Keberadaan ASN dalam pilkada dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, ASN dituntut untuk profesional dan menjaga netralitasnya. Namun, di sisi lain, mereka juga berpotensi dimanfaatkan oleh kekuasaan, terutama petahana.
Oleh
Yohan Wahyu/Litbang Kompas
·4 menit baca
Posisi aparatur sipil negara atau ASN sebagai pelayan masyarakat dan pelaksana jalannya pemerintahan memang tidak lepas dari sorotan publik, terutama jika dikaitkan dengan agenda pemilihan kepala daerah. Separuh lebih responden (57,9 persen) dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu mengakui, keberadaan ASN rawan dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral, terutama oleh kepala daerah petahana yang maju kembali dalam pilkada.
Padahal, Pasal 2 Huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN jelas mengatur asas netralitas. Artinya, setiap ASN harus bebas dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak pada kepentingan siapa pun.
ASN tidak berada dalam ruang hampa politik. Mereka selalu bersinggungan dengan dinamika politik, terutama di tingkatan lokal.
Hanya saja, ASN tidak berada dalam ruang hampa politik. Mereka selalu bersinggungan dengan dinamika politik, terutama di tingkatan lokal. Momentum pilkada kerap memosisikan aparatur sipil ini menjadi sorotan, tak terkecuali ketika kepala daerah di tempatnya bertugas cenderung memanfaatkan mereka untuk kepentingan elektoral.
Peneliti senior Sindikasi Pemilu & Demokrasi, Dian Permata, menyebutkan, netralitas ASN dalam pilkada tak pernah surut dari titik krusial pelaksanaan pilkada. ”Ini karena ASN dianggap mampu menggerakkan potensi sosial dan politik yang mereka miliki,” ujar Dian.
Kerawanan dipolitisasi demi kepentingan elektoral saat pilkada itu sedikit banyak memengaruhi persepsi publik bahwa ASN rentan terlibat dalam dukung-mendukung saat kontestasi politik lokal itu berlangsung.
Hal ini tergambar dari kecenderungan terbelahnya persepsi responden soal apakah secara umum ASN saat ini sudah menjaga netralitasnya dalam pilkada. Sebanyak 35,7 persen responden meyakini, hal itu sudah dilakukan. Sementara 37,4 persen responden menyatakan sebaliknya.
Posisi aparatur sipil ini rawan dimanfaatkan oleh elite-elite politik demi kepentingan pertarungan dalam pilkada.
Tidak heran jika kemudian sebagian besar dari kelompok responden yang tidak yakin soal kemampuan ASN menjaga netralitasnya melihat posisi aparatur sipil ini rawan dimanfaatkan oleh elite-elite politik demi kepentingan pertarungan dalam pilkada.
Meskipun demikian, keterbelahan sikap ini tidak mengurangi keyakinan publik bahwa pada hakikatnya para aparatur sipil ini sebenarnya mampu untuk menjaga netralitasnya. Separuh lebih responden meyakini hal ini. Hanya saja, mereka cenderung tak kuasa ketika petahana menarik-narik aparatur sipil ini ke lingkaran politik.
Rawan melanggar
Posisi dilematis yang dihadapi aparatur sipil ini berakibat pada mudahnya mereka masuk dalam jerat pelanggaran asas netralitas. Data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat, sepanjang kampanye Pilkada 2020 ini ada 604 ASN yang melanggar aturan netralitas dan direkomendasikan dikenai sanksi oleh kepala daerah. Hanya saja, sebagian rekomendasi itu belum ditindaklanjuti oleh kepala daerah terkait (Kompas, 2/11/2020).
Data KASN itu tidak jauh berbeda dengan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atas laporan pelanggaran netralitas ASN. Menurut catatan Bawaslu, sampai 4 Oktober 2020, terekam 744 dugaan pelanggaran netralitas ASN. Bawaslu bahkan sudah mengeluarkan 719 rekomendasi untuk ditindaklanjuti.
Sebagian besar praktik pelanggaran tersebut adalah mendukung pasangan calon tertentu dalam pilkada melalui media sosial.
Baik data KASN maupun Bawaslu menyebutkan, sebagian besar praktik pelanggaran tersebut adalah mendukung pasangan calon tertentu dalam pilkada melalui media sosial. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS menyebutkan, untuk menjaga netralitas, ASN wajib menaati sejumlah larangan selama pilkada. Salah satunya adalah larangan ASN mengunggah, menanggapi (like, komentar, dan sejenisnya) atau menyebarluaskan gambar/foto calon kepala daerah, visi-misi, ataupun keterkaitan lain baik melalui media daring maupun media sosial.
Data Bawaslu merekam, ada 284 kasus ASN melanggar larangan terkait pemberian dukungan melalui media sosial ini. Hal yang sama juga dijumpai dari data KASN yang mencatat ada 27 persen dari total pelanggaran netralitas ASN terkait pemberian dukungan di media sosial, terutama melalui akun-akun pribadi para ASN. Jenis pelanggaran ini merupakan yang terbesar dibandingkan pelanggaran lain.
Atas rekomendasi KASN ini, sebenarnya Kementerian Dalam Negeri sudah menegur 67 kepala daerah yang belum menindaklanjuti rekomendasi tersebut. Ada dugaan pelanggaran netralitas dari ASN ini cenderung diabaikan oleh kepala daerah karena ada konflik kepentingan elektoral petahana dalam pilkada.
Konflik kepentingan
Separuh lebih responden (61,7 persen) masih setuju ASN tetap memiliki hak pilih dalam politik. Opsi mempertahankan hak pilih ini lebih banyak didukung responden dibandingkan harus memosisikan ASN dan jaringan birokrasi pemerintahan benar-benar steril dari politik, seperti halnya TNI/Polri yang tidak memiliki hak pilih dalam pemilu ataupun pilkada.
Separuh lebih responden (61,7 persen) masih setuju ASN tetap memiliki hak pilih dalam politik.
Adanya konflik kepentinganlah yang membuka potensi ASN melanggar asas netralitasnya. Di satu sisi, calon petahana berharap ada dukungan dari jaringan birokrasi pemerintahan, khususnya pada masa kampanye. Di sisi lain, ASN juga tak bisa lepas dari pengaruh petahana meskipun sudah ada ketentuan petahana wajib cuti saat kampanye.
Untuk mengurangi posisi dilematis ASN, bagian terbesar responden (57 persen) setuju jika kepala daerah ataupun wakilnya yang maju kembali dalam pilkada wajib mengundurkan diri. Mayoritas dari kelompok responden yang menjawab demikian melihat potensi penyalahgunaan jabatan, baik memanfaatkan jaringan ASN maupun anggaran daerah.
Namun, pada akhirnya, moralitas dan kedisiplinan ASN-lah yang akan menentukan netralitas dalam pilkada. Dengan begitu, tercipta ruang kontestasi politik yang seimbang dan adil.