Dari merayakan kepemilikan rumah baru, pekerjaan baru, perkawinan, kehamilan, kelahiran, khitanan, ulang tahun, atau syukuran untuk melakukan perjalanan rohani.
Di kemudian hari, tidak akan mengherankan jika ada perayaan jenis baru yang diadopsi banyak orang kemudian menjadi sebuah kelumrahan. Potensi ini setidaknya nampak dari alokasi ongkos pesta yang meningkat dari tahun ke tahun.
Badan Pusat Statistik (BPS ) mencatat adanya peningkatkan biaya pesta di Indonesia. Dengan mengambil angka rata-rata per kapita per bulan, pengeluran untuk pesta tercatat sebesar 3,42 persen dari total pengeluran bukan makanan di tahun 2015.
Proporsi tersebut meningkat menjadi 3,84 persen pada tahun 2018 lalu sempat sedikit menurun pada 2019 sebesar 3,71 persen lalu kembali naik pada tahun ini sebesar 3,73 persen.
Pengeluaran terbesar diperuntukkan buat keperluan pernikahan. Pada 2019, pengeluaran untuk pernikahan mengambil porsi sebesar 43,64 persen dan meningkat menjadi 46,98 persen. Peningkatan tersebut mengurangi seluruh pos pengeluaran pada acara lainnya.
Dalam Determinan Pengeluaran untuk Keperluan Pesta dan Upacara Perkawinan di Indonesia (2020), penulis menyebut pernikahan makin menunjukkan tingkat penting untuk dihadiri sebagai pride (kebanggaan). Maka tak ayal jika keperluan untuk pesta pernikahan meningkat tiap tahunya.
Di tahun 2020, pos anggran terbesar kedua adalah untuk perjalanan rohani, haji, umrah, yakni sebesar 23,43 persen. Menyusul kemudian pos upacara agama dan adat (16,72 persen), khitanan dan ulang tahun (7,76 persen), dan terakhir pemakaman (5,11 persen).
Rincian pengeluaran pesta
Merujuk pada hasil Survei Sosial ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2020, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan masyarakat Indonesia adalah Rp 1.225.685. Di wilayah perkotaan, jumlahnya lebih tinggi, yaitu Rp 1.455.637, sedangkan di perdesaan Rp 933.695.
Pengeluaran tersebut dibagi menjadi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Di perkotaan, warga cenderung memiliki pengeluaran lebih banyak untuk bukan makanan daripada untuk makanan. Sementara di perdesaan berlaku hal yang sebaliknya.
Jenis pengeluaran untuk keperluan pesta atau upacara masuk dalam kategori bukan makanan, bersama item lainnya seperti pengeluaran untuk perumahan, barang, jasa, dan pajak.
Bersanding dengan kebutuhan non-pangan lainnya, maka dapat dilihat bahwa biaya sosial menjadi bagian yang tidak bisa dinihilkan dari pengeluaran sehari-hari masyarakat Indonesia selain kebutuhan untuk mencukupi kebutuhan sendiri.
Biaya sosial menjadi bagian yang tidak bisa dinihilkan dari pengeluaran sehari-hari masyarakat Indonesia.
Keperluan pesta dan upacara yang dihitung tidak termasuk makanan. Dalam skala nasional, rata-rata pengeluran untuk pesta adalah Rp 23.238 atau 3,73 dari pengeluaran bukan makanan.
Pengeluaran untuk pesta warga Indonesia di perkotaan sebesar 3,43 sementara di wilayah perdesaan, jumlahnya lebih besar yaitu 3,87 persen. Dari persentase ini dapat dilihat bahwa kegiatan sosial masyarakat di pedesaan cenderung lebih tinggi dibandingkan masyarakat di perkotaan.
Perkotaan versus perdesaan
Jika dirinci tiap provinsi, ditemukan lima provinsi dengan pengeluaran pesta tertinggi berdasarkan klaster perkotaan. Pengeluaran pesta di wilayah perkotaan tertinggi adalah Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Riau, dan Sulawesi Barat.
Bali menjadi pembeda dengan proporsi pengeluaran pesta 8,23 persen dari pengeluaran bukan makanan. Selain tertinggi, proporsi tersebut dua kali lipat bahkan di antara provinsi lainnya.
Secara berturut keempatnya adalah Sulawesi Selatan (4,37 persen), Sumatera Barat (4,27 persen), dan Riau (4,27 persen), dan Sulawesi Barat (4,24 persen).
Ongkos untuk keperluan pesta tidaklah menjadi persoalan jika tidak berdampak pada stabilitas ekonomi rumah tangga. Namun, jika biaya yang dikeluarkan tidak bisa dikontrol, tak urung biaya sosial bisa berdampak pada kemiskinan.
Bali misalnya. BPS mencatat pengeluaran untuk pesta turut andil dalam mempengaruhi tingkat kemiskinan warga. Data September 2015 menunjukkan bahwa upacara dan adat menyumbang 3,84 persen terhadap garis kemiskinan masyarakat di perdesaan. Pengaruhnya lebih tinggi pada masyarakat perkotaan, yaitu sebesar 4,64 persen.
Sementara dari wilayah perdesaan, provinsi dengan pengeluaran pesta tertinggi masih dipegang oleh Provinsi Bali, yaitu sebesar 9,10 persen. Menyusul kemudian Sulawesi Selatan (6,01 persen), Jawa Barat (5,16 persen), Jawa Tengah (4,87 persen), dan Banten (4,44 persen).
Jika tidak cermat, ongkos sosial dapat memengaruhi kondisi keuangan bulanan. Di bulan-bulan baik ketika banyak orang menggelar perayaan, pengaturan keuangan harus dilakukan sehati-hati mungkin agar tidak berujung pada kebuntuan finansial. (Litbang Kompas)