Sebagian petani enggan repot meracik bahan-bahan organik. Karena ingin cara mudah dan cepat, produk kimia jadi pilihan yang tanpa disadari berimbas pada beragam efek samping.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Serangan ulat yang menggerogoti buah-buah cabai telah mendulang gelisah petani. Sungguh tak disangka, kala harga cabai terus naik hingga dua kali lipat, kini menyentuh Rp 45.000 per kilogram, petani harus merelakan sebagian buah tak dapat dipanen karena rusak.
Bisa jadi petani terlambat mengecek sejak awal di kebunnya. Saat mengetahui harga cabai di pasaran beranjak naik, petani pun bersiap memanen karena yakin inilah masa emas untuk mendapatkan untung besar. Namun, apa mau dikata sebagian buah telanjur kedapatan rusak di tanaman.
”Lihat saja ulat-ulat ini seperti ngebor di dalam buah cabai,” kata Miran, Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, Sabtu (19/11/2020). Ia pun menunjukkan ulat yang tengah menjelajah di dalam buah cabai. Ulat-ulat itu sekilas tidak tampak. Sewaktu buah dipetik, barulah terasa buah telah kosong dan di bagian dalamnya tampaklah ulat tengah menjelajah.
Di saat bersamaan, petani pun kewalahan mengatasi daun-daun cabai yang mengerut kering. Kalau sudah begitu kondisinya, buah tak berkembang dengan baik.
Masalah lain, serangan jamur membuat buah cabai mengering di atas tanaman. Membusuk kering, mulai dari ujung buah, lalu terus menyebar hingga ke arah tangkai.
Budidaya cabai merah di Sungai Gelam telah tumbuh 12 tahun silam. Namun, baru tiga tahun terakhir hama dan penyakit mulai menyerang. Awalnya petani berhasil memeranginya dengan pestisida tetapi pada masa tanam berikutnya serangan kembali muncul bahkan lebih parah.
Kalau memakai pestisida biasa tak mempan lagi. Harus tinggi dosis obatnya, tetapi berarti harganya lebih mahal. (Miran)
Semakin lama, hama dan penyakit seolah makin kebal. ”Kalau memakai pestisida biasa tak mempan lagi. Harus tinggi dosis obatnya tetapi berarti harganya lebih mahal,” keluhnya.
Untuk mengatasi serangan-serangan itu, petani harus menyewa tenaga kerja tambahan yang bertugas melakukan ”karantina” cabai. Buah cabai yang rusak dan busuk dipisahkan agar ulat dan jamur tak menyebar. ”Yang rusak bisa sekitar satu ember dari satu lajur tanaman. Harus dipisahkan supaya tak menyebar,” tambah Lastri, petani setempat.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Jambi Achmad Mausul mengatakan, petani perlu mengantisipasi lebih dini agar dapat menekan ancaman meluasnya hama dan penyakit. ”Terlambat sedikit saja pasti akan berdampak besar pada hasil tanaman,” katanya.
Bisa jadi, hama dan penyakit yang meluas di Muaro Jambi disebabkan kurang cepatnya penanganan di awal. Pihaknya pun menyarankan agar pengendalian hama sebisa mungkin agar bersifat ramah lingkungan. Namun, petugas lapangan telah ditempatkan pada sentra-sentra tanam. Para petugas dapat membantu petani mengatasi kesulitannya.
Meski demikian, jika wabah terus meluas hingga mengganggu hasil panen signifikan, petani dapat melapor. ”Kalau terserang lebih dari 5 persen dari total hamparan, kami bisa kerahkan brigade pestisida untuk menanggulangi,” ujarnya.
Berlebih
Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan Wilayah Sungai Gelam, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Jambi, Antalion, mengatakan, serangan yang masif pada tanaman disebabkan varietas cabainya yang rentan terhadap serangan. Faktor lain yang tak kalah penting adalah paparan pupuk dan pembasmi hama kimia yang berlebih.
Menurut Antalion selama ini banyak petani mengasup pupuk melebihi takaran semestinya demi memacu produktivitas panen. Hal itu memang membuahkan hasil di masa awal, tetapi berdampak tak baik. Lahan cepat jenuh. Ancaman muncul penyakit dan hama juga lebih besar.
Melihat kondisi itu, pihaknya berupaya mengajak para petani memulai pemulihan lahan lewat asupan bahan-bahan organik. Selain petani dapat berhemat ongkos produksi, lahan akan pulih dan menjadi lebih subur. Agen hayati akan tumbuh menjadi pasukan yang memerangi penyakit pada tanaman.
Memang, produktivitas buah cabai organik tidak serta merta sama banyaknya dari hasil asupan pupuk kimia di masa awal. ”Sebab, dengan penerapan organik, tanaman akan tumbuh dan berbuah secara alami,” katanya. Jika kondisi tanah telah pulih dan subur alami, hasil panen akan terdongrak dengan sendirinya.
Masalahnya, sebagian petani masih enggan repot. Meracik bahan-bahan organik dianggap memakan waktu dan tenaga. Ada juga alasan sulit memperoleh bahan bakunya. Karena ingin cara mudah dan cepat, produk kimia jadi pilihan.
”Padahal, jika petani mau berusaha lebih, bahan-bahan yang diperlukan ada di lingkungan desa. Murah dan mudah didapatkan,” ujarnya. Misalnya saja, untuk menghasilkan pembasmi alami hama diperlukan racikan bawang putih, tembakau, ekstrak daun sirsak, dan biji jarak. Ada pula racikan lainnya dari daun pandan dan mengkudu untuk mengendalikan hama ulat.
Pada akhirnya, lanjut Antalion, semua akan berpulang kepada petani. Jalan yang dipilih akan berkonsekuensi pada hasil.