Icang Aini, Berbagi Inspirasi dengan Bertani
Menjadi guru agama di pelosok desa tak cukup bagi Icang Aini (26). Pengalaman orangtuanya dulu sebagai petani juga ia tekuni. Semangat besarnya menjadi inspirasi banyak pemuda yang hampir putus sekolah.
Menjadi guru agama di pelosok desa tak cukup bagi Icang Aini (26). Pengalaman orangtuanya dulu sebagai petani juga ia tekuni. Semangat besar perempuan itu menjadi inspirasi banyak pemuda yang hampir putus sekolah dan nyaris berakhir di tambang-tambang ilegal.
Sosoknya memang lebih kecil dibanding teman sebayanya. Namun semangat dan mimpinya besar. Icang, begitu sapaannya, pada Selasa (10/11/2020) pagi sekitar pukul 06.00 WIB sudah bersiap diri. Ia keluar rumah dan menuju sekolah.
Langkahnya kecil tetapi cepat. Buku pelajaran sebagian ia pegang, sebagian lagi di tas punggungnya. Masker menghiasi wajahnya, cairan pencuci tangan tergantung di tasnya. Belum 15 menit berjalan kaki, temannya yang juga guru menghampiri dan menawarinya tumpangan di atas motor.
Sekitar dua kilometer jarak dari rumah ke sekolah tempat Icang mengajar, SMK Purnama Hurung Bunut. Sekolah kejuruan tingkat atas yang bergerak di bidang pertanian di Desa Hurung Bunut, Kecamatan Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng).
Muridnya tak banyak hanya 25 orang dari kelas X sampai kelas XII. Namun Icang tetap semangat mengajar meski muridnya sedikit. “Ini seperti les privat saja jadi pelajaran juga lebih efektif diajarkan ke siswa,” katanya.
Selama pandemi Covid-19, pembelajaran di sekolah itu memang dibatasi. Normalnya, Icang mengajar hingga pukul 13.00, tetapi kini ia hanya mengajar dari pukul 07.00 - 09.00.
Saat mengajar, tubuh Icang hampir tenggelam di antara meja, kursi dan papan tulis. Namun, ia menyiasatinya dengan menaiki kursi dan mulai menulis materi ajar di papan tulis. Suaranya lantang keluar dan mengisi satu ruangan yang dipakai semua kelas.
SMK Purnama itu memang belum memiliki gedung sehingga meminjam satu kelas SMP Negeri Hurung Bunut. Tiap kelas hanya dibatasi sekat.
Siang itu usai memberikan tugas kepada siswa kelas XII, ia memanggil siswa kelas XI untuk menuju sepetak lahan di sebelah sekolah untuk mengajari cara memanen sayuran.
Icang memang lulusan Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Palangkaraya, namun ia juga membantu menjadi guru praktik pertanian di SMK Purnama itu. Sekolah itu hanya memiliki dua guru pertanian sehingga mau tidak mau Icang membantu dengan pengetahuannya soal bertani.
Sekolah itu memang jauh dari fasilitas. Jangankan gedung sekolah, buku saja tak ada. Selama ini praktik pertanian hanya mengandalkan peralatan manual dengan cara-cara tradisional. Itulah sebabnya, Icang bisa membantu dengan pengetahuan bertani tradisional yang ia dapat dari ibu dan neneknya.
“Mulai dari menyiapkan tanahnya, menyiapkan bibit, sampai panen. Tambahannya, ya, sekarang mulai belajar pertanian organik bahkan hidroponik,” ungkap Icang.
Icang mau tak mau mempelajari secara otodidak teori-teori bertani modern yang ia pelajari dari buku-buku atau secara daring. Meski tak sesempurna guru pertanian namun tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan di SMK itu saat ini.
Mulai dari menyiapkan tanahnya, menyiapkan bibit, sampai panen. Tambahannya ya sekarang mulai belajar pertanian organik bahkan hidroponik.
Penambang ilegal
Icang sebelumnya adalah guru honorer di sekolah itu setelah lulus kuliah. Namun, setahun belakangan ia lulus tes Guru Tidak Tetap (GTT) Provinsi Kalteng. Meski belum menjadi pegawai negeri, upahnya meningkat sedikit dari gaji honorer sebesar Rp 250.000 per bulan.
Namun semangat Icang tidak hanya didasari soal upah. Icang bisa saja melamar ke sekolah lain di luar desanya yang bisa memberikan gaji lebih besar. Namun ia memilih pulang karena ia punya misi tersendiri.
Ia lalu bercerita, dirinya adalah satu dari segelintir anak di desanya yang mampu mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Sebagian besar pemuda di desanya mentok menjadi penambang emas ilegal, buruh sawit, atau bahkan penebang liar.
Saat Kompas menelusuri Desa Hurung Bunut, puluhan alat-alat pengisap emas berada di pinggir-pinggir sungai atau di tengah-tengah kebun dengan lubang menganga di sana sini. Alat-alat itu mereka sebut dengan istilah kato angkat.
Icang paham betul penambangan merusak alam, mempersempit lahan pertanian, dan bisa membawa penyakit. Kato angkat tidak akan berfungsi menggaet emas tanpa merkuri dan merkuri sangat berbahaya untuk kesehatan.
Banyaknya kerusakan di desanya juga begitu banyak anak yang tidak mampu keluar desa untuk sekolah lalu berakhir di ladang tambang memotivasi Icang untuk mengubahnya. Icang keluar desa untuk kuliah dan berjanji pada diri sendiri untuk pulang dan mengajak sebanyak-banyaknya pemuda di desanya untuk sekolah.
Salah satu daya tarik yang gunakan adalah bertani. Kebun orangtuanya ia pakai untuk tempat praktik pertanian siswanya. Ia juga mengusahakan agar lahan yang digunakan untuk praktik itu berpindah-pindah. “Ada orangtua murid yang akhirnya bersedia (meminjamkan tanahnya), karena ini kan SMK pertanian jadi harus lebih banyak praktik juga,” ungkapnya.
Elyn (15) misalnya. Gadis yang saat ini duduk di kelas X itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang buruh upah yang menambang ilegal. Ayahnya digaji tergantung berapa banyak emas yang ia sedot di lahan milik pengupah.
Ia sudah hampir putus asa untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas (SMA). Untuk ke SMA ia harus keluar desa dan hal itu membutuhkan banyak uang. Hadirnya Icang dan sekolah kejuruan di desanya membawa harapan baru.
Icang tak letih mengunjungi Elyn di kebun dan di rumah untuk diajak belajar. Elyn ingat, Icang mengatakan menjadi petani pun bisa sukses dan bahagia. Dengan belajar, begitu banyak teori dan pemahaman baru yang Elyn dapat.
“Kalau gak sekolah di sini, ya, pasti saya sudah putus sekolah. Kalau saya paksa untuk sekolah keluar pasti sulit sekali bapak dan ibu cari uang,” kata Elyn.
Elyn senang bisa mengenal kembali bertani dengan cara yang benar, ia terinspirasi dari sosok Icang yang dengan keterbatasan fisik masih ulet bertani juga semangat mengajar. “Ternyata sekolah bertani itu seru, kalau panen hasil tanam sendiri itu senangnya bukan main,” ujarnya.
Lain lagi cerita Nobi Saputra (17) yang sudah menginjak kelas XII. Ia sempat bersekolah di Kuala Kurun, sekitar 30 menit dari desanya, tetapi ia putuskan pindah lantaran tak punya kendaraan. Anak ketujuh dari delapan bersaudara itu mulai sadar kalau sekolah keluar desa itu butuh biaya yang besaar, sedangkan sekolah di SMK pertanian di desanya hanya membayar uang sekolah yang tak lebih dari Rp 60.000 per bulan.
“Saya pikir kalau sekolah di SMK itu enggak bisa kuliah, tetapi ternyata bisa. Saya hanya mau selesaikan sekolah supaya bisa kuliah,” ungkap Nobi.
Orangtua Nobi bertani, kadang menanam padi dan berharap harga getah karet tinggi. Ia ingin sekali kuliah karena melihat kakaknya yang kuliah bisa mendapatkan pekerjaan bagus. Nobi pun selalu dikunjungi Icang dan dibimbing hingga akhirnya mau bertani dan tetap bersekolah setelah keuar dari sekolah lamanya.
“Habis dari SMK Pertanian ini saya mau kuliah pertanian juga, di Kalteng pasti masih banyak membutuhkan sarjana pertanian,” kata Nobi.
Di tengah segala keterbatasan, Icang telah membawa perubahan di desanya yang berjarak 150 kilometer lebih dari ibu kota Kalimantan Tengah, Kota Palangkaraya. Semangatnya tak pernah padam.
Icang Aini, S.Pdk
Tempat tanggal lahir : Hurung Bunut, 8 Juni 1994
Pendidikan :
S1 di STAKN Palangkaraya
SMK I Kuala Kurun
SMP 3 Kurun
SDN 2 Hurung Bunut.