Koleksi yang disuguhkan umumnya memakai material wastra nusantara seperti batik dan tenun dalam siluet modern. Desain bertumpuk alias ”layering” masih menjadi favorit dengan warna-warni bumi.
Oleh
Mawar Kusum Wulan Kuncoro Manik
·5 menit baca
Kegairahan desainer untuk berkarya di masa pandemi kental terasa di Surabaya Fashion Parade dan Malang Fashion Week yang digelar virtual. Koleksi yang disuguhkan umumnya memakai material wastra nusantara seperti batik dan tenun dalam siluet modern. Desain bertumpuk alias layering masih menjadi favorit dengan warna-warni bumi.
Surabaya Fashion Parade digelar untuk ke-13 kali pada 7-8 November 2020 dengan tema ”Viable” atau mampu bertahan hidup dengan menitikberatkan pada konsep keberlanjutan. Adapun Malang Fashion Week digelar untuk ke-3 kali yang bertema ”Enigmatic”: istilah yang memberi makna ”misterius”, ”sulit dimengerti”, dan ”sebuah ketidakpastian” pada 6-8 November 2020.
Warna earth tone atau nada bumi yang alami disuguhkan antara lain oleh desainer seperti Dibya dan Deden Siswanto di Surabaya Fashion Parade serta Farhan A Daffa di Malang Fashion Week. Bukan sembarang warna, coklat pada luaran berbahan kain tenun gedok dari Tuban yang dihadirkan oleh Dibya berasal dari pewarnaan yang benar-benar alami.
Coklat tersebut hadir dari bahan baku kapas berwarna coklat tanpa tambahan pewarna lain. Di Tuban, penenun memintal kapas coklat ini, lantas menenunnya satu per satu menggunakan alat tenun tradisional yang masih diikat tali dan diinjak dengan kaki. ”Masih dipukulin, digedog, supaya lebih ramping,” kata Dibya ketika dihubungi, Rabu (11/11/2020).
Tenunan coklat ini banyak dihadirkan oleh Dibya sebagai aksen dalam rupa selempang. Jika biasanya tenun semakin dihargai karena kerapatan tenunannya, Dibya justru memilih tenun gedog yang rajutannya jarang-jarang serupa net. Begitu tenunan yang serupa jaring ini dicuci dan dipakai, ia akan terasa sangat nyaman karena ringan berongga.
Memakai kapas coklat alami, luaran tenun ini memiliki warna helaian benang yang sedikit tidak sama sehingga menumbuhkan gradasi. ”Saya menunggu lama banget. Pohon kapas yang coklat mulai jarang. Enggak tahu kenapa enggak populer,” tambah Dibya.
Sentuhan warna kalem earth tone juga mengemuka di koleksi karya Deden. Warna-warni tersebut muncul ketika Deden melihat suasana interior di Museum Bank Indonesia Bandung. Warna tenunannya menyatu dengan warna tembok, warna dinding, hingga warna kayu yang hangat di dalam bangunan peninggalan Belanda itu.
Gaya individual
Jika Dibya melirik tenun gedog dari Tuban, Deden menyuguhkan keindahan tenun dari Garut, Jawa Barat. Kebanyakan desainer, menurut Deden, mengolah tenun garut ini menjadi kain dan kebaya.
Ketika dibawa ke panggung mode, tenunan garut ini umumnya masih hadir dalam rupa kebaya dengan bros dan selendang. ”Gitu aja. Saya menggarap lebih ke dynamic urban,” kata Deden.
Rasa urban itu, antara lain, hadir dari konsep multilayer atau multilapis yang sudah menjadi kekuatan Deden sejak dulu. Apabila biasanya konsep multilapis ini hadir hingga empat lapis busana dalam satu tampilan busana, kali ini Deden hanya menghadirkan dua lapis atau dua jenis busana di tiap tampilan.
Kesan multilapis diperkuat, antara lain, dengan menghadirkan anyaman makrame di bagian dada hingga aksesori berbahan kain dan benang. Koleksi dilengkapi dengan simpul tali di pinggang yang membentuk lekuk di busana yang seluruhnya memakai potongan H-line. ”Kesannya tetap multilayer. Kondisi seperti ini enggak mungkin menggunakan bahan terlalu banyak,” ucapnya.
Selain padu padan dan multilayer, bahan tenunan sutra ini juga berupaya zero waste atau nir-sampah dengan meminimalkan pemotongan kain. ”Jadi tidak saya gunting semuanya. Dan beberapa yang bisa digunting saya padu jadi konfigurasi motif yang berbeda,” kata Deden.
Gaya bertumpuk juga memiliki keuntungan karena bisa dipadupadankan dengan gaya berbusana lain. Akibatnya, setiap busana bisa merepresentasikan gaya individual setiap orang sesuai pilihan potongan yang diminati.
Lapis tumpuk yang mampu menghadirkan gaya individual juga menjadi pilihan Dibya. Luaran transparan atau blus tanpa lengan, misalnya, tetap bisa disiasati untuk padu padan dengan busana lain. ”Tujuannya untuk penikmat fashion bisa memilah. Point interest-nya banyak. Bisa dipakai buat busana lain. Bisa dilepas satu per satu,” ucap Dibya.
Sentuhan batik
Selain tenun, Dibya juga memberi sentuhan wastra batik di koleksi busananya. Batik yang digunakan sudah lepas dari motif tradisional. Ia, misalnya, menggunakan batik bermotif kotak-kotak yang sekilas mirip dengan kain tekstil pabrikan. Namun, batik kotak-kotak yang antara lain disematkan sebagai obi di pinggang ini tetap dibuat dengan proses pembatikan dengan perintang malam.
Meskipun menggunakan motif modern, pemakaian kain batik ataupun tenun tetap dengan cara tradisional. Bawahan umumnya berupa sarung yang dipakai dengan dililit atau diikat. Ide munculnya obi serupa kemben Jawa yang menyatukan bawahan dan atasan berasal dari gaya berbusana ala Jepang.
Pengaruh Asia Timur juga muncul pada baju dalaman dengan leher bersilang yang biasa dipakai pekerja khas Tibet. Pengaruh asing yang dipadukan dengan wastra nusantara ini semakin menonjolkan kesan modern.
Wastra batik dari sejumlah daerah pun menjadi keunggulan yang ingin ditonjolkan Farhan. Ia menumpuk banyak motif batik seperti batik sidoasih dari DI Yogyakarta dengan batik blarak sempal dari Banyuwangi dalam satu tampilan busana. ”Sengaja mengambil motif yang geometris yang lebih tegas. Kita ambil motif yang mendukung look maskulin,” ujarnya.
Memadukan kesan maskulin dan feminim, Farhan menghadirkan banyak celana kulot dan celana pensil. Ada beberapa tampilan yang potongannya semi-blazer dengan lapisan luaran yang memiliki garis tegas di bahunya. Selain teknik tumpuk, Farhan juga memakai obi serta warna-warni kalem yang dipadukan dengan sedikit sentuhan warna berani.
Karena disuguhkan di panggung virtual, para desainer seperti Farhan, Dibya, dan Deden pun harus banyak melakukan adaptasi. Dibya sempat menyiapkan koleksi busana untuk musim gugur dan musim dingin untuk Surabaya Fashion Parade yang awalnya direncanakan digelar pada 16-19 April 2020. Karena gelaran tersebut diundur cukup lama akibat pandemi, ia memodifikasi karyanya untuk koleksi musim semi dan musim panas.
”Awalnya lebih untuk gaun resmi cocktail dress. Yang berubah hanya warna, beberapa warna saya tinggalkan. Kita cari substitusi bahan baru supaya warnanya tetap ada di dalam tren. Dan juga bisa dipakai untuk musim yang lebih panas,” ujar Dibya.
Untuk tayangan peragaan busana selama sekitar dua menit per desainer ini, Deden menyebut persiapannya bisa berbulan-bulan. Demi memenuhi keinginan pencinta mode untuk melihat landasan peraga, Surabaya Fashion Parade dibuat dengan menghadirkan model di lintasan mode. ”Ingin menghadirkan setiap koleksi busananya secara utuh,” ujar Deden yang juga berperan sebagai direktur kreatif dari Surabaya Fashion Parade.
Dalam kelindan wastra nusantara berbalut siluet modern, setiap tampilan busana berebut mencari perhatian dalam tayangan secara virtual.