Bantuan Sosial Belum Menjawab Persoalan Guru Honorer
Persoalan kesejahteraan guru non-aparatur sipil negara tidak kunjung terselesaikan. Masa pandemi Covid-19 memperkeruh permasalahan itu.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 menambah beban guru non-aparatur sipil negara. Bantuan sosial yang diupayakan oleh pemerintah belum mampu meringankan beban mereka.
”Kinerja dan beban guru non-aparatur sipil negara (ASN) dengan ASN hampir sama, tetapi pendapatan mereka berbeda. Perbedaannya terlalu besar, mulai dari upah, tunjangan sertifikasi, hingga akses terhadap jaminan sosial. Diklat yang berfungsi menambah kompetensi guru pun lebih banyak diberikan kepada guru berstatus ASN,” ujar Ketua Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Lampung Asep Sudarsono akhir pekan lalu.
Kategori guru non-ASN atau honorer terbagi menjadi empat, yakni guru honorer kategori 1 (K1), kategori II (K2), kategori III (K3), dan kategori IV (K4). Guru honorer K1 adalah guru non-ASN yang mengajar di sekolah negeri dengan upah ditanggung APBN/APBD. Guru honorer K2 adalah guru non-ASN yang mengajar di sekolah negeri, tetapi upahnya ditanggung komite sekolah.
Guru honorer K3 merupakan guru non-ASN yang mengajar di institusi swasta, tetapi memperoleh upah ataupun insentif dari APBN/APBN karena mengikuti sertifikasi dan skema penyesuaian (inpassing). Adapun guru honorer K4 merupakan guru non-ASN yang mengajar di lembaga swasta dengan upah dari komite sekolah.
Pada tahun 2012 terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Dia menilai, PP ini membuat keberadaan guru honorer K3 dan K4 diserahkan sepenuhnya dari pemerintah kepada lembaga dan yayasan tempat mengajar. Pada saat bersamaan, jumlah guru honorer K2 terus bertambah setiap tahun meskipun sudah ada larangan pengangkatan.
Selama pandemi Covid-19, kinerja dan beban guru honorer, apa pun kategorinya dengan guru ASN, tetap sama. Asep menerima banyak keluhan guru honorer tentang minimnya pendapatan. Di antara mereka ada yang berganti atau menambah profesi, seperti berjualan daring dan menjadi tukang ojek untuk menambah pemasukan bagi keluarga.
Ketika ditanya soal relaksasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk upah guru, dia berpendapat, kebijakan itu belum optimal. Beberapa guru dari satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama sempat mengeluhkan terjadi pengurangan dana BOS dan keterlambatan pencairan.
Bantuan subsidi upah (BSU) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mulanya dianggap sebagai ”angin segar” bagi guru non-ASN apa pun kategorinya. Namun, nilai dana yang diterima dirasa diskriminatif dibanding bantuan sosial lainnya. Apalagi, saat bersamaan terdapat kabar yang menyebutkan bahwa data pribadi guru honorer penerima BSU bocor dan menyebar di berbagai grup Whatsapp.
Kami sadar untuk mengangkat semua guru menjadi ASN sangat sulit, tetapi pemerintah bisa melakukannya dengan menyaring mereka dari sisi profesionalisme. (Asep Sudarsono)
”Kami sadar untuk mengangkat semua guru menjadi ASN sangat sulit, tetapi pemerintah bisa melakukannya dengan menyaring mereka dari sisi profesionalisme, misal guru honorer yang sudah tersertifikasi profesi. Kalaupun masih berat, pemerintah bisa memperuncing penyaringan dengan skema inpassing yang surat keputusan ditandatangani oleh pejabat negara di Kementerian Negara ataupun Kemdikbud,” kata Asep.
Baca juga: Problematika Guru Honorer
Titi Purwaningsih, Ketua Perkumpulan Honorer K2 Indonesia, menceritakan, di tengah pandemi Covid-19, para guru non-ASN tetap mengajar baik menggunakan metode luring maupun daring meskipun memberatkan dari sisi pembiayaan. Dia menyambut baik keputusan Kemendikbud merelaksasi dana BOS Reguler dengan menghapus sekat alokasi untuk honor. Namun, pada kenyataanya, kebijakan itu tidak berjalan mulus.
”Alokasi dana BOS reguler untuk honor tetap maksimal di bawah 50 persen,” ujarnya.
Subsidi paket kuota internet juga Titi sambut baik sebab guru honorer apa pun kategorinya menerima. Namun, pemakaian bantuan itu tidak optimal karena sejumlah guru honorer tinggal dan mengajar di wilayah yang mengalami keterbatasan sinyal telekomunikasi seluler. Ditambah lagi, jatah kuota umum terlalu sedikit, padahal guru honorer amat mengandalkan jatah itu.
”Kebanyakan guru mengajar melalui Whatsapp bukan menggunakan aplikasi-aplikasi pembelajaran khusus,” tutur Titi.
Guru kunjung
Siti Marlina, guru non-ASN di sebuah sekolah dasar negeri di Kendal, mengaku telah mengajar dari tahun 2015 sampai sekarang. Pada awal mulanya, dia mengajar kelas satu, lalu pada tahun 2020 digeser mengajar kelas lima.
Pada awal pandemi Covid-19, dia memakai Whatsapp Group dan Google Meet untuk mengajar. Komunikasi di dalam Whatsapp Group berjalan lancar, sementara Google Meet tidak. Hanya lima dari 30 orang siswa yang mengikuti kelas melalui Google Meet. Penyebabnya adalah 25 siswa lainnya tinggal di dusun yang susah sinyal telekomunikasi. Penyebab lainnya ialah tidak punya gawai dan sering kehabisan kuota internet.
Siti menyebut murid-muridnya itu tinggal di tiga wilayah berbeda, yakni Dusun Kalisuren, Mergosari, dan Tembalang. Siswa yang satu wilayah dengan dirinya akan datang ke rumahnya dan dia mengajar sambil memberikan materi kepada siswa lainnya di wilayah berbeda. Cara lain yang dia tempuh adalah mengunjungi siswa.
”Kepala sekolah mengizinkan asal saya menerapkan protokol kesehatan. Saya naik motor ke desa-desa tempat asal siswa,” katanya.
Jalan-jalan menuju ke desa-desa tempat tinggal siswa sempit sehingga Siti terkadang harus mengalah jika ada kendaraan besar lewat. Kendala medan lainnya adalah kontur jalanan yang naik turun dan tak beraspal. Apabila hujan, dia harus ekstrahati-hati.
Hal ini sempat membuatnya pesimis, tetapi dia berpikir ulang, jika dirinya menyerah, siswa-siswa tidak bisa menerima pembelajaran. Jika dia tetap bersikeras mengajar jarak jauh (PJJ) daring dari sekolah, tidak semua siswa mau mengikuti karena keterbatasan akses layanan seluler, gawai, dan biaya kuota.
”Saya terima honor dari BOS reguler. Namun, honor itu sepadan dengan biaya yang saya keluarkan untuk beli bensin dan paket kuota internet. Sampai sekarang, saya tidak didaftarkan sekolah ke kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan,” ujar Siti.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Iwan Syahril menyampaikan, tata kelola desentralisasi sekolah memperumit persoalan guru honorer. Ketika ada guru pensiun, muncul formasi calon PNS baru, tetapi kebijakan pemerintah pusat dan daerah belum sinkron.
Saat ini, Kemendikbud berupaya mencari solusi bersama tim dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Badan Kepegawaian Negara.
Selain itu, upaya perbaikan kesejahteraan guru honorer satu per satu dikeluarkan, mulai dari relaksasi dana BOS reguler, BOS afirmasi, BOS kinerja, dan bantuan subsidi upah. Guru-guru di satuan pendidikan swasta yang belum memperoleh jaminan sosial pun ikut diperjuangkan.
Baca juga: Pendidikan Bertumpu pada Guru Honorer
”Kami terus melakukan komunikasi intensif lintas kementerian/lembaga. Pada tahun 2021 akan ada seleksi massal guru ASN PPPK yang dapat diikuti seluruh guru honorer,” ujarnya.