Tantangan Aksesibilitas di Tengah Nasionalisme Vaksin
Harapan masyarakat akan hadirnya vaksin terkait pandemi Covid-19 boleh jadi akan terpenuhi. Pemerintah musti menjamin aksesibilitas di tengah menguatnya ”nasionalisme vaksin” dalam politik internasional.
Menuju penghujung tahun 2020, dunia dikejutkan dengan kabar baik. Akhirnya, setelah perjuangan penelitian selama nyaris setahun, muncul secercah harapan akan hadirnya vaksin yang dapat menyelamatkan umat manusia dari derita pandemi Covid-19. Walakin, pemerintah musti menjamin aksesibilitas di tengah menguatnya ”nasionalisme vaksin” dalam politik internasional.
Selayaknya krisis lain dalam sejarah, pandemi Covid-19 tahun ini juga mengubah lanskap politik internasional. Definisi kekuatan politik internasional kini tak lagi hanya bertumpu kepada kemampuan militer atau ekonomi sebuah negara, melainkan kemampuannya untuk menghadapi pandemi. Hal ini nampak dari perlombaan berbagai negara dalam mengembangkan dan mengamankan vaksin Covid-19.
Hadirnya vaksin memang sejak awal pandemi telah digadang-gadang sebagai solusi paling ampuh dalam menyelesaikan persoalan Covid-19. Dengan semakin banyaknya korban berjatuhan, paling tidak semenjak Maret tahun ini, beberapa perusahaan serta lembaga negara berlomba-lomba untuk menciptakan vaksin untuk virus ini. Maka dari itu, siapa yang paling cepat menemukan vaksin, dialah yang menjadi pahlawan dunia.
Tak ayal, persoalan vaksin pun memiliki dimensi politik yang kuat. Perkara vaksin pun menjadi perkara keamanan dan pertahanan nasional. Memastikan ketersediaan vaksin bagi warga negaranya pun menjadi fokus dari pemerintah-pemerintah di dunia.
Terlebih lagi, banyak dari pemerintah yang dianggap gagal dalam menangani persebaran Covid-19 dan menggantungkan harapannya kepada vaksin seperti AS, Inggris dan termasuk juga Indonesia.
Perkara vaksin pun menjadi perkara keamanan dan pertahanan nasional.
Persoalannya, meski beberapa perusahaan seperti Moderna, Pfizer, dan Sinovac hampir berhasil mengembangkan vaksin Covid-19, kapasitas produksi mereka masih terbatas. Ditambah lagi, vaksin yang menjanjikan membutuhkan dua kali penyuntikan agar bisa bekerja. Selain itu, penyimpanan dan distribusi dari sang vaksin pun menjadi tantangan tersendiri.
Tak semua vaksin mudah disimpan, seperti vaksin dari Pfizer yang harus disimpan dalam suhu -69 derajat celsius dan hanya bisa disimpan di dalam pendingin selama lima hari. Tak ayal, dibutuhkan ratusan juta bahkan mungkin hingga miliaran dosis vaksin untuk menghentikan pandemi ini.
Nasionalisme vaksin
Keadaan ini kemudian menciptakan sebuah fenomena di dunia bernama ”nasionalisme vaksin”. Secara singkat, nasionalisme vaksin dapat diartikan sebagai segala bentuk upaya yang dilakukan oleh sebuah negara untuk membatasi akses vaksin untuk kebutuhan dalam negerinya dulu baru kemudian dapat diekspor untuk kebutuhan negara lain. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan diri bahwa apa pun yang terjadi, warga negaranya pasti akan mendapatkan jatah vaksin.
Fenomena nasionalisme vaksin ini sebetulnya bukanlah hal yang baru. Kasus nasionalisme vaksin dulu pernah terjadi pada 2009 di kala merebaknya virus H1N1 atau flu babi. Saat itu, Australia sebagai negara yang pertama kali menemukan vaksin virus H1N1 memblokade ekspor terhadap vaksin tersebut.
Akibatnya, hanya sedikit negara, yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang besar, saja yang dapat memeroleh vaksin tersebut. Sementara itu, negara-negara lain yang lebih lemah baru kebagian jatah vaksin bahkan setelah virus H1N1 sudah tidak mewabah dalam bentuk donasi. Artinya, saat itu distribusi vaksin lebih berdasar pada daya beli negara alih-alih risiko transmisi.
Dari kasus di atas terlihat bahwa fenomena nasionalisme vaksin berbahaya untuk upaya penanggulangan pandemi. Dalam kasus wabah H1N1, mungkin dampak dari fenomena ini tak terlalu terasa karena memang skala persebaran yang ”hanya” berkisar di angka 600.000 kasus.
Namun, dampak dari nasionalisme vaksin bisa jauh lebih nampak mengingat seberapa besar dan globalnya pandemi Covid-19. Hingga 18 November, nyaris 56 juta orang di dunia terinfeksi virus ini di mana lebih dari 1,3 juta di antaranya meninggal.
Meski nampaknya masuk akal, sebagai upaya negara untuk mengedepankan kepentingan negaranya serta hajat hidup warganya, fenomena nasionalisme vaksin justru akan membuat pandemi kian sulit untuk ditangani. Pemerintah negara-negara di dunia musti ingat bahwa persoalan pandemi bukanlah semata persoalan nasional, melainkan juga persoalan internasional.
Ada beberapa bahaya yang dapat terjadi apabila fenomena nasionalisme vaksin ini menguat. Pertama, negara-negara berkembang kemungkinan akan kesulitan untuk mendapatkan vaksin. Padahal, banyak dari negara-negara ini dianggap tidak mampu untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Selain itu, beberapa negara tersebut juga memiliki jumlah populasi yang tak sedikit. Tak ayal, keengganan negara-negara maju untuk berbagi akses kepada vaksin merupakan aksi imoril dan mencederai semangat kerja sama internasional.
Di luar persoalan moral, tak kunjung sembuhnya negara-negara berkembang akibat menguatnya proteksionisme vaksin ini juga berbahaya bagi perekonomian dunia. Seperti kita ketahui, pandemi telah menghantam perekonomian dunia yang selama ini ditopang oleh skema rantai pasokan global.
Perusahaan-perusahaan besar dari negara-negara maju yang selama ini menikmati surplus keuntungan dengan menginstal pusat produksi di negara-negara berkembang harus menerima kenyataan bahwa pabrik mereka tak dapat beroperasi karena Covid-19. Maka, semakin lama rantai pasok global terputus di negara-negara tersebut, semakin merugi pula lah negara-negara maju yang kekeh membatasi ekspor vaksin.
Menurut hasil perhitungan dari RAND Corporation, fenomena nasionalisme vaksin dapat melukai perekonomian global hingga 1,2 triliun dollar AS per tahun dalam hal PDB. Negara-negara berpendapatan tinggi (AS, UE-27, Inggris) China, India, dan Russia diperkirakan akan merugi sebesar 119 miliar dollar AS per tahun apabila nantinya akses terhadap vaksin Covid-19 tak merata.
Sementara itu, biaya yang dibutuhkan untuk mengamankan suplai vaksin bagi negara berpendapatan rendah diperkirakan hanya berkisar di angka 25 miliar dollar AS.
Lebih detailnya, apabila negara-negara berpendapatan tinggi ini bersedia untuk membantu negara-negara berpendapatan rendah, rasio untung – modal (benefit-cost ratio/BCR) yang mungkin akan tercipta ialah 4,8 berbanding 1. Artinya, untuk setiap 1 dollar AS yang dikeluarkan untuk inisiatif ini akan dihasilkan dampak atau keuntungan sebesar 4,8 dollar AS.
Maka dari itu, secara hitung-hitungan, akan lebih menguntungkan bagi negara-negara maju berpendapatan tinggi apabila mereka dapat berbesar hati dan mau mengulurkan bantuan kepada negara-negara lain yang lebih lemah.
Hingga kini, fenomena nasionalisme vaksin bukanlah isapan jempol semata. Bahkan sebelum adanya vaksin yang benar-benar terjamin aman untuk digunakan, berbagai negara adidaya telah mengijon vaksin dari beberapa perusahaan besar.
Hal ini bahkan terlihat semenjak pertengahan Mei lalu, di mana Paul Hodson, CEO dari perusahaan farmasi ke lima terbesar di dunia, Sanofi, menjamin bahwa AS akan mendapatkan akses vaksin buatan mereka paling dahulu karena telah berinvestasi dalam penelitian mereka dalam jumlah yang besar.
Hal ini juga terjadi di Inggris, di mana AstraZeneca, salah satu dari enam perusahaan yang telah mengembangkan vaksin hingga uji klinis tahap III, telah diijon oleh Inggris dan AS dengan nilai investasi sebesar 79 juta dollar AS dan 1,2 miliar dollar AS.
Aksesibilitas
Telah terbukti mampu menembus garis perbatasan negara, bahkan tak hanya sekali dengan munculnya gelombang kedua di berbagai negara. Alhasil, dibutuhkan solusi yang menekankan pada kerja sama internasional. Untungnya, langkah dalam membangun kerangka kerja sama demi mendorong aksesibilitas vaksin telah dimulai.
Salah satu bentuk inisiatif global tersebut ialah COVAX. Program ini merupakan salah satu dari pilar ACT (Access to Covid-19 Tools) Accelerator yang merupakan kolaborasi global untuk mempercepat pengembangan, produksi, dan akses terhadap tes, perawatan, dan vaksin Covid-19 di bawah naungan WHO-Gavi-Koalisi Inovasi Kesiapsiagaan Pandemi (CEPI).
Dengan kolaborasi antara pemerintah, organisasi internasional, ilmuwan, sektor privat, dan masyarakat, COVAX berupaya untuk menjamin bahwa distribusi vaksin Covid-19 akan dilakukan dengan adil dan berdasarkan sains.
Saat ini, dukungan terhadap COVAX terus mengalir. Beberapa negara Eropa, Bill and Melinda Gates Foundation dan Wellcome Trust telah menyuntikkan dana sebesar sekitar 8 miliar dollar AS bagi inisiatif tersebut.
Sayangnya, upaya kolektif global ini justru tak mendapat dukungan dari pihak pemerintah negara-negara adidaya. Hingga kini, beberapa negara besar, seperti AS, Rusia, dan India, belum bersedia untuk turut berkontribusi dalam aliansi COVAX.
Bagi Indonesia, hadirnya COVAX dapat membantu dalam upaya negara untuk menjamin ketersediaan vaksin bagi warganya. Menurut mekanisme COVAX, paling tidak Indonesia bisa mendapatkan vaksin sejumlah 10 persen dari warga negaranya.
Tentu, hal ini bisa menjadi alternatif bagi pemerintah yang saat ini upayanya masih terkonsentrasi pada pendekatan dengan pihak dari negara lain serta perusahaan-perusahaan yang tengah mengembangkan vaksin. (Litbang Kompas)