25 Persen Pelanggaran Netralitas ASN Belum Ditindaklanjuti
›
25 Persen Pelanggaran...
Iklan
25 Persen Pelanggaran Netralitas ASN Belum Ditindaklanjuti
Selama kepala daerah belum menindaklanjuti rekomendasi sanksi dari KASN, data kepegawaian ASN yang diberi sanksi akan terus diblokir. Implikasinya, ASN tak bisa memperoleh layanan kepegawaian dan kariernya terhambat.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Aparatur Sipil Negara akan terus meminta pejabat pembina kepegawaian menindak aparatur sipil negara yang melanggar asas netralitas dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020. Dari 626 rekomendasi sanksi, 25 persen di antaranya belum ditindaklanjuti oleh kepala daerah. Pelanggaran oleh ASN diperkirakan masih bertambah di sisa masa kampanye pemilihan sekitar tiga pekan.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengatakan, sepanjang gelaran Pilkada 2020, terdapat 857 aduan ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dari seluruh aduan tersebut, 626 di antaranya direkomendasikan untuk diberikan sanksi. Sisanya, 231 aduan, tidak dikenai sanksi karena tidak terbukti dan ASN sudah pensiun.
Namun, rekomendasi yang belum ditindaklanjuti kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK) masih sekitar 25 persen. Meski demikian, angka itu sudah lebih baik daripada Pilkada 2018.
”Pada Pilkada 2018, rekomendasi yang ditindaklanjuti di bawah 30 persen, sekarang sudah 75 persen,” kata Agus saat webinar mahadata bertajuk Netralitas ASN dalam Pilkada 2020, Senin (16/11/2020).
Selain Agus, turut hadir sebagai pembicara pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Abdul Gaffar Karim; peneliti PolGov, Wegik Prasetyo; dan anggota Bawaslu DI Yogyakarta, Sutrisno Wati.
Agus mengatakan, pelanggaran diperkirakan masih akan bertambah karena masa kampanye masih tersisa sekitar tiga pekan. Potensi terjadinya ketidaknetralan masih bisa terjadi karena ada ASN yang ingin memberikan dukungan kepada calon kepala daerah.
Dalam dua pekan terakhir, misalnya, terdapat penambahan rekomendasi sanksi kepada 22 ASN.
Agus meminta PPK segera menindaklanjuti sanksi yang dijatuhkan kepada ASN tersebut. Jika tidak segera dilaksanakan, pihaknya akan terus memblokir data administrasi kepegawaian milik para ASN yang melanggar aturan netralitas. Pemblokiran data akan terus berlanjut hingga kepala daerah menghukum para ASN itu. Implikasi dari pemblokiran data, antara lain, membuat ASN tidak bisa memperoleh layanan kepegawaian dan membuat perkembangan karier ASN terhambat.
Menurut Agus, pelanggaran netralitas ASN sebagian besar disebabkan mereka mengharapkan balas budi dari dukungan yang diberikan kepada calon kepala daerah. ASN mengklaim mampu menarik dukungan suara dan memengaruhi pemilih dari jabatan yang diembannya.
Harapannya, jika calon kepala daerah yang didukung menang, ASN bisa naik jabatan. Padahal, sudah ada aturan tentang manajemen ASN yang mengatur promosi, rotasi, dan nonjob sehingga kepala daerah tidak bisa sewenang-wenang melakukan pengisian jabatan. ASN yang tidak netral biasanya tidak memiliki kompetensi yang memadai.
”Kalau ada surat dari Bawaslu yang menunjukkan pelanggaran, justru dijadikan bukti telah memberikan dukungan kepada calon kepala daerah,” ucapnya.
Menurut Agus, wacana untuk menghilangkan hak memilih dari ASN dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan netralitas. Sebab, ASN memiliki sumber daya dari jabatannya untuk memengaruhi orang lain. Bahkan, jika ASN tidak memilih, berpotensi mengurangi kualitas pilkada karena kelompok pemilih dari golongan masyarakat teredukasi berkurang.
Wati mengatakan, netralitas ASN menjadi sebuah keharusan dalam upaya pemerintah mereformasi birokrasi. Netralitas menjadi bagian dari etika dan perilaku yang harus dijaga oleh setiap ASN. Pelanggaran terhadap netralitas berpotensi menjadi pintu masuk bagi pelanggaran hukum lain.
Menurut dia, pelanggaran yang sering dilakukan oleh ASN adalah memberikan dukungan melalui media sosial. Kemudian, pengaduan terkait kehadiran ASN dalam acara yang diadakan oleh calon kepala daerah atau bakti sosial.
Wegik mengatakan, dari hasil penelusuran mahadata di portal berita daring dan media sosial selama 4 April hingga 6 November, pelanggaran netralitas ASN sangat berkaitan dengan media sosial, potensi pelanggaran oleh camat, serta banyak terjadi di pemilihan bupati dan wali kota.
Menurut Gaffar, kendali atas suatu wilayah sangat terkait dengan kendali atas pemilih. Oleh sebab itu, perlu mekanisme pengawasan yang lebih serius terhadap pejabat publik yang memiliki kendali wilayah, seperti camat dan lurah. Sebab, pejabat tersebut merupakan pejabat yang berhadapan langsung dengan masyarakat.
”Aparat negara yang punya kendali atas wilayah punya potensi lebih besar untuk melanggar prinsip etik netralitas ASN dalam pilkada,” ucapnya.
Selain itu, KASN meminta Bawaslu meningkatkan pengawasan di media sosial. Pasalnya, pelanggaran netralitas ASN kerap terjadi di sana.