Sang Maha Penghapus
Di folder yang sama muncul folder kau, Made Wianta, yang baru berpulang seminggu lalu. Sobatku, kau telah mengiringi lika-liku hidupku, rumahnya telah menampung kisah cintaku dengan istriku.
Tik tik tik... tiiik... tik tik tik...
Aku tidak tahu apakah Anda sekalian sering berpikir tentang ”delete” seperti aku saat ini. Selama puluhan tahun, selama masih memakai mesin tik, aku tidak pernah memikirkan itu. Bahkan aku tidak tahu kata asing itu. Tak perlu, memang masih muda.
Aku baru mulai memikirkan artinya ketika aku pertama memakai komputer menggantikan mesin tik, kira-kira 25 tahun yang lalu. Ternyata ada tuts baru di ujung kanan keyboard: del. Aku cari-cari. Ternyata del adalah singkatan delete, dari bahasa Perancis: se deliter, yang berarti ’lentur menuju musnah’. Penuh ancaman, kan!
Pada awalnya aku tidak begitu menghiraukan. Sampai datanglah hape, handphone. Di situ tuts-nya tidak langsung kelihatan, tetapi harus dicari, lalu ditekan setiap kali memori ini atau itu penuh. Baru waktu itu aku mulai akrab dengan kata delete dan artinya yang mengerikan itu: menuju musnah.
Sebenarnya, pada awalnya, tidak ada masalah. Yang di-delete cuma kata atau huruf. Praktis, kan? Akan tetapi, semakin sering aku mengetik, semakin biasa aku berulang-alik dari hape ke komputer, dan semakin liar si tuts del itu di bawah tekanan jariku. Apalagi yang kian sering mesti di-delete, bukan lagi kata yang salah tulis, atau halaman pengganti goresan tangan, tetapi file yang sesungguhnya, bahkan folder.
File yang makin besar, yang kilobite-nya kian menjejali memori komputerku, makin sering harus di-delete. Di situ memang harus jujur: banyak tulisanku sebenarnya adalah sampah. Apakah karena aku cenderung porno atau melulu mengkritik Sang Raja Majapahit Tampaksiring itu? Tidak tahu. Pokoknya ada saja file yang harus di-delete.
Lalu, tiba saatnya ketika situasi menjadi peka secara moral. Bukan file lagi yang kini aku harus delete, melainkan nama kontak. Selama orang itu tidak kukenal, karena nongkrong di komputer atau hape-ku tanpa izin, dengan numpang Twitter atau Instagram, tak jadi masalah. Di-delete begitu saja, ya sudah…!
Akan tetapi, lalu datanglah giliran orang yang kukenal. Terus terang, kalau bekas kenalan yang tak jelas ke mana juntrungannya, tak masalah juga. Mereka tak jauh beda dengan bekas istri, korban kebohonganku, dan mereka semua yang sudah lama aku persona-non-grata-kan di komputerku. Aku delete saja.
Namun celaka! Tiba-tiba muncul di komputer nama kontak yang aku tahu sudah cukup lama meninggal. Pada awalnya, biar mereka mati, aku ingin mempertahankan kehadiran mereka semua, paling sedikit di komputer. Ada semacam kerinduan. Normal, kan? Tetapi ’saking seringnya’ nama mereka bermunculan, akhirnya terpaksa aku mengambil keputusan: delete juga.
Satu per satu. Dengan hierarki. Ada yang aku delete-musnahkan di komputer tanpa merasa pilu. Nasib. Lain halnya dengan mereka yang cukup kusenangi: bekas guru, bekas editor, dan lain-lain. Awalnya hatiku memang teriris. Lalu aku ragu-ragu, dan tiba-tiba aku delete. Biar jadi masa lalu. Finished. Banyak sekali jatuh korban delete-ku di situ. Yang kini teringat hanya wajah mautnya.
Akhirnya datanglah mereka yang kukasihi. Melihat nama mereka, file mereka di layar, aku memang ingin delete, tetapi tak bisa: Aku bergetar, tidak bisa menekan tuts delete yang terasa menantang itu. Di situ terdapat sekretarisku yang setia, kau, si Kerti. Mentorku, Usadi Wiratnaya, yang menyanyi-nyanyi waktu merasa maut sudah hampir tiba. Lalu, Wayan Sadha, kartunis yang menjadi suara rakyat Bali…. Mustahil kalian aku delete. Harus kalian tetap hidup.
Sudah gundah, aku pindah ke external drive. Apa yang aku tiba-tiba temui? Di folder berjudul lukisan: file-file tebal ibuku, foto-foto karyanya, dokumen-dokumen, foto ayahku yang berjenggot itu…. Aduh kini aku tidak mungkin lagi berpikir tentang delete. Aku terisak menangis.
Belum selesai juga. Di folder yang sama muncul folder kau, Made Wianta, yang baru berpulang seminggu lalu. Sobatku, kau telah mengiringi lika-liku hidupku, rumahnya telah menampung kisah cintaku dengan istriku. Haruskah aku menangis lagi. Haruskah aku pun menanti tuts delete menimpaku secara tak terduga agar menemui arwah kau di atas gunung, jauh di atas sana?
Tik tik tik tik tik tik tik tik. He Oh, He Oh, Kau sana. Tik tik tiiiiiiik. He Oh, Kau Sang Maha Penghapus. Tolong berikan arti kepada Maha Absurditas Kau itu. Kenapa kau tak pernah merusak Megakomputer Kau itu?