Inkonsistensi penanganan Covid-19 merepotkan semua pihak yang berupaya menegakkan protokol kesehatan. Usaha keras yang dibangun seakan tak berarti apa-apa karena penegakan aturan tidak konsisten.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan aturan protokol kesehatan yang tidak konsisten melemahkan penanganan pandemi Covid-19. Warga yang tidak percaya bahaya pandemi semakin mengabaikan aturan penanganan. Sementara warga yang berupaya menjaga diri dari paparan virus korona kecewa seraya mempertanyakan keseriusan pemerintah.
Dicky Pelupessy, pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, berpendapat, ada dua sisi dari inkonsistensi penegakan protokol kesehatan terhadap persepsi risiko warga. Warga yang tidak patuh melihatnya sebagai penguatan ketidakpatuhan. Sementara warga yang patuh jadi kecewa sehingga ada potensi untuk tidak patuh karena kelelahan mental setelah berbulan-bulan menjalankan protokol kesehatan.
”Warga sudah capek dan lelah berbulan-bulan menjalankan protokol kesehatan, tetapi pemerintah tidak memberikan informasi tepercaya serta ada inkonsistensi tindakan pejabat pusat dan daerah. Warga melihat itu secara gamblang sehingga bisa saja mulai abai pada protokol kesehatan,” ucap Dicky, Selasa (24/11/2020).
Contohnya pembiaran keramaian di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dan Petamburan, Jakarta Pusat. Padahal, pada saat yang sama, warga diimbau patuh pada protokol kesehatan, termasuk diberi sanksi denda jika melanggar.
Menurut Dicky, pembiaran yang terjadi menjadi legitimasi bagi banyak warga yang selama ini menganggap enteng pandemi, tidak percaya maupun enggan menerapkan protokol kesehatan. Di sisi lain, warga mempertanyakan keseriusan pemerintah sehingga kecewa kepatuhannya pada protokol kesehatan sia-sia karena seperti tebang pilih.
”Dua sisi, patuh dan tidak patuh. Selama ini yang sudah malas menerapkan protokol kesehatan akan mendapat penguatan. Sementara yang rajin bisa saja abai karena kecewa dan lelah berbulan-bulan menjalankan protokol,” katanya.
Ia melihat upaya korektif seperti pencopotan aparatur sipil negara dan kepolisian tidak terlalu berdampak karena keramaian sudah terjadi. Karena itu, pemerintah harus serius tanpa pandang bulu dan konsisten menerapkan protokol kesehatan. Apalagi akan berlangsung pilkada yang berpotensi terjadi kerumunan.
Dua pekan terakhir terjadi peningkatan kasus Covid-19. Penyebabnya adalah berbagai keramaian yang terjadi selama libur panjang. Laporan Kementerian Kesehatan, hingga Sabtu (21/11/2020), terdapat 1.599 kluster di Indonesia.
Sementara itu, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat penambahan kasus baru mencapai 4.192 orang pada Selasa (24/11/2020) sehingga total menjadi 506.302 kasus yang tersebar di 505 kabupaten/kota di 34 provinsi. Adapun korban jiwa bertambah 109 orang sehingga total menjadi 16.111 orang.
Kepercayaan
Empat kluster terbaru yang ditemukan di antaranya rangkaian acara keramaian terkait tokoh Front Pembela Islam, Rizieq Shihab. Kluster berikutnya, pesantren di Kecamatan Cibereum, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Cirebon, dan warung kopi di Pontianak.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Muhammad Budi Hidayat mengatakan, 50 orang yang terlibat kegiatan pemimpin FPI, Rizieq Shihab, di Tebet positif Covid-19. Sebanyak 30 orang yang terlibat kegiatan di Petamburan juga diketahui positif. Sementara 15 orang di Megamendung masih menunggu hasil pemeriksaan.
Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Komando Daerah Militer Jaya menggelar tes cepat untuk warga Petamburan di Sekolah Dasar Negeri 01 Petamburan sejak Minggu (22/11/2020) hingga Selasa (24/11/2020).
Namun, warga kurang minat ikut tes dengan berbagai alasan, misalnya tidak siap jika harus isolasi mandiri dan takut hidung atau tenggorokan sakit saat tes. Iming-iming sembako pun tidak banyak berpengaruh. Dari 1.000 alat tes yang tersedia, baru terpakai sebanyak 276 buah.
Menurut Firdza Radiany, pegiat dari Pandemic Talks, penyebab keengganan warga itu bisa macam-macam, antara lain menurunnya kepercayaan kepada pemerintah, stigma dikucilkan kalau positif, serta tidak percaya Covid-19 sehingga merasa sehat dan kebal.
Untuk itu, pemerintah dengan berbagai daya dan upaya harus mendapatkan kembali kepercayaan publik. Caranya, menggencarkan pelacakan, tes, dan isolasi sehingga kasus turun. ”Kalau kebijakannya setengah-setengah, tentu saja menjadi tidak maksimal,” ujarnya.