yang merebak pada awal tahun 1918. Dalam sekejap, penyakit ini menjangkiti penduduk setempat dan merebak ke daerah-daerah di sekitarnya.
Tak jauh dari Haskell County, terdapat Camp Funston—sebuah kamp militer tempat berlatih hampir 60.000 tentara Amerika Serikat pada Perang Dunia I. Tak ayal lagi, kawasan padat penghuni ini menjadi tempat ideal ledakan penularan virus influenza. Super-spreading event terjadi. Dalam waktu tiga minggu, lebih dari 1.100 tentara harus dirawat lantaran wabah baru dan tak sedikit yang meninggal dunia akibat komplikasi dengan pneumonia.
Alih-alih memberi peringatan kepada dunia akan wabah baru, berita malapetaka pada para tentara ditutup-tutupi agar tak menyurutkan semangat pasukan, karena menyebarkan berita sesungguhnya tentang flu Spanyol sama dengan menunjukkan kelemahan ke musuh. Imbasnya, wabah pun tidak pernah bisa dikontrol lantaran ketiadaan transparansi.
Imbasnya, wabah pun tidak pernah bisa dikontrol lantaran ketiadaan transparansi.
Ribuan tentara Amerika—dan miliaran virus di dalam tubuh mereka—keluar masuk Camp Funston menuju Eropa. Kemajuan teknologi pelayaran kala itu tentu juga dibarengi dengan risiko penyebaran virus dan bakteri yang jauh lebih masif. Jalur laut ini ditengarai menjadi awal tersebarnya virus influenza secara masif ke seluruh penjuru dunia.
Tanpa pandang bulu
Pada April 1918, Pemerintah Hindia Belanda sudah mendapatkan peringatan dari konsulatnya di Singapura untuk mencegah kapal-kapal dari Hong Kong berlabuh di Batavia guna mencegah penularan wabah. Sayangnya, pemerintah kolonial memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan peringatan tersebut. Sikap abai dan meremehkan bahaya virus melanggengkan datangnya malapetaka yang diperkirakan merenggut 1,5 hingga 4,37 juta nyawa di Indonesia kolonial.
Di tengah minimnya laporan pemerintah kolonial terkait pandemi tersebut, maka koran-koran sezaman bisa menjadi alternatif untuk mengetahui betapa mematikannya pandemi tersebut. Andalas di Serdang, misalnya, menyebut flu Spanyol sebagai penyakit adil, ”kerna tida pilih boeloe, itam, poetih, koening, sama sekali ia hantam”.
Buku ini menunjukkan bahwa sedari serangannya di gelombang pertama yang diperkirakan berlangsung antara Juni-September 1918, virus flu Spanyol sudah membuat kegemparan di berbagai tempat, sekalipun pemerintah kolonial dan beberapa dokter Belanda tetap bersikukuh bahwa flu Spanyol ini tidak lebih dari sekadar influenza biasa yang tidak berbahaya. Padahal, ketika pernyataan tersebut dilontarkan, pandemi ini ternyata sudah menjangkiti dan merenggut ribuan nyawa di banyak wilayah.
Di Surabaya, dari sekitar 1.500 tahanan, setidaknya ada 200 orang yang terinfeksi oleh virus tersebut, termasuk direktur penjara yang juga ikut tertular. Dilaporkan setidaknya 100 tahanan meninggal akibat pandemi tersebut. Sementara itu di Medan, 60 polisi dikabarkan sudah terjangkiti virus serupa dan 100 kuli Tionghoa meninggal karenanya.
Situasi jauh lebih buruk terjadi di gelombang kedua, yang berlangsung antara Oktober hingga Desember 1918 dan diduga membunuh jutaan penduduk hanya dalam kurun tiga bulan. Lantaran kurang personel, para tenaga kesehatan harus bekerja lebih keras untuk mengobati pasien-pasien yang mendadak memenuhi bangsal-bangsal rumah sakit di setiap kota. Tidak sedikit juga dari mereka yang dilaporkan berguguran setelah terjangkiti virus tersebut.
Tidak sedikit juga dari mereka yang dilaporkan berguguran setelah terjangkiti virus tersebut.
Temanggung misalnya, Dr SWA Tjonakin meninggal pada usia 37 tahun lantaran flu Spanyol. Sementara itu Dr Latip di Tanjung Pandan, Belitung, dilaporkan juga harus meregang nyawa setelah terinfeksi wabah yang sama. Di Pasuruan, tanah-tanah kuburan mendadak penuh sehingga memaksa pemerintah setempat untuk membuka lahan kuburan baru di sejumlah daerah.
Di banyak daerah terjadi kelangkaan kain kafan. Sementara tukang peti mati pun kebanjiran pesanan. Para penggali kubur harus bekerja ekstra dari pagi hingga malam. Di banyak daerah, banyak mayat yang terpaksa ditelantarkan begitu saja di pinggir jalan, setelah para tukang gali kuburnya dikabarkan tidak dapat bekerja lantaran terinfeksi flu Spanyol.
Di tengah gentingnya suasana di Indonesia kolonial akibat serangan flu Spanyol, masih banyak juga orang tak patuh protokol kesehatan yang dianjurkan para dokter dan pemerintah. Di Cepu, misalnya, penyebaran terjadi masif justru karena orang berbondong-bondong datang melayat orang yang meninggal dan main judi setelahnya.
Sementara di Barabali, Lombok Tengah, para pembesar justru mengadakan berbagai hajatan besar di tengah pandemi, yang jelas mengundang keramaian. Beberapa contoh tersebut menunjukkan bahwa sekalipun seabad telah berlalu, ternyata kita masih mewarisi situasi yang tidak jauh berbeda dalam kasus Covid-19 saat ini.
Hoaks, Konspirasi, dan Pseudosains
Lewat buku ini, Ravando juga menunjukkan bahwa berita hoaks dan pseudosains selalu mengiringi kemunculan suatu wabah. Dalam kasus flu Spanyol, lambatnya respons pemerintah kolonial berdampak terhadap kesimpangsiuran informasi yang membingungkan publik.
Karel Zaalberg, pimpinan redaksi koran Bataviaasch Nieuwsblad, telah mengingatkan pemerintah kolonial agar bertindak lebih serius dalam menangani flu Spanyol. Namun ironisnya, dalam edisi yang sama, tulisannya tersebut justru bersandingan dengan tulisan dari seorang dokter yang menyebutkan bahwa flu Spanyol bukanlah penyakit yang berbahaya.
Kompleksnya permasalahan flu Spanyol di Indonesia kolonial juga masih diperparah dengan munculnya beragam teori konspirasi yang menyebut pandemi tersebut disebabkan oleh hukum kodrat, hingga gas beracun yang menjalar dari medan perang di Eropa dan berembus ke seluruh dunia.
Beberapa oknum juga memanfaatkan kepanikan penduduk dengan menyebarkan beragam kabar bohong demi mengeruk keuntungan pribadi. Di Desa Kedungrandu, Purwokerto, beredar kabar tentang seseorang bernama Prawadrana yang mengklaim dirinya didatangi Nyi Roro Kidul yang berjanji melindungi orang-orang dari penyakit asalkan mereka berkenan memberi sedekah. Sementara itu di Wonogiri, muncul berita bahwa ikan lele dipercaya mampu menangkal flu Spanyol, yang membuat masyarakat berbondong-bondong memborong ikan lele.
Beberapa oknum juga memanfaatkan kepanikan penduduk dengan menyebarkan kabar bohong demi mengeruk keuntungan pribadi.
Tanpa obat-obatan yang definitif, obat-obatan alternatif pun menjamur. Minyak kayu putih menjadi andalan pertama. Racikan obat herbal, seperti labu putih, temulawak, lidah buaya, dan lainnya, dipercaya mampu mengobati demam dan batuk. Namun dalam banyak kasus, ramuan tersebut ternyata tidak mampu menolong apabila sudah terjadi komplikasi.
Buku ini mengelompokkan pembahasan kejadian-kejadian tersebut berdasarkan daerah di Indonesia. Pembaca akan merasakan pengulangan demi pengulangan seiring menyelami lembaran-lembaran buku ini. Di satu sisi, pengulangan tersebut menekankan pola yang serupa di banyak daerah di Indonesia. Namun, di sisi lain, banyaknya pengulangan tersebut bisa sedikit membosankan para pembaca.
Ravando menyoroti berbagai kegagalan, ironi, dan permasalahan sosial selama pandemi influenza. Sedikit sekali catatan tentang apa yang positif dan berjalan dengan baik. Alangkah lengkapnya, jika pola yang positif pun diangkat lebih banyak untuk menyeimbangkan dan memperkaya pelajaran kita untuk menghadapi pandemi yang akan datang.
Rambu yang relevan
Sikap meremehkan wabah, abai pada protokol, menutup-nutupi fakta, menyebar hoaks dan teori konspirasi, percaya pada pseudosains di atas akal sehat adalah sebagian dari jebakan-jebakan yang mampu membuat kita jatuh terpuruk dalam serangan suatu wabah. Buku ini memberi kita rambu-rambu penanda dari masa lalu supaya kita tidak kembali terpuruk dalam lubang-lubang jebakan serupa.
Hampir tak ada manusia yang hidup di muka bumi saat ini pernah mengalami wabah global berskala sebesar Covid-19. Pandemi flu Spanyol mungkin menjadi pandemi satu-satunya yang paling mendekati tentang apa yang kita alami hari ini. Oleh karena itu, belajar dari sejarah adalah sebuah cara—jika bukan satu-satunya—agar kita tak mengulangi kesalahan-kesalahan di masa lalu. Bukankah keledai pun tak jatuh dua kali di lubang yang sama?
MONICA NIRMALA
Lulus Master of Public Health dari Harvard University; Senior Public Health Advisor di Yayasan Alam Sehat Lestari