Pandemi Covid-19 membuat kiprah partai politik di Tanah Air cenderung kurang terdengar. Di tengah berbagai dinamika politik masyarakat saat ini, adakah pergeseran pola keterpilihan partai politik di masyarakat?
Oleh
Toto Suryaningtyas
·5 menit baca
Hasil Pemilu Legislatif 2014 dan 2019 menunjukkan, partai politik (parpol) papan atas Indonesia kini ”dikuasai” oleh tiga parpol, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerindra, dan Partai Golkar. Perolehan suara ketiga parpol itu pada Pemilu Legislatif 2019 mencapai 44,6 persen atau 61,878 juta suara dari total 139,970 juta suara sah.
Dengan memperhitungkan ambang batas parlemen dan sistem penghitungan kursi yang memakai metode sainte lague, PDI-P menjadi pemenang pemilu dengan raihan 27,053 suara dan 128 kursi DPR. Partai Gerindra yang mendapat 17,594 juta suara pemilih, sedikit lebih tinggi daripada Partai Golkar dengan 17,229 juta suara, justru menurun rankingnya ketika dikonversi menjadi kursi parlemen. Partai Golkar mendapat 85 kursi, sedangkan Gerindra 78 kursi.
Untuk menjadi mayoritas (50,1 persen suara anggota DPR), dibutuhkan setidaknya 288 suara. Sementara secara faktual, kekuatan politik pemerintah yang terhimpun dalam koalisi pendukung pemerintah di DPR jauh lebih besar karena selain DPI-P dan Golkar, juga ada Nasdem (59 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (58 kursi), dan Partai Persatuan Pembangunan (19 kursi) sehingga total mencapai 349 suara anggota DPR.
Dalam perjalanan pembentukan Kabinet Indonesia Maju pada Oktober 2019, Gerindra merapat ke koalisi pemerintah sehingga menambah jumlah kekuatan politik di DPR. Jika ditambah dengan Gerindra, penguasaan kursi pendukung pemerintah di DPR mencakup 427 kursi atau 74,3 persen dari total anggota DPR.
Penguasaan politik parlemen jelas memberikan keuntungan besar dalam pemerintahan.
Penguasaan politik parlemen jelas memberikan keuntungan besar dalam pemerintahan. Keputusan politik yang membutuhkan persetujuan parlemen akan lebih lancar dibuat, termasuk yang tidak populer sekalipun. Stabilitas politik nasional juga jauh lebih terjamin dengan kekuatan parlemen yang didominasi koalisi pemerintah.
Meski demikian, penggunaan kekuatan politik yang besar tetap harus memperhitungkan kekuatan politik yang berada di ranah nonparlemen. Terlebih, saat ini, konsolidasi kekuatan politik bisa terjadi melalui kanal-kanal komunikasi modern yang lebih tersebar sekaligus lebih bersifat ”silo-silo” sehingga semakin sulit dideteksi.
Unjuk rasa
Berbagai peristiwa unjuk rasa setahun terakhir ini memberi sinyal menguatnya ranah politik nonparlemen. Ambil contoh, unjuk rasa pada 24 September 2019 yang menentang pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR, yakni RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Substansi RUU tersebut dituding banyak merugikan kepentingan publik.
Dua pertiga responden tidak puas terhadap kinerja DPR dan merasa tidak terwakili oleh lembaga tersebut.
Kekecewaan publik saat itu terekam dari jajak pendapat Kompas pada 25-27 September 2019 dengan 419 responden, di mana dua pertiga responden tidak puas terhadap kinerja DPR dan merasa tidak terwakili oleh lembaga tersebut. Separuh lebih responden juga tidak percaya DPR akan mampu mendengarkan aspirasi rakyat.
Ketidakpuasan pada sebagian publik itu bersambung hingga Desember 2019 saat pandemi Covid-19 mulai menjadi isu di Indonesia. Perhatian publik mulai beralih dari isu RUU kepada kritik terhadap pemerintah yang dianggap menyepelekan serangan pandemi dengan tidak melakukan lockdown.
Kekecewaan publik makin berakumulasi pasca-pengesahan RUU Cipta Kerja di Rapat Paripurna DPR yang dinilai tidak berpihak kepada buruh, serta diduga cacat secara prosedural. Pada 8 Oktober 2020, unjuk rasa besar kembali terjadi yang diikuti buruh, mahasiswa, pelajar, dan warga masyarakat. Sejumlah pengunjuk rasa ditangkap polisi meskipun kemudian dilepas kembali.
Di tengah kecamuk ketidakpuasan publik akibat beberapa kebijakan pemerintah dan parlemen, elektabilitas parpol terekam bergeming.
Hasil survei nasional Kompas yang dilakukan pada 26 Juli sampai dengan 10 Agustus 2020 menunjukkan, pola perolehan suara parpol ternyata tidak banyak berubah. PDI-P, Gerindra, dan Golkar terekam kembali menjadi pemenang pemilu seandainya pemilu dilakukan pada saat survei dilakukan. PKB, Partai Keadilan Sejahtera, Demokrat, Nasdem, Partai Amanat Nasional, dan PPP menjadi partai papan tengah, sedangkan selebihnya kemungkinan menjadi partai papan bawah.
Tentu menjadi pertanyaan, mengapa berbagai peristiwa unjuk rasa terhadap pemerintah dan DPR tidak membawa perubahan afiliasi parpol, paling tidak sebagaimana tecermin dari survei Kompas?
Pertama, perlu dicatat tentang metodologi penyelenggaraan survei. Survei tatap muka ini cukup mampu memetakan pemilih parpol besar, tetapi bisa jadi kurang akurat untuk konstituen parpol kecil dan parpol berbasis massa kedaerahan. Tengok pula waktu dilakukannya survei. Hiruk-pikuk akibat pengesahan UU Cipta Kerja terjadi setelah pelaksanaan survei sehingga belum memperhitungkan pandangan publik terhadap parpol.
Betapapun, pola elektabilitas parpol besar hasil survei Kompas yang relatif senada dengan hasil Pemilu 2014 dan 2019 mencerminkan sebuah kelembaman pilihan parpol di masyarakat Indonesia.
Artinya, secara agregat tidak mudah bagi pemilih di Indonesia untuk mengubah pilihan parpolnya semata akibat munculnya isu dan peristiwa yang sebetulnya berkait dengan kinerja parpolnya. Terlebih jika isu itu tidak merugikan dirinya sendiri, misalnya dalam pengesahan UU soal Minerba atau investasi yang lebih mengena ke kalangan pengusaha.
Motivasi memilih
Bahkan, meski pemilih dibanjiri berbagai isu yang bisa mengena ke dirinya sendiri (misalnya UU Cipta Kerja dan UU Pertanahan), proses mencerna keterkaitan terhadap dampak UU bagi dirinya pasti memerlukan waktu. Apalagi, begitu banyak informasi yang saling bersilangan di media massa dan media sosial, misalnya dalam memberitakan konsekuensi dari UU Cipta Kerja bagi kaum buruh.
Tengok pula struktur piramida masyarakat Indonesia yang secara tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masih besar (gembung) di bagian bawah piramida. Pengalaman menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat biasanya akan makin kritis terhadap politik, dan sebaliknya.
Terakhir, hal terpenting dalam afiliasi parpol ialah soal motivasi memilih parpol itu sendiri. Dalam masyarakat Indonesia, orang memilih parpol bisa karena alasan sosiologis (kedaerahan, agama, dan kekerabatan), alasan psikologis (suka ideologi, tokoh, dan histori partainya), ataupun karena pertimbangan rasionalitas (untung rugi ekonomi, program partai, dan rekam jejak partai).
Berbagai faktor motivasi tersebut kiranya menjelaskan kenapa ada kelembaman dalam pilihan politik di Indonesia, paling tidak selama dekade ini. Potensi terjadinya dinamika dalam batas-batas tertentu tentu masih ada. Namun, sejauh belum muncul faktor perubah yang dominan, rasanya pola keterpilihan parpol masih akan sama dengan penguasaan politik parlemen pada saat ini.