Jauh dari sejahtera tak membuat Dede Juhadi (36) patah arang menekuni profesi guru honorer. Ia mencari cara kreatif untuk mengajar dan menyambung hidup di tengah berbagai keterbatasan saat pandemi Covid-19.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri/Zulkarnaini/Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
”Negeri ini bukanlah milik satu agama, satu kelompok etnis. Tetapi, milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Terima kasih pahlawan. Engkau sudah mempertahankan bangsa Indonesia. Kami siap melanjutkan perjuanganmu.”
Demikian pandangan Siti Nuraedah, siswi kelas VI SDN 1 Astapada, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tentang Hari Pahlawan pada 10 November. Ungkapan itu ia sampaikan dalam tugas membuat video yang diberikan Dede Juhadi.
Dede menunjukkan video berdurasi 2 menit 6 detik itu via pesan Whatsapp (WA), Senin (23/11/2020). Tugas itu merupakan salah satu kreativitas Dede dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) setelah sekolah tatap muka dilarang karena pandemi Covid-19.
Masih banyak pendapat siswanya tentang Hari Pahlawan direkam lewat video. Namun, memori gawainya tak cukup menampung video itu. Maklum, telepon pintar itu juga dipakai istrinya yang hamil untuk mendaftar Kartu Prakerja.
Alumnus Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu juga menugasi siswanya membuat video ucapan Hari Guru Nasional, 25 November mendatang. Meski tidak tatap muka, metode pembelajaran itu melatih berbicara di depan umum.
Siswanya pun antusias. Mereka mengunggah karyanya di media sosial. Dede juga membagikan hasil tugas siswanya ke grup WA para guru. Sejumlah guru berencana mengadopsi metode itu.
Dalam PJJ, Dede juga membuat tugas dengan aplikasi Google Form berbentuk kuesioner tentang pelajaran Bahasa Indonesia hingga Ilmu Pengetahuan Sosial. Setelah menjawab semua soal, siswa menerima nilai melalui gawainya. ”Jadi, saya enggak perlu merekap nilai lagi secara manual,” ujarnya.
Sayangnya, dari 28 siswanya, ada lima anak belum memiliki telepon pintar. Jadi, sekali dalam sepekan, ia menemui siswa itu di sekolah atau rumahnya untuk memberikan dan mengumpulkan tugas.
Nasib tak jauh beda dialami Maria Ulfa, guru honorer di SD Negeri 72 Banda Aceh. Meski gajinya hanya Rp 230.000 per bulan, dia ikhlas mengajar. ”Saya ikhlas karena ini pilihan hidup,” katanya.
Saat pandemi, sekolah tatap muka ditiadakan. Pembelajaran dilakukan secara daring. Namun, tidak semua orangtua murid punya gawai. Karena itu, Maria mengunjungi murid ke rumah untuk mengajar. ”Apa pun kami lakukan supaya anak-anak belajar,” ucapnya.
Menyambung hidup
Kreativitas juga tampak saat Dede berjuang menyambung hidup keluarga. Menjadi guru honorer delapan tahun, gaji Rp 650.000 per bulan saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan dua anak.
Meski gajinya hanya Rp 230.000 per bulan, dia ikhlas mengajar.
Karena itu, ia mencari sumber penghasilan baru yang tak mengganggu tugas utamanya, mengajar 24 jam per pekan. Sebelum pandemi, setiap sore, ia berkeliling menjajakan es doger. Dari usaha itu, ia meraup untung Rp 20.000-Rp 60.000 per hari.
Namun, ia berhenti berjualan karena pandemi Covid-19. Kini, ia memasarkan kerupuk tempe buatan keponakannya. Hasilnya, seminggu ia mendapat sekitar Rp 120.000. ”Hasil penjualan itu untuk bayar token listrik,” ujarnya.
Anak petani ini juga menjadi petugas yang memasukkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Cirebon selama sebulan. Ia bekerja mulai malam hari dan pulang subuh. Upahnya sedikit lebih tinggi.
Sholeh Abdul Ghofur, guru honorer SDN 1 Sumber, juga mencari penghasilan tambahan dengan memasukkan data BPS. Pagi hari, ia mengajar 24 jam per pekan.
Di sela-sela kesibukan mengajar, Sholeh bersama sejumlah guru honorer juga menggagas Koteci (kopi teh Ciremai). Kopi itu diambil dari petani di Ciremai, gunung tertinggi di Jabar. Menurut Ketua Pejuang Pendidikan Seluruh Indonesia (PPSI) Cirebon ini, ia juga merancang platform jual beli secara digital, yakni Butikku Store.
Aneka kreativitas itu diharapkan meningkatkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan honorer di Cirebon yang gajinya rata-rata Rp 300.000 per bulan.
Sementara itu, Alfeus Afando (35), guru honorer di SDN Mewet, Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, menuturkan, sejak mengajar pada 2006, ia mendapat upah Rp 210.000 per bulan. Setelah ada kebijakan pemerintah pusat bahwa dana bantuan operasional sekolah (BOS) bisa untuk membayar upah guru honorer, ia diupah Rp 1,07 juta per bulan.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, ia beternak kambing dan membudidayakan tanaman hortikultura. Ia juga menjadi pengelola Koperasi Obor Mas di Desa Mewet dengan anggota 70 orang. Usaha sampingan ini dijalankan di luar jam sekolah.
Wakil Kepala SMAN Adonara Tengah, Flores Timur, Tomas Arakian Boli mengatakan, gaji guru honorer di daerah itu Rp 200.000 sampai Rp 800.000 per bulan.
Di tengah keterbatasan sarana dan minimnya kesejahteraan, Dede dan sejumlah guru honorer di beberapa daerah terus mencari cara kreatif mengajar dan memenuhi kebutuhan hidup.