”Sistem Ekonomi Syukur” Guru Honorer
Kesejahteraan guru honorer yang rendah dan semakin tergerus akibat pandemi Covid-19 memaksa mereka masuk ke dalam ”sistem ekonomi syukur”.
Menjadi ironis ketika pertumbuhan positif sektor jasa pendidikan di tengah resesi ekonomi diikuti nasib guru honorer yang justru semakin terpuruk. Guru honorer menerima kesejahteraan yang tidak sepadan dengan tugas mulia mereka membangun sumber daya manusia.
Peran penting pendidikan dalam pembangunan dan perekonomian paling tidak terindikasi dari tiga hal. Pertama, pendidikan menjadi bagian tak terpisahkan dalam pembangunan manusia. Penyusunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mulai dari skala regional, nasional, hingga global selalu menggunakan ukuran akses pendidikan sebagai salah satu pilarnya.
Sebagai gambaran, IPM disusun dari empat pilar, yakni pengeluaran per kapita setahun, rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah, dan umur harapan hidup. Dua dari empat pilar penyusun IPM adalah pendidikan.
Kedua, pendidikan juga dikaitkan dengan pemetaan kondisi kemiskinan. Pendidikan tercatat sebagai salah satu komoditas jasa yang memberikan andil besar terhadap garis kemiskinan dari data Badan Pusat Statistik per Maret 2020. Pendidikan memberikan pengaruh besar terhadap kemiskinan per Maret 2020 sesudah perumahan, bahan bakar minyak, dan listrik.
Ketiga, pendidikan menempati posisi tinggi, yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Mukadimah UUD 1945 menegaskan, salah satu tujuan pembentukan negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tanggung jawab guru tersirat juga dalam Pasal 31 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945. Pasal ini menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa guru harus hadir mendidik semua warga negara tanpa terkecuali.
Baca juga : Beban Besar di Pundak Guru Honorer
Tetap tumbuh
Sedemikian penting pendidikan sehingga sektor ini tetap terselenggara di tengah lesunya perekonomian dan pandemi Covid-19. Tak mengherankan, jasa pendidikan yang termasuk sektor ekonomi tersier tetap tumbuh saat banyak sektor ekonomi lain justru tengah terjun bebas.
Dari 17 sektor pembentuk produk domestik bruto (PDB), hanya tujuh yang mencatat pertumbuhan positif pada triwulan III-2020. Jasa pendidikan menempati peringkat keempat dari tujuh sektor ekonomi yang tumbuh positif pada triwulan ini. Bahkan, sejak triwulan I-2019 hingga triwulan III-2020, sektor pendidikan juga selalu tumbuh di atas laju PDB.
Peran penting pendidikan dalam perekonomian ditunjukkan juga dari korelasi antara dua variabel tersebut. Hasil analisis menggunakan data sepanjang 31 periode mulai dari triwulan I-2013 hingga triwulan III-2020 menghasilkan dua kesimpulan penting.
Kesimpulan pertama, pertumbuhan sektor jasa pendidikan dan pertumbuhan PDB menunjukkan arah korelasi yang positif. Kedua, hubungan pertumbuhan sektor jasa pendidikan dan pertumbuhan ekonomi dengan nilai koefisien 0,43 menunjukkan tingkat korelasi cukup baik.
Dua kesimpulan ini mengindikasikan, pertumbuhan sektor jasa pendidikan mempunyai hubungan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Pendapatan guru honorer
Perbandingan penghasilan antarsektor ekonomi justru menunjukkan indikasi memprihatinkan. Data penghasilan antarsektor ekonomi justru menguatkan rendahnya apresiasi kinerja sumber daya manusia di bidang pendidikan.
Data keadaan angkatan kerja yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik, Agustus lalu, menunjukkan hal tersebut. Rata-rata gaji tenaga kerja di sektor pendidikan tercatat hanya Rp 2,67 juta per bulan.
Padahal, rata-rata gaji tenaga kerja secara nasional per Agustus 2020 mencapai Rp 2,76 juta. Penghasilan rata-rata sektor jasa pendidikan berada pada urutan ke-11 dari 17 sektor ekonomi.
Lebih rinci, penghargaan kinerja sumber daya pendidikan, antara lain, dialami kelompok guru honorer. Komparasi antara pendapatan per kapita penduduk dan sampel besaran gaji guru honorer dari hasil survei Ikatan Guru Indonesia (IGI) menunjukkan fakta ini.
Pada Maret 2020, Dana Moneter International (IMF) memperkirakan, pendapatan per kapita penduduk Indonesia mencapai 4.460 dollar AS per tahun. Jika dirupiahkan, pendapatan per kapita penduduk Indonesia dalam setahun lebih kurang Rp 73 juta dengan asumsi kurs Rp 16.367 per dollar AS.
Artinya, dalam sebulan rata-rata penghasilan penduduk mencapai Rp 6,1 juta per orang. Sementara penghasilan yang diterima sebagian besar guru honorer jauh di bawah angka tersebut merujuk hasil survei IGI pada Juli 2020. Dari total 24.835 guru honorer yang menjadi responden survei tersebut, 94 persen di antaranya berpenghasilan Rp 250.000-Rp 2 juta per bulan.
Ekonomi syukur
Rendahnya kesejahteraan guru honorer yang, antara lain, tecermin dari penghasilan mereka yang tak berubah dalam beberapa tahun belakangan. Hasil survei lain dari gabungan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Australia, dan Bank Dunia Desember 2019 memperkuat gambaran tersebut.
Survei Kinerja dan Akuntabilitas Guru tersebut menggunakan sampel 270 sekolah dasar di desa terpencil Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur. Hasil survei ini paling tidak memberikan tiga kesimpulan penting.
Kesimpulan pertama, guru honorer berperan sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan dasar di Kalbar dan NTT. Hasil survei empat lembaga tersebut menunjukkan besarnya proporsi guru honorer yang terlibat dalam kegiatan belajar di sekolah dasar.
Hanya ada 40 persen guru tetap berstatus pegawai negeri sipil (PNS) pada survei di 270 SD tersebut. Kekurangan tenaga pengajar lebih banyak diisi oleh guru honorer. Sebanyak 42,5 persen guru honorer dikontrak oleh sekolah dan 15,8 persen guru honorer lain dikontrak oleh pemerintah kabupaten atau provinsi.
Kesimpulan kedua, penghasilan guru honorer jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan penghasilan guru PNS. Rerata penghasilan bulanan guru PNS yang tersertifikasi adalah Rp 8,4 juta, sementara guru PNS yang tidak tersertifikasi berpenghasilan sekitar Rp 4,6 juta per bulan.
Guru non-PNS berpenghasilan terendah memperoleh pendapatan bulanan rata-rata Rp 550.000. Adapun penghasilan guru honorer di dua provinsi itu rata-rata Rp 600.000 setiap bulan.
Kesimpulan ketiga, beban kerja guru honorer cenderung lebih besar ketimbang guru PNS. Guru honorer juga memperoleh beban kerja berbeda karena posisi mereka yang inferior.
Baca juga : Guru Honorer di Sekolah Swasta Juga Butuh Kejelasan Status
Masih merujuk survei tersebut, guru dengan status PNS kerap kali tidak hadir di kelas saat jam mereka mengajar. Kekosongan kelas kemudian diisi guru honorer sehingga mereka mendapatkan tanggung jawab mengajar di kelas lebih banyak.
Potret kondisi yang sama juga dialami guru honorer di Jawa. Salah satu adalah Heri Kustanto (34), guru honorer di sebuah madrasah tsanawiyah (MTs) di Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Heri sudah hampir 13 tahun menjadi guru honorer. Setiap mengajar, ia mendapatkan gaji Rp 10.000. Total penghasilan yang dibawa pulang Heri setiap bulan hanya Rp 350.000 sejak tahun 2007.
Penghasilan sebesar itu pun sudah ditambah dengan penghargaan tanggung jawab tambahan sebagai guru wali kelas dan kepala laboratorium IPA. Heri juga harus mengejar jam mengajar lebih banyak demi membawa pulang Rp 350.000 per bulan untuk menghidupi istri dan dua anaknya.
Heri bersama guru honorer lain terus-menerus bergulat dengan keadaan yang sama. Mereka berada dalam situasi ikhlas, menjadi tenaga sukarela demi diangkat menjadi calon PNS lewat jalur honorer.
Kalaupun tidak, mereka menunggu peluang untuk lulus tes calon PNS formasi umum. Para guru honorer akhirnya hidup dalam ”sistem ekonomi syukur”. Mereka bersyukur tiada akhir, bersyukur masih mendapatkan gaji, dan syukur-syukur kalau semakin makmur. (LITBANG KOMPAS)