Membalas Utang Budi pada Merapi
Tiba di Umbulharjo, baru saja turun dari mobil, saya langsung dihadapkan pada pemandangan mengenaskan. Seorang ibu yang kakinya terkena lahar panas tengah digotong beramai-ramai.
Erupsi Merapi 10 tahun lalu menjadi peristiwa yang sulit saya lupakan. Saat itu, timbul korban jiwa hingga ratusan orang. Erupsi Merapi yang juga menelan ratusan korban jiwa terakhir terjadi pada tahun 1972.
Tanggal 25 Oktober 2010, saya pergi ke beberapa pengungsian warga Merapi, yakni di Umbulharjo, Pakem, dan Turi. Saat itu, status Merapi sudah mencapai level Awas.
Sejak siang saya memotret proses evakuasi warga dari rumah mereka hingga ke pengungsian. Berlanjut hingga malam hari, merekam dari dekat bagaimana ”kehidupan baru” mereka yang tidur berdesak-desakan di pengungsian.
Malam itu saya putuskan tidak pulang. Kebetulan keesokan paginya ada rencana kunjungan Wakil Presiden Boediono ke pengungsian. Daripada mondar-mandir dari Kota Yogyakarta ke Merapi dan sebaliknya, lebih baik tenaganya saya alihkan untuk liputan.
Seusai memotret aktivitas pengungsi di malam hari, saya tidur di mobil kantor yang diparkir di bumi perkemahan Wonogondang. Saat itu, saya ditemani Mas Tugiman, sopir kantor. Posisi Wonogondang sedikit lebih tinggi dari pengungsian Umbulharjo. Sejak status Merapi naik, bumi perkemahan itu ditutup untuk umum. Jaraknya 6 kilometer dari puncak Merapi.
Siang hari, seusai menyelesaikan tugas meliput kunjungan Wapres, saya kembali ke kantor dan beristirahat di sana. Rumah kos saya sebenarnya hanya ”sepelemparan batu” dari kantor. Namun, badan sudah terlalu lelah untuk beringsut ke rumah kos. Lebih cepat merebahkan diri di kamar tidur yang tersedia di kantor. Menjelang maghrib, ponsel saya berdering. ”Merapi banyak korban,” kata Bambang Pandu memberi kabar.
Baca juga : Dari Merapi, Terempas ke Ombak Ganas Mentawai
Pria yang sering kami panggil om itu adalah warga setempat yang aktif memberi kabar tentang perkembangan Merapi. Saya mengenalnya dari senior-senior saya di Kompas. Ia aktivis lingkungan di daerahnya dan mengelola Bumi Perkemahan Wonogondang.
Saya segera berangkat lagi ke Merapi bersama Mas Tugiman. Tujuan pertama adalah Umbulharjo, pengungsian yang berjarak 8 kilometer dari puncak Merapi. Sebelum sampai tujuan, saya sudah bersiap-siap. Lensa saya pasang dan kamera saya nyalakan sehingga siap kapan pun mengambil gambar.
Tiba di Umbulharjo, baru saja turun dari mobil, saya langsung dihadapkan pada pemandangan mengenaskan. Seorang ibu yang kakinya terkena lahar panas tengah digotong beramai-ramai. Wajahnya tampak amat kesakitan. Malam itu, pengungsian Umbulharjo banyak kedatangan warga yang menjadi korban awan panas karena letusan besar Merapi menjelang maghrib.
Saya kemudian bergabung dengan Om Bambang dan naik mobil bak terbuka miliknya. Sementara mobil kantor dijaga Mas Tugiman di pengungsian. Kami naik terus dengan maksud melihat kondisi permukiman yang terkena dampak erupsi.
Sepanjang jalan, saya masih melihat banyak warga. Rupanya, banyak yang belum mengungsi. Persis sebelum sampai Kinahrejo—dusun tempat tinggal juru kunci Merapi, Mbah Maridjan—kami berhenti. Mobil sudah tidak mungkin lagi meneruskan perjalanan. Jalanan tertutup material letusan yang panas. Tak lama, di belakang kami, datang 2-3 anggota tim SAR.
Baca juga : Semangkuk Mi dan Segelas Kopi di Saat Akhir Bersama Mbah Maridjan
Saya berulang kali pergi ke desa itu untuk liputan sehingga betul-betul terkejut melihat perubahannya. Banyak rumah dan pohon tumbang, hangus terbakar. Sisa-sisa api masih terlihat di sana-sini. Abu tebal menyelimuti permukiman.
Tidak lama, kami mendengar suara orang minta tolong. Seorang bapak merintih di tepi jalan. Pria itu terbalut sarung mulai dari kepala hingga badannya sehingga menyisakan sepasang mata saja yang terlihat. Kain sarung tampak menempel di kulitnya. Tangannya bergetar seperti orang kedingingan.
”Ada korban, ada korban,” teriak saya kepada tim SAR di belakang saya. Kami lantas bersama-sama menggotong bapak itu ke atas mobil bak terbuka dan membawanya ke Rumah Sakit Panti Nugroho, Pakem, 10-15 menit dari Umbulharjo.
Saat itu saya tidak terpikir untuk memotretnya. Mungkin juga sempat terpikir, namun urung. Saya merasa, keadaan bapak itu sama sekali bukan sesuatu yang pantas untuk dipotret. Bahkan untuk sekadar dokumentasi pribadi. Toh, nanti saya bisa datang kembali untuk memotret suasana.
Baca juga : Merayakan Perayaan Kasada di Tengah Pandemi
Rasanya, saya menjadi wartawan pertama yang tiba di lokasi pascaerupsi besar hari itu. Kondisi eksklusif yang bisa menghasilkan foto bernilai besar. Namun, entah mengapa, malam itu saya memilih memasukkan kamera ke dalam tas dan sama sekali tidak memotret.
Ada ungkapan, tiada berita seharga nyawa. Mendapatkan berita tentu penting. Namun, manakala dihadapkan pada kondisi harus memilih, tentu saja keselamatan nyawa yang utama. Bukan hanya nyawa sang wartawan, melainkan juga nyawa orang lain.
Sayangnya, bapak tersebut mengembuskan napas terakhirnya sebelum tiba di rumah sakit. Luka bakarnya terlalu parah. Kami tidak bisa menolongnya lebih lanjut. Saya terpukul, rasanya seperti dihantam sesuatu yang berat.
Tahun 2006, saya meliput gempa Bantul yang korbannya ribuan jiwa. Namun, kondisi saat itu tidak membuat saya sedemikian terpukul seperti saat erupsi Merapi 2010. Mungkin karena saya menyaksikan sendiri dari dekat, bagaimana seseorang berjuang mempertahankan hidupnya, namun harus berujung pada akhir kehidupan.
Om Bambang yang melihat kondisi saya tidak berkata apa-apa lagi. Kami langsung kembali ke pengungsian dan beristirahat. Kejadian malam itu tidak mudah lepas dari ingatan. Selama beberapa hari setelahnya, bau seperti daging terbakar terus ”menghantui” penciuman saya.
Keesokan paginya saya kembali ke Kinahrejo. Kengerian pemandangan yang di malam hari hanya samar-samar pagi itu terpampang jelas. Saya memotret sekenanya. Rasa terpukul masih menyelimuti perasaan.
Editor sepertinya mencium kondisi saya, kemudian meminta saya istirahat dulu. Saya pulang ke Jakarta untuk menengok anak dan istri. Kalau saya renungkan kembali, semacam ada perasaan ”utang budi” karena tahun 2006 saya terhindar dari erupsi Merapi. Tahun 2010, giliran saya membayar utang itu dengan menolong bapak tersebut.
Pada saat puncak erupsi Merapi 2006, pagi harinya saya masih meliput persiapan pilkada di Kulon Progo. Sekira pukul 10.00, Om Bambang menelepon, mengabarkan Merapi erupsi. ”Wak, besar (erupsinya),” katanya.
Saya menelepon rekan fotografer, Lucky Pransiska, yang tengah ditugaskan di Yogyakarta. Namun, ia tidak menjawab panggilan. Rupanya, ia tengah sibuk meliput rehabilitasi korban gempa di Yakkum, Jalan Kaliurang Km 13,5. Akhirnya, dari Kulon Progo saya meluncur naik ke Merapi.
Di pengungsian Umbulharjo, saya bertemu dengan Om Bambang serta rekan wartawan Kompas, Budi Suwarna dan Agung Setyahadi. Berlima dengan Mas Tugiman, kami naik ke Kaliadem, tempat wisata yang jaraknya hanya 5 kilometer dari puncak Merapi.
Di tengah jalan, saya bertemu rekan-rekan wartawan dari berbagai media yang turun dari Merapi. Saya sempat diledek karena baru naik ke Merapi, sementara mereka pulang meliput dari sana.
Namun, rupanya Merapi punya rencana lain untuk saya. Di perjalanan, kami bertemu dengan Ibu Dewi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Ia dan tim hendak ke Kaligendol mengambil sampel material muntahan Merapi yang kabarnya telah mencapai Kaligendol yang berjarak 5 kilometer dari puncak Merapi. Kami kemudian mengikuti rombongan ini.
Sampai di bibir sungai, baru saja hendak turun mengambil sampel, terdengar suara gemuruh. Terlihat luncuran awan panas menuju ke arah kami berada. Suara dengung seismograf yang dipancarkan lewat handy talky terdengar nyaring.
Spontan semua berlarian. Saat itu, banyak warga yang belum mengungsi. Mereka juga tampak panik. Mobil kantor yang kami tumpangi akhirnya ikut mengangkut warga hingga pintu bagian belakangnya tidak bisa ditutup.
Saya sendiri yang waktu itu masih asyik memotret malah ketinggalan mobil. Untung, ada seorang warga naik sepeda motor yang bersedia memboncengkan saya. Kami berhasil lari tepat waktu. Terlambat sedikit, mungkin nasib saya sudah berbeda. Saya dan rombongan akhirnya bertemu lagi di Umbulharjo.
Dalam peristiwa itu, dua sukarelawan menjadi korban jiwa saat mencoba berlindung di bungker. Hikmahnya, banyak warga yang semula enggan meninggalkan rumah kemudian bersedia mengungsi.
Kejadian erupsi 2006 juga membuat warga lebih rasional sehingga menjelang erupsi Merapi 2010, lebih banyak lagi warga yang bersedia mengungsi. Jika tidak, sudah pasti korban jiwa yang jatuh lebih banyak. Saat ini, perut Merapi kembali bergolak. Semoga tidak timbul lagi korban jiwa. (SRI REJEKI)