Dari Merapi, Terempas ke Ombak Ganas Mentawai
Perasaan lega mendadak sirna karena kapal oleng diterjang gelombang besar. Suasana tenang tiba-tiba berubah gaduh. Jerit penumpang yang panik dan takut terdengar di mana-mana.
Beberapa pekan terakhir, teman-teman jurnalis foto mengenang kembali erupsi besar Gunung Merapi yang terjadi tepat satu dekade lalu. Mereka menceritakan ulang pengalaman liputan erupsi Merapi dan mengunggah foto-foto terkait melalui media sosial.
Bagi saya pribadi, peristiwa 10 tahun lalu, selain mengingatkan pada penggalan cerita erupsi Merapi, juga mengingatkan pada bencana tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Dua peristiwa itu terjadi dalam waktu berdekatan, yakni pada akhir Oktober dan awal November 2010.
Suatu sore sepulang liputan dari lereng Gunung Merapi yang mulai memasuki fase Awas, saya menerima telepon dari kantor Jakarta. Wakil Kepala Desk Foto Danu Kusworo meminta saya segara berangkat ke Mentawai yang baru saja dilanda tsunami. ”Berangkat ke Mentawai secepatnya,” kata Danu. Sebuah pesan yang singkat, padat, dan jelas.
Sebagai jurnalis foto, peliputan sebuah peristiwa besar tentu menjadi tantangan yang menggugah adrenalin.
Danu meminta saya segera bergeser ke tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari lokasi saya berada sore itu. Keberangkatan saat itu untuk menggantikan posisi fotografer Kompas, Lucky Pransiska, yang telah sepekan berada di sana.
Sebagai jurnalis foto, peliputan sebuah peristiwa besar tentu menjadi tantangan yang menggugah adrenalin. Ini penugasan pertama saya ke Mentawai sekaligus peliputan bencana pertama di luar Jawa.
Sebelumnya, saya hanya mendengar cerita dan melihat foto-foto tentang Mentawai dari teman. Mentawai adalah hutan, tradisi tato, adat istiadat masyarakatnya, keindahan pantai, serta surga ombak bagi peselancar. Hanya sekelumit itu gambaran Mentawai di kepala saya.
Melalui telepon, Lucky Pransiska sempat memberikan gambaran tentang keadaan, kesulitan, dan tantangan yang akan dihadapi selama di sana. Setelah selesai semua persiapan, saya pun berangkat menuju titik singgah pertama, yaitu Kota Padang. Baru di sana saya bisa memastikan, dengan transportasi apa saya bisa mencapai Pagai Selatan di Kepulauan Mentawai.
Kala itu ada tiga pilihan, yakni menumpang helikopter milik TNI Angkatan Darat, kapal roro, atau kapal TNI Angkatan Laut. Saya berpikir semua akan berjalan mulus karena sebelumnya sudah mendapatkan akses untuk menumpang helikopter TNI.
Baca juga : Semangkuk Mi dan Segelas Kopi di Saat Terakhir Bersama Mbah Maridjan
Namun, kapasitas helikopter yang terbatas, sedangkan calon penumpang mengantre, membuat peluang saya tipis dapat ikut naik dalam waktu cepat. Dalam situasi bencana, tenaga medis, sukarelawan, dan pejabat tentu mendapat prioritas utama.
Di tengah ketidakpastian dan tuntutan segera sampai ke tujuan, saya harus mencari alternatif lain. Akhirnya, saya memilih naik kapal roro dengan waktu tempuh 10 jam ketimbang berada dalam antrean yang tidak jelas. Lega rasanya.
Namun, perasaan lega itu mendadak sirna ketika dalam perjalanan, kapal oleng diterjang gelombang besar. Suasana tenang tiba-tiba berubah gaduh. Jerit penumpang yang panik dan takut terdengar di mana-mana. Perasaan waswas pun mulai menyerang.
Untuk mencari kepastian, saya bertanya kepada awak kapal apakah aman berlayar dalam kondisi cuaca buruk seperti itu. Mereka menilai aman sehingga kapal terus berlayar.
Sejurus kemudian, di tengah terpaan gelombang tinggi dan hujan deras, terdengar pengumuman dari pelantang suara bahwa kapal akan berputar haluan, kembali ke dermaga. Lega sekaligus melelahkan karena urusan keberangkatan belum juga menemukan kepastian.
Baca juga : Menyaksikan Perayaan Kasada di Tengah Pandemi
Esoknya, saya kembali mendatangi pangkalan udara dan berhasil menumpang helikopter milik TNI AD. Namun, rasa senang karena akan tiba di lokasi tidak bertahan lama. Helikopter yang saya tumpangi tidak jadi mendarat di Mentawai, tetapi di Bengkulu karena ada perubahan tugas operasi.
Mereka harus mengirimkan dahulu bantuan logistik kepada korban gempa Bengkulu. Gagal lagi mencapai Mentawai. Akhirnya, saya memutuskan kembali ke Padang melalui jalur darat meskipun membutuhkan waktu 10 jam perjalanan.
Setibanya di sana, yang masuk hari ketiga di Padang, saya memperoleh jatah menumpang helikopter bersama tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Benar-benar, baru kali ini rencana perjalanan yang telah disusun berantakan dan di luar perkiraan. Sungguh sebuah pengalaman yang melelahkan. Namun, apa daya karena situasinya memang serba darurat dan penuh ketidakpastian.
Tiba di Pagai Selatan
Akhirnya, helikopter yang kami tumpangi mendarat dengan sempurna di Pagai Selatan. Bagi saya sendiri, dalam waktu hanya beberapa puluh jam berpindah dari zona bahaya erupsi Merapi ke titik bencana tsunami di Mentawai sungguh pengalaman luar biasa.
Saya sempat berjumpa Lucky Pransiska di lokasi dan berdiskusi tentang kondisi geografis, area peliputan, serta masalah akses transportasi menuju desa terdampak. Lucky mengingatkan, wilayah yang terparah hanya bisa dijangkau melalui laut dan udara.
Baca juga : ”Stop Press” dan Film Esek-esek
Posko operasi bencana menjadi rujukan informasi semua kegiatan sukarelawan, petugas, dan tenaga medis dalam menyalurkan bantuannya. Informasi dari sini jugalah yang mengantarkan saya ke sejumlah desa yang terkena tsunami. Minimnya akses jalan darat membuat pilihannya hanya dua, naik perahu atau helikopter.
Keesokan harinya, saya memulai liputan hari pertama di Mentawai bersama awak helikopter angkut milik TNI AD yang bertugas menyalurkan bantuan. Dari udara tampak permukiman warga yang luluh lantak diterjang tsunami.
Cuaca di Kepulauan Mentawai saat itu tak menentu, dapat berubah dengan cepat. Hujan dan gelombang tinggi menjadi kendala proses distribusi bantuan ke desa-desa terdampak tsunami.
Setelah beberapa hari melalui jalur udara, saya ganti mencoba naik perahu untuk menjangkau sebuah desa. Perahu itu khas masyarakat lokal yang terbuat dari kayu utuh. Dalam perjalanan, kami berkali-kali diterjang ombak setinggi lebih kurang 2 meter. Perjalanan terasa begitu lama dan membuat nyali ciut seketika. Kapok!
Pulangnya, saya memutuskan menempuh jalur darat karena kebetulan desa itu masih satu daratan dengan Pagai Selatan. Setelah beberapa kali gagal mencari ojek, akhirnya ada salah satu warga yang menawarkan diri mengantar dengan ongkos Rp 600.000!
Baca juga : Euforia Perayaan Terpilihnya Obama
Motor bebek kemudian melenggang pelan menyusuri jalan setapak, melintasi tepi pantai yang indah, lalu masuk kembali ke area hutan. Kami harus menyeberangi beberapa sungai yang tak memiliki jembatan.
Akibatnya, setiap kali akan menyeberang, pengojek harus memanggil warga sekitar untuk membantu mengangkat motor. ”Kita harus cepat-cepat sebelum air naik. Nanti kita tidak bisa lewat dan harus tidur di hutan,” katanya.
Setelah enam jam bermotor, tibalah kami di Sikakap, Pagai Selatan, persis menjelang senja. Rasa trauma beberapa kali diempas gelombang lautan membuat saya memilih tidak berperahu walaupun waktu perjalanannya hanya satu jam.
Sore itu juga, saya mendengar kabar terjadinya erupsi besar Gunung Merapi yang memakan korban jiwa, salah satunya Mbah Maridjan. Berita-berita tentang tsunami Mentawai seketika tenggelam oleh peristiwa erupsi Merapi.
Perjalanan terakhir
Setelah sepekan lebih berada di Mentawai, rutinitas peliputan foto sudah tidak lagi melulu soal dampak tsunami. Saya mulai meluaskan peliputan dengan merekam segala keunikan sosial budaya masyarakat setempat.
Sejumlah desa saya kunjungi dengan menumpang motor trail milik BNPB bersama Sihol Sitanggang, kawan jurnalis foto dari Antara. Mentawai dan seni tatonya menarik saya lebih dalam untuk masuk ke pelosok-pelosok desa dan mengabadikan sisa-sisa budaya tersebut.
Setelah lewat dua pekan, datanglah tawaran untuk mengunjungi sebuah desa yang membutuhkan bantuan logistik. Ajakan itu sempat membuat ragu karena masih trauma.
Saya perlu mengumpulkan nyali sebelumnya akhirnya sepakat berangkat. Berempat, kami memutuskan pergi lebih pagi dengan harapan cuaca lebih cerah dan laut lebih tenang.
Perahu cepat yang dinakhodai seorang anak muda lalu meninggalkan teluk dalam kondisi air laut tenang. Perahu cepat bertuliskan ”Kementerian Sosial” itu melaju meninggalkan pesisir pantai berpasir putih yang semakin lama terlihat seperti garis putih memanjang.
Kira-kira satu jam kemudian, wajah kami yang semula semringah berubah tegang ketika ombak mulai menampar-nampar perahu. Namun, nakhoda terlihat tetap tenang mengendalikan kemudinya. Derit lunas perahu beberapa kali terdengar.
Sial! Ternyata peruntukan perahu yang kami pakai bukan untuk mengarungi gelombang samudra, melainkan untuk perairan dangkal yang airnya tenang seperti danau. Kekhawatiran kami akhirnya terjadi. Setelah berkali-kali digoyang gelombang, kali ini ombak besar menghantam perahu kami dari depan.
Lunas di depan perahu yang dapat dibuka tutup sampai terlepas dari pengaitnya. Akibatnya, dengan cepat air membanjiri bagian dalam perahu. Di tengah kepanikan, kami melihat sebuah kapal besar dan perahu lain. Dengan semangat, kami melambai-lambaikan tangan meminta pertolongan sembari memperbaiki perahu dan menguras air agar perahu tidak karam.
Akibatnya, dengan cepat air membanjiri bagian dalam perahu.
Nasib baik masih berpihak. Gelombang samudra tidak sampai menggulung dan menenggelamkan kami dan pertolongan cepat datang. Momen mengerikan 10 tahun lalu itu sampai sekarang masih terekam kuat di ingatan.
Sementara itu, peliputan bencana Merapi masih menjadi perhatian utama ruang redaksi. Hampir tiga pekan saya di Mentawai, belum juga ada tanda-tanda kapan penugasan akan berakhir. Baru menjelang sebulan saya ditarik pulang. Bencana tsunami Mentawai masih menjadi medan terberat yang memberikan pengalaman luar biasa bagi saya….