Perppu Covid-19 Dianggap Tak Penuhi Syarat Darurat, Hakim MK Balik Pertanyakan Saksi
›
Perppu Covid-19 Dianggap Tak...
Iklan
Perppu Covid-19 Dianggap Tak Penuhi Syarat Darurat, Hakim MK Balik Pertanyakan Saksi
Saksi ahli hukum tata negara saat di sidang uji materi UU No 2/2020 tentang Penetapan Perppu Penanganan Covid-19 di MK menilai perpu itu tak penuhi syarat kedaruratan. Namun, pengacara negara dan hakim MK menepis.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hendra Nurtjahjo, Ketua Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila, Jakarta, yang menjadi saksi ahli hukum tata negara dalam sidang pemeriksaan uji materi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Penanganan Pandemi Covid-19 berpendapat, penerbitan regulasi tersebut tidak memenuhi syarat keadaan darurat yang diatur di konstitusi. Menurut dia, meskipun Presiden menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam, keadaan tersebut belum dapat dikategorikan dalam rezim hukum darurat.
Hendra Nurtjahjo menjadi saksi ahli yang dihadirkan pemohon dalam perkara nomor 45/PUU-XVIII/2020 atas nama Suruddin dan perkara nomor 49/PUU-XVIII/2020 atas nama Damai Hari Lubis. Total, ada tujuh perkara sama tentang uji materi UU Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dalam Penanganan Covid-19 yang disidangkan di MK.
Menurut Hendra, penggunaan kaidah hukum dalam keadaan darurat telah diatur jelas dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam Pasal 12 UUD 1945 itu disebutkan, ”Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan UU.” Mengutip teori yang disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie, hanya keadaan darurat yang memungkinkan diberlakukan hukum tata negara darurat. Tafsir tentang keadaan darurat hukum ini pun berbeda dengan hal ihwal kegentingan memaksa.
Penggunaan kaidah hukum dalam keadaan darurat telah diatur jelas dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam Pasal 12 UUD 1945 itu disebutkan, ”Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan UU.”
Pintu masuk penetapan keadaan darurat itu harus berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Bukan pada Pasal 22 UUD 1945 yang mengatur tentang hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Menurutnya, hal ikhwal kegentingan memaksa adalah suatu kondisi di mana ada keterbatasan hukum. Kegentingan memaksa berbeda dengan persoalan bahaya atau darurat.
”Penggunaan kaidah hukum darurat dalam keadaan normal adalah pilihan rasional yang salah dan dapat menyebabkan kerusakan hukum dan sistem tertib hukum nasional,” kata Hendra.
Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau (Perppu) Penanganan Covid-19 yang kemudian disahkan di DPR menjadi UU Penanganan Covid-19, tambah Hendra, tidak bisa dikategorikan dalam keadaan darurat. Sebab, perppu tidak berhubungan langsung dengan keadaan bahaya yang dinyatakan dalam Pasal 12 UUD 1945. Jika perppu dianggap sebagai perppu darurat, konstruksi hukumnya, terutama pada bagian mengingat dan menimbang harus dirujuk secara jelas ke Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945.
Selain itu, hal-hal yang harus juga diperhatikan dalam penggunaan kewenangan hukum darurat adalah pembatasan atau pengurangan hak asasi manusia; pembatasan atau pengurangan kewenangan konstitusional lembaga tertentu; sifat sementara waktu yang memerlukan batasan; sifat mengatasi krisis yang komprehensif, efisien, dan efektif; serta sifat proporsional dalam melakukan upaya pemulihan keadaan.
”UU Nomor 2 Tahun 2020 memiliki materi atau muatan yang bersifat umum dan abstrak, bersifat permanen, serta tidak berlaku hanya untuk sementara waktu. Norma hukum yang ada di dalamnya diberlakukan seterusnya. Akibatnya, secara faktual UU dianggap darurat, tetapi penggunaannya tidak masuk dalam rezim hukum tata negara darurat. Ini menyalahi kaidah pembentukan UU,” kata Hendra.
Implikasi atas terbitnya UU No 2/2020 itu juga tidak membawa suasana yuridis ke dalam hukum tata negara darurat. Sebab, tidak ada pernyataan keadaan bahaya sebagaimana disebutkan oleh pasal 12 UUD 1945. Hendra berpendapat, UU No 2/2020 yang dimaksudkan untuk penanganan pandemi merupakan keadaan normal yang tidak bisa mengabaikan norma-norma konstitusional. Norma-norma tersebut seperti hak asasi manusia, sistem check and balances, kaidah UU normal, pertanggungjawaban hukum yang lazim, serta penggunaan hak-hak konstitusional warga negara dan lembaga negara. Norma tersebut tidak bisa dikesampingkan dalam keadaan normal.
Hendra Nurtjahjo berpendapat, Keppres Nomor 11 Tahun 2020 yang menyatakan tentang darurat kesehatan masyarakat dan penetapan pandemi sebagai bencana nasional non alam tidak mencukupi untuk masuk dalam rezim tata negara darurat. Rezim hukum tata negara darurat hanya digunakan untuk hal-hal yang sifatnya mengatasi ancaman langsung, ancaman nyata terhadap nyawa dari warga negara, dan runtuhnya organisasi negara seperti perang. Ketika ada keadaan bahaya yang mengancam eksistensi negara secara utuh, baru hak-hak konstitusional warga dapat dikorbankan untuk mengatasi keadaan bahaya tersebut.
Jika tidak, negara seharusnya tidak mengurangi hak-hak konstitusional warga. Termasuk kekuasaan lembaga legislatif dan yudisial, juga tidak boleh dikurangi dalam keadaan normal. Namun, dalam UU No 2/2020, misalnya, ada pasal impunitas bagi pejabat keuangan negara yang tidak bisa digugat secara pidana atau perdata karena kebijakan keuangan saat situasi pandemi. Ini dianggap sebagai pengabaian kewenangan peradilan untuk melakukan kontrol terhadap penggunaan kekuasaan oleh pemerintah.
Hendra juga berpendapat bahwa jika rujukan hukum yang digunakan oleh pemerintah dalam Perppu No 1/2020 atau UU No 2/2020 hanya Pasal 22 UUD 1945, karakteristik hukum yang diberlakukan adalah rezim hukum tata negara normal. Oleh karena itu, UU tidak boleh menyimpangi tata kaidah hukum tata negara normal. Termasuk melakukan pengurangan kekuasaan peradilan dalam melakukan kontrol kekuasaan.
Dasar dasar teori saksi digugat pengacara dan hakim
Hakim anggota Daniel Yusmic P Foekh juga mempertanyakan tentang pendapat ahli yang menyebutkan bahwa UU No 2/2020 belum masuk pada rezim tata negara darurat. Apalagi, sebelum mengeluarkan perppu itu, Presiden telah terlebih dahulu mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat akibat Pandemi Covid-19.
Namun, kuasa hukum pemerintah, Tio Serepina Siahaan, mempertanyakan tentang dasar teori terkait perppu dalam keadaan mendesak yang tidak boleh mengesampingkan ketentuan UU.
Menurut dia, ada sejumlah perppu yang sebelumnya meniadakan atau membatalkan UU yang lain, bahkan tetap berlaku karena keadaan mendesak. Perppu No 2/2020 dibuat dengan dasar pertimbangan keadaan mendesak. Tio mempertanyakan kepada ahli apakah disahkannya perppu tersebut melanggar kriteria keadaan mendesak? Terutama untuk aspek kewenangan kelembagaan pemerintah.
Hakim anggota Daniel Yusmic P Foekh juga mempertanyakan tentang pendapat ahli yang menyebutkan bahwa UU No 2/2020 belum masuk pada rezim tata negara darurat. Apalagi, sebelum mengeluarkan perppu itu, presiden telah terlebih dahulu mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat akibat Pandemi Covid-19. Daniel juga menanyakan apakah sitausi pandemi yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) tidak dapat dikategorikan dalam pengertian rezim hukum darurat.