Negara dan Masyarakat Adat
Buku ini mengupas seluk-beluk masyarakat adat dengan pelbagai persoalan yang mereka hadapi. Penulis buku ini dengan sangat cermat melihat konstruksi pengaturan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat pasca-amendemen.
Judul Buku: Negara: Sebuah Masalah Masyarakat Adat
Penulis: Muhammad Arman
Kata Pengantar: Prof Dr Maria S Sumardjono, SH, MCL, MPA
Penerbit: Penerbit Lamalera
Tahun terbit: Cetakan I, 2020
Tebal buku: xiv + 289 halaman
ISBN: 978-602-5905-15-5
Di negeri ini, masyarakat adat sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Namun, apabila melihat nasib masyarakat adat, ternyata negara masih memicingkan mata dalam melihat keberadaan mereka. Selama berpuluh-puluh tahun tanah mereka diambil alih atas nama pembangunan.
Hutan tempat mereka hidup, berburu, dan mencari makan dirusak dan dialihfungsikan untuk perkebunan-perkebunan besar. Tradisi masyarakat adat dianggap merusak alam dan ekologi. Dalam kasus kebakaran hutan, mereka dianggap sebagai penyebab utama. Tradisi ladang berpindah dituding penyebab bencana asap.
Tidak hanya negara atau pemerintah, tetapi juga organisasi masyarakat sipil internasional juga mengganggap sejumlah tradisi masyarakat adat berbahaya dan bisa menyebabkan kepunuhan berbagai spesies. Jangan heran apabila ada organisasi yang mencoba mengampanyekan pelarangan tradisi penangkapan ikan paus masyarakat Lamalera, Lembata-NTT. Padahal, penangkapan paus sudah menyatu dengan kehidupan, ekonomi, agama, sosial dan tradisi masyarakat Lamalera.
Selama beberapa dekade, konflik antara masyarakat adat dan negara serta pihak ketiga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Terakhir tokoh adat Dayak Kinipan di Kalimantan Tengah, Effendi Buhing, ditangkap oleh aparat polisi di rumah betang tempat tinggalnya. Penyebabnya adalah penolakan masyarakat adat terhadap rencana perluasan kebun sawit milik sebuah perusahaan raksasa.
Kasus serupa terjadi di Besipae, Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, terjadi perseteruan di antara Masyarakat Adat yang hendak digusur karena klaim tanah milik Pemprov NTT. Masyarakat diperhadapkan dengan pihak keamanan bersenjata lengkap. Juga pelarangan pejabat lokal terhadap rencana pembangunan makam tokoh dan leluhur Sunda Wiwitan di Cigugur.
Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak pejabat dan tokoh pemerintahan tidak memahami eksistensi masyarakat adat. Dari berbagai kasus, di mana masyarakat adat harus perhadapan dengan negara atau perusahaan, posisi masyarakat adat selalu berakhir menjadi sebagai korban (victim) sebagai tumbal (sacrifice) pembangunan.
Ada banyak kasus konflik sumber daya alam, mulai dari alih fungsi hutan menjadi hutan tanaman industri (HTI), pengambilan lahan secara tidak adil untuk kepentingan proyek pembangunan, dan lain-lain menunjukan negara selalu benar dan negara selalu berpihak kepada pengusaha.
Dengan alasan untuk meraup investasi, demi pembangunan, ataupun untuk cita-cita mewujudkan kesejahteraan bersama dan kemajuan; Negara selalu meminta pengertian semua pihak untuk lahan dan wilayah yang diambil. Pengorbanan masyarakat adat tak lain adalah demi kesejahteraan bersama. Jer basuki mowo bea. Untuk mencapai kesejahteraan membutuhkan pengorbanan. Itu ucapan pejabat yang selalu muncul pada masa lalu.
Siapa sebenarnya masyarakat adat? Mereka adalah kelompok masyarakat yang hidup secara turun-temurun, menempati dan memiliki wilayah adat/ulayat tertentu, memiliki hukum adat dan lembaga adat, memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya sendiri, bahkan agama, yang oleh negara dikategorikan sebagai agama leluhur atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kelompok ini dulunya berdaulat atas tanah, wilayah, kekayaan alam, dan kehidupan sosial budaya mereka sendiri. Namun, ada banyak faktor yang membuat kedaulatan mereka rusak, antara lain penjajahan dan arus investasi yang merusak. Sebagian dari kelompok itu kini menjadi kelompok masyarakat yang tidak dominan, bahkan termarjinalisasi.
Namun, apabila ditelusuri lebih lanjut, kehidupan masyarakat adat justru berorientasi pada kehidupan masa depan. Tradisi mereka sangat menjaga dan menghargai lingkungan, budaya mereka kaya akan banyak kearifan lokal dan nilai keberagaman yang perlu diadopsi masyarakat modern.
Buku ini mengupas seluk-beluk masyarakat adat dengan pelbagai persoalan yang mereka hadapi secara lengkap. Mulai dari konsep, teori hukum, hingga instrumen hukum internasional tentang masyarakat adat hingga perkembangan politik hukum dan pengakuan masyarakat adat mulai di zaman kolonialisme, masa Orde Lama, masa Orde Baru hingga masa Reformasi.
Ternyata pada zaman kolonial Belanda, Kerajaan Belanda mengirimkan ahli hukum mereka dari Belanda untuk membuat penelitian bagi pengembangan dan peneguhan hukum adat di Hindia Belanda.
Penulis buku ini dengan sangat cermat mencoba melihat konstruksi pengaturan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat pasca-amendemen UUD 1945. Ia juga dengan baik membedah Putusan MK Nomor 34 Tahun 2011, Putusan MK No 45/PUU-I/2011, Putusan MK No 35/PUU-I/2012, dan Putusan MK No 95/PUU-II/2014 yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun negara memiliki hak untuk menguasai dan mengelola lahan, termasuk hutan, konsepsi hak menguasai negara tersebut hanya terbatas dalam konteks mengadakan kebijakan dan tindakan pengurusan serta pengelolaan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Putusan MK bahkan memberikan penafsiran secara eksplisit bahwa hak menguasai negara dibatasi oleh hak ulayat masyarakat adat. Oleh karena itu, negara berkewajiban menghormati dan melindungi hak masyarakat adat atas wilayah adatnya.
Namun, pada praktiknya Putusan MK 35/PUU-I/2012 tak mudah diimplementasikan. Hal ini akibat masih kuatnya ego sektoral di setiap kementerian dan lembaga, termasuk para aparat penegak hukum yang belum cukup memahami hukum dengan baik, serta daya sektoralisme pengaturan hak masyarakat adat.
Kendala muncul akibat negara selama ini sudah telanjur terlalu jauh mengambil langkah-langkah politik hukum dengan mengeluarkan kebijakan sektoral dalam rangka memuluskan tujuan pembangunan nasional. Awalnya pembangunan adalah bertujuan memperbaiki dan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi rakyat, tetapi pada akhirnya pembangunan beralih ke megaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Indonesia.
Sudah lebih dari 10 tahun berlalu masyarakat adat bersama gerakan civil society mendorong pemberlakuan suatu UU untuk melindungi masyarakat adat dari pelbagai urusan kriminalisasi. Akan tetapi, RUU Masyarakat Adat itu tak pernah mendapat respons positif. Setiap angin segar yang diembuskan di DPR dengan lobi-lobi melalui fraksi-fraksi kian pudar. Apa yang sudah disetujui di Baleg, tak pernah menjadi agenda di rapat paripurna. Selalu kandas. Ironinya, RUU KPK tak tanggung-tanggung, hanya 2 minggu prosesnya langsung diketok palu oleh DPR.
Buku ini disusun secara ringkas dan ditulis dengan bahasa enak dibaca, yang dilengkapi dengan data yang memudahkan pembaca untuk merunut fakta dan peristiwa yang pernah ada. Buku ini layak dibaca oleh para pejabat yang membidangi kehutanan, perkebunaan, pertambangan, ataupun yang menangani proyek pembangunan dan para pembuat kebijakan yang bersentuhan dengan akar kehidupan masyarakat adat.
Kepada para akademisi, aktivis kelompok masyarakat sipil serta pengamat yang memiliki ketertarikan dengan isu masyarakat adat, tentulah buku ini dianjurkan sebagai teman pergumulan. Buku ini sangat layak dibaca dan dicamkan, dengannya dapat meluruskan cara pandang dan penilaian terhadap masyarakat adat sambil berharap niat baik dan kepastian DPR mengetok palu disyahkan RUU Masyarakat Adat yang sudah lebih dari satu dekade ”mangkrak”.
(Stanley Adi Prasteyo, Ketua Dewan Pers 2016-2019)