Cemara
Rumah kita sempit. Dan, kau tahu kita tidak mungkin membawa semua barang setiap kali pindah. Kita berpindah terus dan berpindah kemana saja.
Malam itu mereka menghabiskan waktu di beranda rumah. Si wanita, karena merasa suasana begitu sepi, mulai memutar kenop radio dan mengalunlah lagu-lagu sendu. Laki-laki yang duduk di sampingnya tidak suka mendengarkan lagu-lagu sendu itu. Lagu-lagu yang dinyanyikan penyanyi era lama itu mengantarnya pada suasana ketika senja hari ia melewati toko penjahit di jalan menuju rumah sewanya. Laki-laki itu acapkali melihat si penjahit sedang duduk termenung seorang diri dengan meteran jahit yang melingkar di lehernya, kacamata berantai yang terus merosot ke bawah setiap kali ia menunduk, dan tatapan hampa dari matanya yang hampir buta.
Setiap kali mengingatnya, ia terkejut sendiri. Dalam pikirannya terbayang kelak ia akan menjadi tua seperti si penjahit. Ya, tua dan sendirian, pikirnya. Betapa menyedihkan!
”Kau benar-benar tidak ingin mengambil kursi itu?” Si wanita bertanya sambil mengecilkan suara radio.
”Engkau sudah menanyakannya seribu kali.” Laki-laki itu menjawab dingin.
Wanita itu diam. Lalu laki-laki itu berkata lagi, ”Aku tidak perlu kursi itu.”
”Aku selalu melihatmu tidak dapat bersandar nyaman setiap kali menyelesaikan karanganmu.”
”Itu juga sudah kau katakan seribu kali. Bukankah kau tahu aku dapat langsung berbaring di kasur jika aku letih?” Suara laki-laki itu kini terdengar lebih berat dan dingin. Si wanita tidak menyahut lagi. Ia meninggikan volume radio dan kini lagu-lagu sendu itu semakin nyaring terdengar.
Kursi yang dimaksudkan oleh si wanita adalah kursi berbantal empuk dengan sandaran yang menyerupai sofa. Kursi itu memiliki semacam tonggak di bawah bantalan dan lingkaran yang terdiri dari empat roda kecil di bawahnya sehingga kursi itu dapat dengan mudah dipindah-pindahkan. Kursi semacam itu mengingatkannya pada kursi bos-bos besar mafia yang sering ditampilkan di film-film Barat. Ia, si wanita, sering tersenyum seorang diri membayangkan suaminya yang terlihat seperti bos mafia ketika dulu suaminya itu suka menyelesaikan karangannya sambil bersandar dan menggeser-geser kursi itu dengan bantuan roda di bawahnya.
Sepupu jauh si laki-laki telah mengembalikan kursi itu ke Cemara, alamat rumah tinggal mereka dahulu. Sepupu laki-laki itu tidak mengetahui bahwa mereka tidak tinggal lagi di Cemara. Ia mengembalikan kursi itu secara tiba-tiba dan kini dititipkan pada tetangga yang masih berhubungan baik dengan mereka. Melalui telepon, laki-laki itu menerima permintaan maaf sepupunya dan keterangan bahwa ia tidak memiliki waktu untuk mengantar kursi itu ke rumah baru mereka yang memang letaknya jauh dari Cemara. Ia juga terburu-buru karena dalam waktu dekat ini akan bertugas ke luar kota.
”Aku ingat ketika mereka membawa kursi itu. Kau begitu mudahnya mengiyakan permintaan sepupumu. Mereka menggotongnya ke atas pikap lalu memegangi kursi itu sepanjang pikap berjalan hingga kita tidak melihatnya lagi setelah pikap itu melewati tikungan. Kau mengatakan padaku—tentu dengan maksud menghibur—bahwa kepergian kursi itu membuat rumah kita menjadi lebih lapang. Kursi itu terlalu banyak memakan tempat dan harus disingkirkan agar tidak membuat sesak.”
”Aku tidak pernah mengatakan itu dengan maksud menghibur.”
”Taruhlah begitu. Tapi, betapa sayangnya kalau tidak mengambilnya kembali.”
”Sudah kukatakan aku tidak memerlukannya.”
Wanita itu diam. Ia kembali memutar kenop radio. Ia memutarnya beberapa kali sehingga berulang-ulang terdengar siaran yang tidak jelas.
”Rumah kita sempit. Dan kau tahu kita tidak mungkin membawa semua barang setiap kali pindah. Kita berpindah terus dan berpindah kemana saja. Kupikir pengalaman kita pindah rumah telah membuatmu tahu mana barang yang memang kita butuhkan dan tidak. Ternyata sama sekali hal itu tidak membuatmu…”
”Aku tahu,” potong wanita itu cepat. Ia tiba-tiba mematikan radio. Laki-laki itu terkejut. Suasana menjadi hening. Laki-laki itu tiba-tiba merasa perasaan aneh menyelimutinya. Tapi, ia tidak mengerti darimana datangnya. Apakah sikap istrinya yang mendadak mematikan radio atau suasana yang berubah hening tiba-tiba.
Aku ingat ketika mereka membawa kursi itu. Kau begitu mudahnya mengiyakan permintaan sepupumu. Mereka menggotongnya ke atas pikap lalu memegangi kursi itu sepanjang pikap berjalan hingga kita tidak melihatnya lagi setelah pikap itu melewati tikungan.
”Aku tahu. Aku hanya bertanya tentang kursi itu…”
”Itu sudah sering kau tanyakan dan aku sudah menjawabmu berkali-kali. Mengapa kau tidak juga mengerti?”
”Barangkali kau berubah pikiran. Mungkin kau berniat mengambilnya. Maksudku, kau bisa melihat lagi. Barangkali kursi itu masih cocok untukmu. Mengapa mereka mengembalikannya ke Cemara? Apa mereka benar-benar tidak tahu kita sudah pindah?”
Laki-laki itu diam. Ia benar-benar merasa jengkel sekarang. Ia mendengar pertanyaan yang sama setiap harinya. Dan ia sudah menjawab berulangkali. Sekarang ia bertekad tidak akan menjawab pertanyaan itu lagi. Ia tidak akan menjawab apa pun yang berhubungan dengan Cemara!
”Apa kau tidak pernah memberi alamat kita yang baru?” tanya wanita itu lagi. Laki-laki itu tetap diam. Istrinya mendesah panjang. Ia menyalakan lagi radio. Kini terdengar suara penyiar yang sedang melantunkan candaan dengan para penelepon. Para penelepon itu menyebutkan judul-judul lagu lama untuk diputar. Stasiun radio yang sedang siaran itu memang khusus menyiarkan lagu-lagu lawas setiap malamnya dengan tajuk acara ”Malam Nostalgia.”
”Mungkin kau bisa sekedar melihat-lihat.”
”Berkunjunglah sendiri jika kau mau,” kata laki-laki itu. Kini, ia merasa tertekan. Ia sadar benar, istrinya menyebut kursi itu tidak lain hanya untuk mengenang rumah mereka dahulu: Cemara.
”Berkunjunglah sendiri ke Cemara kalau kau ingin melihat-lihat,” kata laki-laki itu lagi. ”Berkunjunglah sendiri. Aku tidak akan ikut,” katanya dengan suara yang sudah ia pastikan bernada biasa saja. Ia tidak ingin istrinya mengira yang bukan-bukan oleh sebab perkataannya itu. Tetapi, ia telanjur mengatakannya dan jantungnya tiba-tiba berdebar. Ia dapat merasakan tatapan tajam mata istrinya meski mereka tidak saling bertatapan.
Baca juga: Rahasia Semesta
Wanita itu diam beberapa saat. Ia mematikan radio dan menarik napas panjang. Hembusan napasnya dapat ia rasakan sendiri di sekitaran kulit tangannya. Tentu karena ia gugup. Ia gugup karena ingin mengatakan sesuatu yang selama ini ia pendam jauh-jauh dalam lubuk hatinya. Ia telah melalui pertimbangan yang sengit—setidaknya begitu menurut pandangannya—selama beberapa hari terakhir ini. Pertimbangan antara apa yang diyakininya dan kenyataan yang tidak berjalan selaras dengan harapannya. Ia telah memikirkan matang-matang dan akan ia ungkapkan sekarang. ”Sekarang juga!” katanya dalam hati. Namun, ia masih saja merasa belum memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkannya. Lidahnya terasa kelu.
”Aku tidak tahan lagi,” kata wanita itu. Kalimat yang baru saja ia katakan telah membuat dirinya sendiri gemetar. Seluruh persendiannya mendadak terasa ngilu.
”Aku tidak tahan tinggal di tempat ini,” kata wanita itu sambil menahan isaknya yang terdengar tersendat-sendat. ”Sejak pindah dari Cemara, kau berkali-kali membawaku berpindah ke tempat yang padat, sempit, dan bising. Aku lebih suka di Cemara tapi kau membawaku ke sini. Dari setiap rumah yang pernah kutempati, tak ada satu pun yang menenangkan seperti ketika aku masih tinggal di Cemara.”
”Sama saja menurutku. Tak ada yang lebih baik atau buruk.”
”Di sini aku tidak punya kawan,” kata wanita itu dingin.
”Karena itu kau mengatakan di sini lebih buruk?” tanya laki-laki itu. Ia ingin melihat wajah istrinya untuk mengetahui bagaimana wanita itu menanggapi pertanyaannya. Tapi, ia tetap bertahan pada posisi duduknya, melihat ke depan.
Suasana menjadi hening beberapa saat. Ia tiba-tiba takut bila mendadak terjadi kebisingan sehingga ia tidak dapat mendengar dengan jelas suara istrinya. Setidaknya dengan mendengar suara istrinya, ia kira-kira dapat menerka bagaimana raut wajah istrinya itu ketika mengatakan kalimat-kalimat yang mungkin tidak akan pernah disangka-sangkanya.
”Aku ingat,” kata wanita itu sambil berusaha menekan suara isakannya. ”Kawan-kawanku dahulu mengatakan jika kau memilih hidup dengan seniman, kau harus siap menderita. Waktu itu umurku dua puluhan. Aku tertawa saja menanggapi mereka. Aku terlalu terpukau dengan kau. Kau selalu datang ke tempat komunitas seni dengan tampilan rambut gondrongmu. Rambut gondrongmu itu sudah terlihat mekar dari kejauhan hingga menyerupai singa, raja rimba. Kau pun dijuluki ’Raja Rimba’. Kalau mereka sudah berseru, ’Raja Rimba! Raja Rimba!’, tahulah aku itu berarti kau sudah datang. Waktu itu, tak ada yang lebih membahagiakan selain mendengar seruan ’Raja Rimba’ karena itu menjadi tanda kita akan menghabiskan waktu bersama. Sepanjang hari. Ya, sepanjang hari mendengarkan kau bercerita apa saja. Bercerita apa pun, yang anehnya, selalu membuatku terpukau.”
”Dan sekarang aku tidak tahu…,” Wanita itu diam sejenak. Ia merasa tidak mampu melanjutkan kata-katanya lagi. ”Aku pikir aku tidak akan tahan lebih lama lagi. Tidak akan tahan.” Kini tangisannya memecah.
Laki-laki itu merinding. Ia membuang muka ke arah berlawanan dari istrinya. Tenggorokannya mendadak kering dan terasa seperti dijejali batu kerikil. Jadi ini maksud pertanyaannya, pikirnya. Jadi inilah maksud pertanyaannya selama beberapa hari mengenai kursi itu dan Cemara. Hanya sebuah permainan. Tolol. Tidak peduli apa kau akan duduk di kursi itu atau tidak. Tak ada kerinduan terhadap Cemara. Tentu. Itu pasti. Ia tidak merindukan apa pun. Omong kosong belaka!
”Dan sekarang kau tidak tahu mengapa kau tidak terpukau lagi?” tanya laki-laki itu. Ia berusaha untuk tetap tenang. ”Dulu ketika kita masih muda, setiap hari aku bertanya padamu ’Kau ingin kawin dengan aku?’ Jawabmu, ’Ya. Aku ingin.’ Setiap kali aku bertanya, kau selalu menjawabnya sambil tertawa. Kau terus tertawa meski aku menanyakannya berkali-kali dengan sungguh-sungguh. Waktu itu aku mengatakan, tawamu terdengar cantik sekali. Kau tahu? Aku berbohong. Aku tidak suka mendengarmu tertawa setiap kali aku menanyakan hal yang serius. Meski kau menjawab ’Aku ingin’, tawamu yang meledak sesudah itu membuatku yakin kau hanya menganggapku main-main. Karena itu, aku bertanya padamu terus. Setiap hari. Hingga kuputuskan aku tidak lagi memuji tawamu. Aku bertanya lagi, ’Apa kau mau kawin dengan aku?’, ’Ya. Aku ingin kawin denganmu.’ Kau tidak tertawa lagi saat itu. Maka aku memberanikan diri mengatakan, ’Kalau kau kawin denganku, kita tidak akan punya rumah sendiri.’ Tapi, kau menjawab, ’Meski begitu, aku tetap mau kawin dengan kau.’ ”
***
Sore hari, laki-laki itu menyusuri jalan melewati toko penjahit. Ia melihat si penjahit sedang duduk termenung di depan tokonya. Ia baru sadar, setiap kali melewati toko itu ia tidak pernah benar-benar memperhatikan tempat itu dengan cermat. Tumpukan potongan kain yang menggunung di belakang meja jahit, sepeda ontel yang disandarkan pada pintu, semua terlihat dalam pandangannya seakan ia baru pertama kali melewati tempat itu. Apakah karena ia hanya berjalan melewati tempat itu ketika menjelang senja? Oh, tidak, pikirnya. Kenyataan bahwa si penjahit nyaris selalu terlihat seorang diri itulah yang memukaunya. Meski semua tampak biasa, kesadaran ia kini sendirian, sama seperti si penjahit, telah membuat langkah-langkahnya memiliki arti yang lain. Ia tahu setelah melewati toko itu, ia akan kembali seorang diri duduk di belakang meja, menyelesaikan karangan-karangannya.
***
Iin Farliani lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mataram. Belajar penulisan kreatif di Komunitas Akarpohon, Mataram, Lombok. Kumpulan cerita pendeknya berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019).