Asa untuk Guru Honorer Kategori Dua
Rencana pengangkatan satu juta Pegawai Pemerintah dengan Pembagian Kerja menjadi angin segar bagi guru honorer kategori dua (K2).
Ketimpangan pendapatan yang dirasakan oleh guru yang masih berstatus guru honorer merupakan masalah menahun yang belum terselesaikan. Beban kerja yang dilakukan tak sebanding dengan upah yang didapat. Namun, mereka tak berputus asa, terus berjuang karena percaya asa itu masih ada.
Ketimpangan pendapatan terutama dirasakan oleh guru honorer kategori dua atau disingkat K2 Mereka digaji sekolah menggunakan sebagian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dengan hitungan per jam mengajar yang besarannya tergantung dari kebijakan sekolah.
Karena ketentian penggunaan dana BOS untuk menggaji guru tidak boleh melebihi 50 persen, tidak sedikit guru honorer K2 menerima gaji hanya Rp 100.000 sebulan. Kondisi ini berbeda dengan guru honorer kategori satu (K1).
Guru honorer K1 adalah guru honorer daerah dan guru bantu yang sumber gajinya berasal dari anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Meskipun tidak sebesar gaji guru PNS, penghasilan mereka umumnya lebih baik ketimbang guru honorer K2.
Hasil survei IGI (Ikatan Guru Indonesia) terhadap 24.835 guru honorer tahun 2020 menunjukkan, lebih dari sepertiga responden guru (36,8 persen) mendapat gaji Rp 250.000-Rp 500.000. Bahkan, masih ada 15,4 persen responden guru mendapatkan digaji kurang dari Rp 250.000.
Salah satu contohnya adalah Maimunah (29). Guru honorer K2 SMK swasta di Kota Depok itu digaji dengan perhitungan Rp 25.000 per jam mengajar. Dalam sebulan, pendapatannya lebih kurang Rp 500.000.
Untuk biaya hidup di kota seperti Depok, pendapatan Maimunah itu tentu masih jauh dari kata cukup. Namun, Maimunah tidak sendiri, ada 700.000-an guru honorer K2 bernasib sama dan tersebar di seluruh Tanah Air.
Baca juga: Guru Honorer, Pahlawan Nyata Tanpa Tanda Jasa
Paling terdampak
Pandemi Covid-19 membuat beban guru honorer kategori dua semakin berat dengan penghasilan mereka yang minim. Mereka menjadi kelompok guru honorer yang paling terdampak, menurut sebagian masyarakat dalam jajak pendapat Kompas pada 10-12 November lalu.
Separuh responden menilai, guru honorer K2 inilah yang paling terganggu penghasilannya akibat pandemi. Dukungan responden untuk guru honorer kategori 2 ini juga mengemuka ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan akan memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU).
Dana BSU guru honorer rencananya akan diberikan Rp 1,8 juta yang diberikan sekaligus. Dua dari lima responden berpendapat, BSU ini seyogianya diprioritaskan untuk membantu guru honorer K2.
Keberpihakan masyarakat pada guru honorer K2 ini menunjukkan bahwa guru honorer K2 yang jumlahnya menurut laman Kemendikbud sebanyak 787.823 orang ini membutuhkan perhatian lebih.
Sebelumnya, pemerintah juga mengupayakan perbaikan gaji guru honorer menimbang situasi pandemi. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 19/2020 yang merevisi pemanfaatan dana BOS boleh digunakan lebih dari 50 persen untuk menambah gaji guru honorer. Hal ini paling tidak membuat guru honorer K2 ini sedikit bernapas lega.
Baca juga: "Sistem Ekonomi Syukur" Guru Honorer
Kebutuhan guru
Status guru honorer muncul di tahun 1990-an ketika kebutuhan guru semakin meningkat dengan mulai bertambahnya jumlah sekolah dan banyaknya guru PNS yang purnakarya. Sementara kebutuhan di lapangan ini tidak diikuti dengan penambahan guru baru karena tidak ada pengangkatan.
Untuk mengatasi kekurangan guru tersebut pihak sekolah mengambil inisiatif dengan mempekerjakan anak-anak yang pernah PKL (praktik kerja lapangan) di sekolah menjadi guru dengan status honorer dan gaji seadanya. Status sosial menjadi guru meskipun guru honorer dengan gaji pas-pasan pun dijalani.
Perekrutan guru tanpa pola dan proses yang terstandar akhirnya semakin masif terjadi bahkan praktik ”aji mumpung” karena mungkin ada kedekatan dengan kepala sekolah atau pejabat daerah tanpa melihat kualitas dan kapabilitas seorang guru mengakibatkan jumlah guru honorer pun semakin membengkak.
Di sisi lain LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) juga semakin banyak menghasilkan lulusan guru yang kemudian tidak terserap oleh sekolah-sekolah. Guru-guru yang berkualitas justru tidak mendapat tempat.
Satuan pendidikan di Indonesia lebih banyak diiisi oleh guru-guru honorer. Di beberapa daerah, bahkan ditemukan ada satu sekolah yang sama sekali tidak mempunyai guru berstatus PNS.
Sebenarnya pemerintah daerah sudah dilarang merekrut guru honorer. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2005, yakni pemda tidak boleh membuka lowongan bagi guru non-PNS.
Hanya saja, adanya ketimpangan antara jumlah guru PNS dan kebutuhan tenaga pengajar pada akhirnya memaksa sekolah tetap banyak merekrut guru honorer. Apalagi, jumlah guru yang akan pensiun meningkat setiap tahun.
Jika tidak ada pengangkatan guru PNS baru tentu guru-guru honorer yang akan menggantikannya. Tuntutan kualitas akan semakin besar.
Baca juga: Mendesak, Peta Kebijakan dan Perekrutan Guru Honorer
Saringan kualitas
Semakin bertambahnya jumlah guru honorer dan panjangnya waktu pengabdian membuat tuntutan perbaikan status dan kesejahteraan mereka kian kencang digaungkan. Namun, meningkatnya jumlah guru honorer ini tidak linier dengan peningkatan kualitasnya.
Kondisi ini tentu saja memengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia. Kondisi ini menjadikan masalah guru honorer semakin komplek.
Menurut Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim, kualitas guru adalah sebuah keniscayaan. Saringan kualitas sangat diperlukan agar ruang-ruang kelas diajar oleh guru yang andal.
Salah satu cara perbaikan kualitas tersebut adalah dengan membuka peluang seluas-luasnya bagi guru menjadi guru profesional, terlebih guru non-PNS. Guru idealnya mendapatkan peluang peningkatan kompetensi secara mandiri.
Selanjutnya, Pemerintah menetapkan standardisasi guru secara profesional sehingga semua organisasi profesi yang sudah mendapat legalisasi memfasilitasi untuk menyediakan guru yang sesuai dengan standar tersebut.
Kinerja guru akan selalu terukur. Dengan demikian, kesejahteraan guru yang kompetensinya sudah teruji lolos sebagai guru profesional tentu akan mengikuti.
Hal ini memerlukan dukungan dan dorongan dari pemerintah daerah. Jika kondisi ini terwujud, ketimpangan kesejahteraan antara guru PNS dengan non-PNS pun lambat laun akan terkikis.
Kualitas guru adalah sebuah keniscayaan. Saringan kualitas sangat diperlukan agar ruang-ruang kelas diajar oleh guru yang andal.
Secercah asa
Perjuangan guru honorer dalam memperjuangkan nasibnya tidak pernah pupus. Pengabdian berpuluh-puluh tahun sampai menua bahkan pensiun dengan tetap menyandang status sebagai guru honorer tetap setia dijalani.
Persoalan ini perlu segera ditanggapi secara lebih konkret. Pemerintah perlu membuat regulasi yang mengatur penyelesaian masalah guru dan tenaga kependidikan honorer baik K1 maupun K2 yang masih belum sejahtera.
Pada hari ulang tahun guru nasional 25 November 2020 ini paling tidak muncul secercah harapan akan nasib para guru honorer ini. Tahun 2021, Kemendikbud akan membuka satu juta formasi untuk pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Prioritas program ini ada pada guru-guru honorer yang penghasilannya masih di bawah standar.
Dalam kerangka itu, pemerintah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua guru honorer. Guru honorer negeri dan swasta berkesempatan mengikuti seleksi pengangkatan aparatur sipil negara dengan skema PPPK ini hingga tiga kali kesempatan ujian seleksi tanpa batas usia.
Oleh karena itu dibutuhkan dukungan sekolah dan pemerintah daerah untuk mendaftarkan guru-guru honorer sebanyak mungkin dan mengikuti seleksi tersebut mengingat pemerintah pusat sudah menyediakan anggarannya.
Selain memastikan pendidik yang handal, kebijakan ini menjadi peluang untuk meningkatkan kesejahteraan guru-guru honorer yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air yang memang sudah layak menjadi ASN.
Semoga kebijakan ini benar-benar menjadi kado terindah bagi guru-guru honorer, garda terdepan pendidikan bangsa di hari ulang tahunnya. (Litbang Kompas)