Kendalikan Wabah dengan Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan
Setiap orang bisa berperan menghambat laju penularan Covid-19, setidaknya dengan selalu menjaga jarak fisik dan menghindari kerumunan. Dengan cara ini, kita bisa turut serta mengatasi pandemi.
Para ahli telah menyarankan sejumlah langkah mengendalikan pandemi Covid-19 dengan intervensi nonfarmasi. Sejumlah negara telah sukses menekan kasus dan korban hingga minimal. Untuk melihat langkah nonfarmasi yang paling efektif, kita bisa melihat data sains yang telah ada.
Kajian berbasis data dari para ahli matematika di Simon Fraser University, Kanada, yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) pada 19 November 2020 bisa memberi petunjuk efektivitas intervensi nonfarmasi yang paling tinggi. Para peneliti ini mengembangkan model untuk menguji keefektifan langkah-langkah seperti menjaga jarak fisik, memakai masker, membatasi jumlah orang dalam kerumunan, dan mencuci tangan.
Hasilnya, menjaga jarak fisik secara universal lebih efektif dalam mengurangi penyebaran Covid-19. Sementara mengenakan masker dan membatasi jumlah orang dalam kerumunan lebih bergantung pada situasi. Untuk hasil lebih optimal, ketiga intervensi ini harus dilakukan bersama-sama.
Dalam studi ini, mereka memperkenalkan konsep ”event R”, yaitu perkiraan jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 dari satu orang dalam suatu acara. Faktor-faktor seperti intensitas penularan, durasi pemaparan, kedekatan individu, dan tingkat pencampuran kemudian diuji silang dengan metode apa yang paling efektif untuk mencegah penularan dalam setiap keadaan.
Para peneliti mengatakan bahwa peluang seseorang untuk terinfeksi Covid-19 sangat bergantung pada tingkat penularan dan durasi waktu yang dihabiskan dalam pengaturan tertentu.
Para peneliti memasukkan data dari laporan wabah di berbagai acara, seperti pesta, makan, kelab malam, angkutan umum, dan restoran. Para peneliti mengatakan bahwa peluang seseorang untuk terinfeksi Covid-19 sangat bergantung pada tingkat penularan dan durasi waktu yang dihabiskan dalam pengaturan tertentu.
Peristiwa-peristiwa itu dikategorikan sebagai jenuh (probabilitas transmisi tinggi) dan linier (probabilitas transmisi rendah). Model tersebut menunjukkan bahwa jarak fisik efektif dalam mengurangi penularan Covid-19 di semua pengaturan, tetapi efektivitas membatasi jumlah orang dalam kerumunan tergantung pada apakah kemungkinan penularannya tinggi atau rendah.
Dalam pengaturan yang menunjukkan ada percampuran dan kemungkinan penularan tinggi, seperti tempat kerja dalam ruangan yang padat, bar, kelab malam, sekolah menengah, membatasi jumlah orang dalam kerumunan membantu mengurangi penyebaran Covid-19. Namun, tindakan itu kurang efektif dalam pengaturan transmisi rendah atau aktivitas ketika ada pencampuran, seperti terlibat dalam aktivitas luar ruangan, bekerja di kantor yang berjarak, atau bepergian dengan sarana transportasi umum.
Sementara itu, masker dan penghalang fisik lain kurang efektif dalam pengaturan transmisi tinggi yang jenuh (pesta, paduan suara, dapur restoran, kantor yang ramai, kelab malam, dan bar). Meskipun mengurangi separuh tingkat transmisi, masker tidak berdampak pada berhentinya penularan.
”Akan sangat bagus untuk mulai mengumpulkan informasi dari keterpaparan dan wabah, jumlah peserta, jumlah pencampuran, tingkat kerumunan, tingkat kebisingan, dan durasi acara,” kata Caroline Colijn, anggota tim peneliti yang juga Ketua Riset Kanada untuk Matematika untuk Evolusi, Infeksi, dan Kesehatan Masyarakat.
Kerumunan dan sekolah
Dengan melihat data ini, kita seharusnya bisa menentukan langkah-langkah intervensi yang efektif untuk mengendalikan penularan di Indonesia. Jelas bahwa kerumunan, apa pun alasannya, bakal meningkatkan penularan karena hal itu menyulitkan upaya menjaga jarak. Apalagi jika kerumunan itu melibatkan orang dalam jumlah besar.
Kajian terpisah oleh ahli ilmu komputer dari University of Oxford dan tim juga menemukan pentingnya mencegah kerumunan dalam mengendalikan pademi, selain menutup sekolah. Dalam penelitian yang bisa diakses di Medrxiv.org dan belum mendapat tinjauan dari sejawat ini, peneliti mengumpulkan data kronologis tentang intervensi nonfarmasi di 41 negara antara Januari dan akhir Mei 2020.
Negara yang dikaji ini mayoritas Eropa dan beberapa negara Amerika Latin serta Afrika. Mereka kemudian memperkirakan efektivitas delapan intervensi ini menggunakan model hierarki Bayesian dengan menghubungkan tanggal penerapan intervensi dengan jumlah kasus dan kematian nasional.
Hasilnya didukung oleh validasi empiris yang ekstensif, termasuk 11 analisis sensitivitas dengan lebih dari 200 kondisi eksperimental. ”Kami menemukan bahwa menutup sekolah dan universitas sangat efektif, melarang pertemuan dan menutup bisnis berisiko tinggi juga efektif. Akan tetapi, menutup sebagian besar bisnis lain memiliki manfaat lebih jauh yang terbatas. Dan, bahwa banyak negara mungkin dapat mengurangi R di bawah 1 tanpa mengeluarkan perintah tinggal di rumah,” tulis Jan M Brauner, peneliti dari Department of Computer Science University of Oxford, dalam laporannya.
Baca juga : Melawan Korona Dimulai dari Diri Sendiri
Berdasarkan pemodelan mereka, persentase rata-rata pengurangan laju penularan Covid-19 melalui intervensi nonfarmasi adalah sebagai berikut. Mewajibkan penggunaan masker di (beberapa) ruang publik ternyata tidak signifikan mengurangi penularan.
”Dalam data kami, pemakaian masker hanya akan efektif apabila interaksi publik bisa dikurangi. Ketika sebagian besar penularan terjadi di ruang pribadi, pemakaian masker di tempat umum menjadi kurang efektif,” kata Brauner.
Dalam kajian Brauner, membatasi pertemuan hingga 1.000 orang atau kurang berkontribusi menurunkan risiko sebesar 13 persen. Sementara jika orang yang diizinkan berkumpul 100 orang atau kurang, kondisi itu berkontribusi 28 persen. Jika jumlah orang dibatasi 10 orang atau kurang, kontribusinya sebesar 36 persen.
Menutup beberapa bisnis berisiko tinggi menurunkan risiko penularan 20 persen, menutup sebagian besar bisnis yang tidak penting 29 persen, menutup sekolah dan universitas 41 persen, dan menerbitkan larangan keluar rumah (dengan pengecualian) 10 persen.
Sanksi tegas
Mengingat peran penting mencegah kerumunan dalam penanggulangan pandemi, sejumlah negara secara ketat menerapkan larangan terhadap kerumunan sebagai bagian dari strategi intervensi nonfarmasi. Di Australia, misalnya, pelanggar larangan berkerumun bisa mendapat sanksi .5000 dollar Australia per orang. Jika kembali melanggar, sanksinya akan ditambah lagi. ”Jadi, sanksinya per individu. Kalau yang melanggar 20.000 orang, ya, harus bayar semua per orang yang datang, bukan hanya penyelenggara,” kata epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman.
Penegakan protokol kesehatan di masyarakat harus dilakukan dengan sanksi tegas, tanpa kecuali. Apalagi jika ada kerumunan sampai ribuan orang, itu bisa menjadi sumber megakluster penularan dan bakal membuat pandemi berlarut-larut.
Menurut Dicky, sudah banyak bukti bahwa kerumunan massa dalam jumlah besar, dengan alasan apa pun, termasuk juga kegiatan wisata, konsolidasi politik untuk pemilihan kepala daerah, ataupun kegiatan keagamaan, menjadi sumber penularan. Kluster terkait kegiatan keagamaan juga telah banyak ditemukan di negara lain. Di Korea Selatan, misalnya, terbukti terbentuk megakluster akibat pengumpulan massa oleh salah seorang pemimpin agama pada Februari 2020.
”Saat itu, setelah pengumpulan massa yang mencapai ratusan ribu orang, muncul ledakan kasus baru sampai 5.000 orang dalam dua minggu. Itu menjadi sumber penularan terbesar di Korea Selatan. Pemimpin agamanya yang dianggap mengabaikan keselamatan publik kemudian dihukum. Harus ada efek jera,” tuturnya.
Menurut Dicky, pengumpulan jemaah di Gowa, Sulawesi Selatan, pada Maret 2020 lalu juga diduga menjadi pemicu penularan wabah hingga lebih dari 1.000 kasus baru di 22 provinsi. ”Ini juga terjadi dengan jemaah gereja di Lembang, yang memicu penularan ke banyak daerah. Setelah kasus-kasus awal, sebenarnya sudah relatif membaik, belakangan muncul lagi baru-baru ini dengan kerumunan massa dalam jumlah besar dengan alasan kegiatan keagamaan,” katanya.
Bukti terbaru, kerumunan massa dari serangkaian acara terkait tokoh Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab, juga telah memicu terbentuknya kluster baru penularan. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Muhammad Budi Hidayat mengatakan, 50 orang yang terlibat dalam kegiatan Rizieq Shihab di Tebet positif Covid-19. Sebanyak 30 orang yang terlibat kegiatan di Petamburan juga diketahui positif. Sementara 15 orang di Mega Mendung, Jawa Barat, masih menunggu hasil pemeriksaan.
Sudah banyak bukti bahwa kerumunan massa adalah sumber utama penularan. Berbagai kajian ilmiah juga membuktikan, menjaga jarak merupakan bentuk intervensi paling efektif mencegah penularan. Kini tergantung kita, apakah mau mengendalikan wabah, yang berarti mencegah jatuhnya korban lebih banyak, atau tidak.
Baca juga : Kerumunan dan Perkantoran Sumber Penularan
Setiap orang bisa berperan. Setidaknya dengan selalu menjaga jarak fisik dan menghindari kerumunan, kita bisa turut serta mengatasi pandemi ini. Kerumunan ini tentu saja tanpa kecuali karena virus tidak mengenal partai dan agama. Kerumunan terkait pilkada ataupun kegiatan keagamaan bisa menjadi tempat penularan utama yang membuat kasus penularan tambah melaju....