Siapkan Pembelajaran Tatap Muka, Sekolah Mulai Inventarisasi Ulang Sarana dan Prasarana
Walaupun belum bisa memastikan kapan pembelajaran tatap muka akan dilakukan, sejumlah sekolah di Jakarta mulai bersiap untuk memenuhi protokol kesehatan apabila kelak siswa belajar di sekolah lagi.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah sekolah di Jakarta mulai menginventarisasi perlengkapan sekolah guna persiapan pembelajaran tatap muka. Meskipun belum ada kepastian kapan pembelajaran tatap muka dilakukan, pihak sekolah tetap bersiap sejak dini.
Rencana pembukaan kembali sekolah diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021. Pembelajaran tatap muka dapat digelar kembali melalui perizinan berjenjang, mulai dari orangtua, kepala sekolah, hingga pemerintah daerah.
Baca juga : Kendalikan Wabah dengan Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan
Kepala SD Negeri Bendungan Hilir 01, Jakarta Pusat, Rukdi langsung merespons keluarnya SKB empat menteri tersebut dengan melakukan asesmen kesiapan belajar. Ia mendata ulang sarana dan prasarana sekolah yang diperlukan untuk pembelajaran tatap muka di masa pandemi.
”Kalau jadi dibuka, jarak antarsiswa di kelas nanti minimal harus 1,5 meter. Kami sedang mengukur jaraknya,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Senin (23/11/2020).
Rukdi juga mulai mendata kebutuhan sarana tempat cuci tangan, cairan penyanitasi tangan (hand sanitizer), masker, dan thermo gun yang dibutuhkan. Menurut dia, kesiapan sarana dan prasarana untuk pembelajaran tatap muka di SD Negeri Bendungan Hilir saat ini mencapai 70 persen.
Untuk tempat cuci tangan, misalnya, di area bawah sudah tersedia delapan unit. Satu unit bisa digunakan untuk dua kelas. Sebaliknya, tempat cuci tangan di lantai atas baru tersedia di kamar mandi.
Alat pengukur suhu tubuh thermo gun baru ada dua buah. Pihak sekolah menghitung kebutuhan alat ini minimal empat buah.
”Masih ada waktu untuk menyiapkan itu sampai awal tahun depan. Untuk pengadaannya, kami bisa pakai dana pengalihan BOS (bantuan operasional sekolah),” katanya.
Hasil asesmen kesiapan belajar tersebut sudah jauh meningkat dibandingkan dengan asesmen tahap pertama yang mereka lakukan pada bulan lalu. Saat itu, tingkat kesiapan mereka mencapai sekitar 50 persen.
Pertimbangkan jumlah siswa
Saat ini, SD Negeri Bendungan Hilir 01 memiliki 692 siswa. Mereka terbagi dalam 24 rombongan belajar. Rukdi juga sedang menimbang-nimbang skema pembagian siswa pada pembelajaran tatap muka. Pelaksanaan pembagian siswa ini tetap mengacu pada petunjuk teknis dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
Menurut dia, ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan. Pertama, separuh siswa masuk sekolah dan separuhnya lagi melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kedua, siswa dibagi menjadi dua sif, yakni pagi dan siang.
”Kalau menggunakan skema sif, harus ada jeda transisi minimal setengah jam. Masalahnya, siswa yang masuk siang kadang datang terlalu awal sehingga berpapasan dengan siswa yang masuk pagi. Ini pengalaman kelas paralel kami dulu,” tambahnya.
Menurut Rukdi, berdasarkan asesmen yang pernah dilakukan, 82,5 persen orangtua siswa menghendaki sekolah kembali dibuka. Bahkan, desakan tersebut beberapa kali ia terima langsung dari orangtua siswa, baik secara tatap muka maupun via panggilan telepon.
Kalau menggunakan skema sif, harus ada jeda transisi minimal setengah jam. Masalahnya, siswa yang masuk siang kadang datang terlalu awal sehingga berpapasan dengan siswa yang masuk pagi. Ini pengalaman kelas paralel kami dulu.
Ada beberapa kendala yang paling banyak dikeluhkan siswa selama PJJ, antara lain kesulitan siswa membeli kuota internet, gawai pintar dipakai orangtua untuk bekerja, dan tidak ada pendamping saat belajar di rumah.
”Banyak kasus anak tidak didampingi orangtua. Ada juga anak yang diberi akses handphone, tetapi disalahgunakan untuk main gim,” ungkapnya.
Meski begitu, menurut Rukdi, PJJ juga memberikan beberapa manfaat, misalnya siswa dan guru dituntut melek teknologi informasi. Di sisi lain, PJJ membuat orangtua lebih memahami anak dan tugas guru. Sebelumnya, orangtua cenderung memasrahkan anak kepada guru.
Kepala Satuan Pelaksana SMP Negeri 39 Jakarta Jonni Sitorus menyampaikan, meski belum mendapatkan kepastian pembukaan sekolah, pihaknya telah melakukan sejumlah persiapan. Seperti pada Senin pagi, ruang-ruang kelas disemprot menggunakan cairan disinfektan.
Menurut rencana, jika sekolah resmi dibuka kembali, penyemprotan disinfektan akan dilakukan setiap hari setelah siswa pulang. ”Jadi, saat siswa masuk, kelas dalam kondisi bersih,” ujarnya.
Tanggung jawab ganda
Sementara itu, guru kelas VI SD Negeri Grogol Selatan 01, Jakarta, Nugroho, mengaku siap menjalankan tanggung jawab ganda pada pembelajaran tatap muka nanti. Selain bertindak sebagai pengajar, ia juga harus mengawasi kegiatan siswa dari pagi hingga pulang sekolah.
”Anak SD, kan, masih agak susah diatur. Makanya harus diawasi terus. Mereka enggak boleh sembarangan main dengan temannya,” ujarnya.
Nugroho mengaku, tugas yang ia emban nanti tidak mudah. Selain siswa yang ia ajar di kelas, nantinya ada sebagian siswa yang masih menjalani PJJ. Sembari mengajar secara langsung, ia juga harus memantau proses PJJ siswa lainnya.
Segera dibuka
Sanyani (40), orangtua Muhammad Iqbal Saputra (10), siswa kelas IV SD Negeri Kota Bambu 01 Pagi, Jakarta Barat, sangat berharap sekolah kembali dibuka. Ia mengaku cukup kerepotan mendampingi putranya belajar.
Di sisi lain, ia juga kasihan dengan anak keduanya karena sang anak sudah jenuh menjalani PJJ. Selain itu, PJJ juga membuat Iqbal menjadi tidak disiplin. Ia kerap bangun kesiangan.
”Kelihatan, ya, kalau jenuh. Kadang sudah enggak semangat mengerjakan tugas. Tapi, tetap saya marahi,” ungkap Yani.
Di sisi lain, PJJ sebenarnya memberikan manfaat bagi Yani. Ia menjadi punya banyak waktu dengan Iqbal di rumah. Ia juga tak harus memberikan uang saku kepada Iqbal.
Robi (17), siswa kelas XI SMK Taman Siswa Jakarta, juga tak sabar untuk masuk kembali ke sekolah. Siswa Jurusan Rekayasa Perangkat Lunak ini mengaku kelimpungan mengerjakan tugas praktik secara daring.
”Susah banget ngerjain tugas praktik kalau pakai handphone. Enakan ngerjain di sekolah, ada komputernya,” katanya.
Menurut komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, saat membuka sekolah, jangan hanya berpedoman pada pembagian separuh siswa dan protokol kesehatan. Perlu disiapkan juga infrastruktur, biaya tes usap (swab), dan uji coba kepatuhan seluruh warga sekolah terhadap protokol kesehatan.
Pantauan KPAI terhadap 48 sekolah di delapan provinsi pada 15 Juni-19 November 2020, sebagian besar sekolah belum siap dibuka. Ia mengaku sudah mendatangi 39 sekolah dari total 48 sekolah yang harus disambangi. Sekolah itu mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA/SMK.
Meski begitu, ada sejumlah sekolah di setiap jenjang yang dinilai sangat siap, seperti SMK Negeri 11 Bandung dan SMP Negeri 4 Solo. Sementara sekolah yang sudah siap tetapi masih memerlukan protokol kesehatan adalah SMK Negeri 1 Manonjaya Tasikmalaya, SMK Negeri 63 Jakarta Selatan, SMP Negeri 1 Magelang, SMP Negeri 7 Bogor, SD Negeri Pekayon Jaya 06 Bekasi, dan SMP Negeri 1 Madiun.
SMKN 11 Bandung memiliki nilai kesiapan yang tertinggi. Sekolah ini dinilai tidak hanya siap secara infrastruktur, tetapi protokol kesehatannya juga lengkap. Sosialisasi dan uji coba kepada sepertiga siswa juga sudah dilakukan.
Sementara SMPN 4 Solo sudah siap secara infrastruktur. Hanya saja, 15 protokol yang sudah dibuat sekolah ini masih perlu disempurnakan. Hal ini langsung direspons oleh tim gugus tugas Covid-19 sekolah.