Konsolidasi Produsen Sawit Global
Dewan Negara- negara Penghasil Kelapa Sawit (CPOPC) genap berusia lima tahun pada 21 November 2020. Lima tahun adalah usia yang masih sangat muda untuk melaksanakan amanat yang cukup kompleks dan hadapi tantangan besar.
Dewan Negara- negara Penghasil Kelapa Sawit (CPOPC) genap berusia lima tahun pada 21 November 2020. Lima tahun adalah usia yang masih sangat muda untuk melaksanakan amanat yang cukup kompleks, yaitu mengembangkan kerja sama dan pembangunan ekonomi bagi pemangku kepentingan sawit di negara anggota.
Sementara tantangan yang dihadapi cukup besar, khususnya kampanye negatif oleh pasar di Eropa, dan bagaimana ke depan produsen dapat menjamin harga minyak sawit menguntungkan bagi petani sawit.
Melawan kampanye negatif
Tentang kampanye negatif oleh pasar, khususnya di Eropa, publik tahu akar masalah adalah persaingan dagang untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia yang terus meningkat (200 juta ton lebih tahun ini). Sejak 2006 sawit menggeser pasokan minyak nabati dunia yang puluhan tahun sebelumnya didominasi minyak kedelai, kanola, dan bunga matahari.
Tuduhan bahwa sawit merusak lingkungan juga tak fair. Faktanya, minyak kedelai saat ini menguasai lahan 122,5 juta ha, kanola 34,7 juta ha, bunga matahari 26 juta ha, dan sawit hanya 23 juta ha.
Tuduhan bahwa sawit merusak lingkungan juga tak fair.
Deforestasi juga terjadi pada perluasan lahan pertanian dan peternakan di benua lain. Sawit hanya menyumbang 5 persen emisi karbon dioksida dibandingkan 65 persen karena kegiatan manusia yang berbasis bahan bakar fosil. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), sawit justru menyerap 161 ton karbon dioksida dan menghasilkan 18,7 ton/ha oksigen/tahun.
Kampanye negatif perlu diimbangi dengan kampanye positif oleh negara produsen sawit. Meningkatnya permintaan minyak nabati dunia hanya bisa dipenuhi oleh sawit karena produktivitas sawit delapan kali lipat kedelai dengan luasan lahan sama dan sekali tanam bertahan 30 tahun.
Baca juga: Industri Sawit yang Berkelanjutan Dorong Ekspor CPO
Perlu kesadaran pengambil kebijakan dan konsumen bahwa pemenuhan minyak nabati dunia akan lebih merusak lingkungan apabila tanpa sawit, karena butuh lahan lebih luas guna memenuhi kebutuhan ini. Persoalannya, belum jadi perhatian pemimpin pada tingkat global bahwa dampak ekonomi dan sosial dari perkebunan sawit jauh lebih besar daripada dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Upaya lain dalam rangka kampanye positif adalah penguatan CPOPC melalui penambahan anggota secara akseleratif dan mewakili seluruh kawasan penghasil sawit. Masuknya Kolombia menjadi anggota CPOPC, November 2018, bisa jadi pendorong bagi negara produsen sawit lain. Ghana, Honduras, dan Papua Niugini disetujui menyelesaikan proses aksesi atas Piagam CPOPC sebelum diterima jadi anggota penuh dalam waktu dekat.
Perluasan keanggotaan akan membuat Eropa merasa berhadapan dengan banyak negara penghasil sawit yang bersatu. CPOPC dapat mewadahi semua negara penghasil sawit, besar atau kecil, mengekspor ataupun tidak, sehingga menambah bobot politik organisasi ini.
Baca juga: Potensi dari Sawit
Semua negara produsen sawit berkepentingan membangun jejaring dan aliansi global guna mengembangkan dan membesarkan industri sawit yang bersendikan prinsip keberlanjutan dan melakukan kampanye positif secara koheren dan terpadu melawan kampanye negatif dengan berbagai motif, seperti dagang dan kepentingan minyak nabati lain.
Industri sawit berkaitan erat dengan pengentasan rakyat miskin karena sektor ini melibatkan 54 juta lebih orang secara langsung ataupun tidak langsung.
Industri sawit berkaitan erat dengan pengentasan rakyat miskin karena sektor ini melibatkan 54 juta lebih orang secara langsung ataupun tidak langsung.
Pekebun (smallholders) merupakan komponen sangat penting bagi pengembangan industri sawit global mengingat 40 persen lebih industri ini dimiliki pekebun sawit.
Di beberapa negara seperti Honduras dan di Afrika, pekebun menguasai 70 persen kebun sawit, sedangkan di Indonesia 42 persen dengan jumlah pekebun 2,5 juta. Sawit telah menjadi komoditas penting bagi banyak negara dalam upaya mencapai Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030, khususnya pengurangan kemiskinan, akses ke makanan yang layak, dan pendidikan.
Stabilisasi harga
Selain melawan kampanye negatif, tantangan bagi CPOPC adalah mempertahankan harga kelapa sawit agar tetap menguntungkan bagi petani.
Kebutuhan minyak nabati akan tetap tinggi karena pertumbuhan penduduk dan tingkat kesejahteraan.
Gapki memperkirakan pada 2050 dunia memerlukan 370 juta ton minyak nabati dan itu tak bisa dipenuhi tanpa kehadiran minyak sawit. Indonesia dan Malaysia yang menguasai pasar minyak nabati sejak 2006 perlu terus mempertahankan supremasi dan menjadi stabilisator dalam menentukan pasokan dan harga minyak sawit yang diperkirakan mencapai 743 dollar AS/ton pada 2025.
Baca juga: Dilema Produksi Solar Nabati
Penting juga mengurangi gap produksi antarprodusen agar tumbuh tanggung jawab bersama dari setiap negara produsen untuk mempertahankan reputasi minyak sawit sebagai sumber makanan, sumber energi, dan bahan industri lain yang menguntungkan bagi semua.
Kenyataan bahwa Indonesia dan Malaysia telah menguasai pangsa pasar minyak sawit dunia (85 persen) akan tetap menjadikan Asia Tenggara pemasok terbesar sawit dunia. Guna menghindari kritikan, kawasan ini dapat meningkatkan produktivitas dengan mengubah strategi, yaitu intensifikasi dan peremajaan sebagaimana telah dimulai Indonesia sejak 2017.
Kawasan Afrika yang terdiri dari Nigeria, Ghana, Pantai Gading, Kamerun, dan Kongo baru menghasilkan kelapa sawit kurang dari 3 juta ton per tahun, jumlah yang relatif kecil dibandingkan lahan yang tersedia.
Baca juga: Produk Oleokimia Topang Kinerja Positif Industri Sawit
Mereka perlu didukung untuk mengembangkan sawit berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan minyak nabati yang terus meningkat sekaligus meningkatkan kesejahteraan warganya dan menumbuhkan kebanggaan kawasan karena melihat kembalinya tanaman asli mereka, Elaeis guineensis.
Kawasan Amerika Latin dan Tengah yang menyumbang 5 persen pangsa sawit dunia juga prospektif untuk pengembangan sawit masa depan karena tersedia lahan dan tak banyak dapat sorotan terkait deforestasi.
Bahkan Kolombia menggagas pendirian universitas kelapa sawit untuk mendukung industri sawit ke depan.
Kolombia sebagai produsen keempat terbesar dunia dengan lahan 550.000 ha dan produksi sekitar 1,6 juta ton/tahun memiliki 32,2 juta ha lahan siap pakai untuk pertanian. Bahkan Kolombia menggagas pendirian universitas kelapa sawit untuk mendukung industri sawit ke depan.
Gagasan ini sebaiknya dikembangkan ke arah pembentukan universitas kelapa sawit pada skala internasional sehingga punya sumber daya dan pemanfaatan yang lebih besar. Hal ini akan menambah dinamika interaksi negara penghasil kelapa sawit: di Asia Tenggara ada CPOPC, di Amerika Latin ada universitas, dan di kawasan Afrika dapat dibentuk pusat kampanye positif.
Priyo Iswanto, Duta Besar RI untuk Kolombia.