Kekuatan Militer China Meraung-raung di Lautan (2)
Militer dan ekonomi China kini semakin kuat, sebaliknya AS melemah. Padahal, kekuatan persaingan terletak pada dua faktor tersebut.
Di atas kertas, arah kebijakan AS terhadap China di bawah Presiden terpilih Joe Biden tetap sama. Menekan China adalah pilihan. Dalam kenyataannya, pilihan ini semakin sulit. Militer dan ekonomi China kini semakin kuat, sebaliknya AS melemah. Padahal, kekuatan persaingan terletak pada dua faktor tersebut.
Namun, entah mampu atau tidak, ucapan Biden di beberapa kesempatan menunjukkan ketegasan sikap. Biden kerap mengkritik kebijakan China di kawasan dan hak asasi manusia di China. Dalam debat pada Februari 2020, Biden bahkan menjuluki Presiden Xi Jinping sebagai pempimpin jahat (thug).
Amati arah kebijakan Biden tentang China lewat pernyataannya saat debat kedua dengan Presiden Donald Trump, 22 Oktober 2020 lalu di Nashville, Tennessee. ”Kita ada pada situasi di mana China harus bertindak sesuai hukum internasional.”
Baca juga : Biden Akan Sulit Bersikap Keras terhadap China (1)
Hukum yang mana? Hukum internasional sekarang, termasuk lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), justru dianggap AS di bawah Donald Trump sebagai merugikan. AS secara de facto meninggalkan WTO sementara. AS bertindak sepihak dengan menghukum mitra-mitra dagang lewat pengenaan tarif impor asal China dan juga dunia tanpa izin WTO.
Negara terkuat itu memang mudah menjadi anarkis. Biden melanjutkan pernyataannya dalam debat itu, kali ini tentang hak AS mengawasi wilayah di sekitar China. ”Ketika bertemu Presiden China Xi Jinping pada 2013 saat saya masih menjabat Wapres AS, Xi mengatakan, ’Kami sedang mengatur zona-zona identifikasi di Laut China Selatan. Anda (AS) tidak bisa terbang di zona-zona itu’,” demikian Biden menirukan ucapan Presiden Xi.
”Saya jawab, kami akan terbang di atas semua zona itu. Kami baru saja menerbangkan pesawat pengebom B-52 dan B1 di atasnya. Kami tidak akan peduli. Adalah mereka (China) yang harus taat aturan,” demikian Biden saat debat pada Oktober 2020 itu. Maksud Biden, agar China taat aturan hukum internasional, termasuk tentang kedaulatan wilayah di kawasan Asia.
Baca juga : Di Era Biden, Kurang Porsi Utang Dalam Denominasi Dollar AS
Biden menyatakan juga bahwa kekuatan ekonomi berpihak ke AS dan ini akan menjadi alat menekan China. ”Kita memiliki kontribusi sebesar 25 persen terhadap perekonomian dunia. Kita juga perlu memiliki sahabat-sahabat yang akan berkata pada China, ’Ini adalah aturan-aturan. Anda bermain dengan aturan, atau Anda membayar harga jika tidak taat aturan’,” demikian Biden menggambarkan persepsi bahwa dia akan tegas terhadap China.
Kekuatan itu meraksasa
Bagaimana Biden bisa menerapkan kebijakan keras? Rasanya sulit. China telah dan terus menancapkan kuku militernya di Laut China Selatan. Sebagai contoh, salah satu lokasi markas militer China, yang dibangun di Laut China Selatan, terletak di Fiery Cross Reef. Jika dilihat dari geografi, pulau karang ini lebih pas di antara wilayah Filipina dan Vietnam. Sejak peringatan Presiden Xi terhadap Biden pada 2013 itu, penguatan basis militer China di Laut China selatan menguat. Desakan AS agar China menghindari aksi tersebut tidak diindahkan.
Markas militer China di Laut China Selatan semakin berkembang setelah 2013. China juga telah membangun markas militer di Subi Reef, Mischief Reef, Gaven Reef, Hughes Reef, Johnson South Reef, dan Cuarteron Reef.
Semua ini ada di wilayah Laut China Selatan. Persisnya, sejak 2014 sudah dibangun total 14 pos militer China di Kawasan tersebut. Markas-markas militer ini bertujuan meningkatkan sistem pertahanan rudal anti-pesawat, anti-kapal, serta pelumpuh peralatan, seperti dituliskan dalam laporan tahunan Departemen Pertahanan AS (Pentagon) pada 2020 ke Kongres AS. (2020 China Military Power Report (defense.gov)
Melengkapi itu, China kini memiliki Angkatan Laut terbesar di dunia dengan kekuatan 350 kapal dan kapal selam melampaui 293 kapal yang dimiliki AS. Sejumlah kekuatan ini bertujuan menegaskan kehadiran militer China di Laut China Selatan, demikian kata Pentagon.
Baca juga: Sekelumit Soal Keyakinan di Balik Kemenangan Biden-Haris
Termasuk yang menonjol, kapal induk pertama buatan China, Shandong, ”sangat mungkin” ditempatkan secara permanen di Pangkalan Angkatan Laut Yulin, pangkalan utama untuk Angkatan Laut PLA (Tentara Pembebasan Rakyat China). Pangkalan ini terletak persis di depan pintu Kepulauan Paracel, serangkaian wilayah karang yang disengketakan China dengan Vietnam, dan Taiwan.
China juga telah mengoperasikan 30 kapal fregat dengan rudal berpemandu Tipe 054A dan memiliki lebih dari 42 corvette Tipe 056. Kedua jenis kapal perang ini sering terlihat di Laut Cina Selatan. China juga berencana untuk berpatroli di Laut Cina Selatan dengan ”kapal permukaan tanpa awak berkemampuan kecerdasan buatan (AI)”, lanjut laporan Pentagon.
Latihan-latihan marinir dan pasukan amfibi China juga meningkat di Kepulauan Paracel dan Spratly sepanjang 2020. Pasukan ini diperkuat dari sisi udara. ”Pembangunan lapangan terbang dan hanggar baru di pos-pos di Laut China Selatan memperluas daerah operasi pasukan udara PLA. Penyebaran pos-pos pesawat tempur PLA di masa depan, yang beroperasi dari pos-pos Spratly, dapat menaikkan jangkauan hingga di luar Laut China Selatan atau bahkan mencapai ke Samudra Hindia,” lanjut laporan Pentagon.
Dua pesawat pembom terbaru China, H-6K dan H-6J, diketahui telah mendarat di pangkalan militer utama China di Laut China Selatan, seperti di Woody Island dan Fiery Cross Reef. Pada 2020 ini, China bahkan menunjukkan kemajuan luar biasa. China, senada dengan laporan Pentagon, sudah menunjukkan sukses penembakan kapal bergerak di laut dengan rudal balistik yang ditembakkan dari Provinsi Zhejiang dan Qinghai. Nama rudal yang ditembakkan dijuluki ”Guam Killer”.
Baca juga: Kemenangan Biden-Harris Sangat Krusial dan Perlu bagi Dunia
China telah meluncurkan empat rudal anti-kapal ke perairan lepas di Kepulauan Paracel, termasuk rudal balistik jarak menengah DF-26 (IRBM). Ini merupakan bagian dari latihan militer China di daerah tersebut. Menurut Pentagon, Pasukan Roket PLA secara dramatis meningkatkan pasokan rudal ”pemburu kapal” berhulu ledak konvensional atau nuklir. Pentagon memperkirakan China sekarang memiliki sekitar 200 DF-26 IRBM.
Pasukan Roket PLA China sekarang mencanangkan kesiapan lebih dari 1.250 rudal balistik yang diluncurkan dari darat dan rudal penjelajah yang juga diluncurkan dari daratan dengan jangkauan antara 500 kilometer dan 5.500 kilometer, lanjut laporan Pentagon. ”Armada perang terbaru China kini semakin leluasa memasuki wilayah sengketa serta kemampuan militernya ’sudah berada di depan AS’, demikian bagian lain dari laporan tersebut. ”Dulu tidak ada keramaian terkait aksi-aksi militer sebanyak yang terjadi sekarang di Laut China Selatan,” kata Wakil Asisten Menteri Pertahanan Chad Sbragia.
Seruan yang sia-sia
Perkembangan di Laut China Selatan itu melesak selama empat tahun terakhir atau sejak 2016. Ini terjadi selama pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Ketika Menlu AS Mike Pompeo menegaskan pada 2020 bahwa Laut China Selatan bukan wilayah kekuasaan militer China, bisa dikatakan ini seruan yang sia-sia. Seruan tersebut langsung disanggah oleh Lu Kang dari Kementerian Luar Negeri China, ”Sama seperti AS. Anda mungkin bisa melakukan apa saja jika Anda berpikir itu penting dari sisi teritori Anda. China bukan kekecualian.”
Ada banyak aksi militer China yang menunjukkan kekuatan bukan saja di Laut China Selatan, tetapi juga hingga Kepulauan Senkaku (Diayou), hingga pasukan China menerbangi udara yang amat dekat ke Jepang.
Jepang kini semakin repot menghadapi kedatangan pesawat-pesawat tempur China yang mengintimidasi. Pasukan udara Jepang menghadapi beban yang tidak berkesudahan akibat aksi China. Bersama Rusia, China menerbangi udara yang mengelilingi wilayah Jepang, seperti dituliskan di situs CNN pada 29 Juli 2020. Jepang memperlihatkan peta penerbangan pesawat China dan Rusia, yang mengepung wilayah Jepang.
Setelah kematian pilot
Sejak kematian pilot China pada 2001, China mengembangkan kemampuan militer. Sejak itu, keberanian AS memancing pesawat tempur China berkurang drastis. Pencegatan China atas pesawat-pesawat dan armada AS di Laut China semakin intensif sejak 2014. Di tahun 2014 itu juga pesawat China telah mengintimidasi armada AS.
”Kematiannya (pilot China pada 2001) adalah sebuah kecelakaan, tetapi telah menyebabkan banyak perubahan,” kata Zhou Chenning, pengamat militer China. Peristiwa itu telah mendorong modernisasi militer China, terutama pengembangan pesawat untuk keperluan Angkatan Udara dan Laut, kata Zhou.
Hal serupa dikatakan Li Jie, pengamat kekuatan Angkatan Laut di Beijing. Insiden Hainan mendorong penguatan pasukan di laut sejak era Deng Xiaoping. Li menambahkan, jika tabrakan seperti tahun 2001 itu terjadi sekarang ini, ”Konsekuensinya akan sangat berbeda. Ini karena PLA telah memiliki pesawat tempur yang lebih maju, dan telah dibentuk juga sistem pengelolaan krisis menyeluruh untuk menghadapi semua provokasi AS.”
Mencegah kesalahan Dinasti Qing
Mearsheimer mengatakan, China sungguh sebuah negara yang belajar dari sejarahnya. Secara historis, kelemahan China sepanjang sejarah penjajahan asing (1839-1949) tidak lepas dari kelemahan Dinasti Qing. Meski China pernah berelasi kuat hingga ke Afrika, Dinasti Qing kemudian sangat lemah dalam kekuatan laut. Ini membuat China rentan dimasuki dari laut dan dijajah kekuatan asing.
China mendalami sejarah ini dan ingin mencegah sejarah berulang. Hal ini, misalnya, tertuang dalam disertasi berjudul ”Conceptualizing the Blue Frontier: The Great Qing and the Maritime World in the Long Eighteenth Century”. Disertasi ini disusun oleh Chung-yam saat meraih gelar doktor (PhD) pada 2013 dari Fakultas Filsafat Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg. Disertasi ini dipandu Prof Harald Fuess dan Prof Joachim Kurtz.
Kolaborasi ekonomi yang memudar
Telah terjadi perubahan drastis dalam perimbangan kekuatan dari tahun ke tahun antara AS dan China. Lalu bagaimana AS menghadapi China? Di era Trump, tekanan terhadap China juga dilakukan lewat pengenaan tarif atas impor dari China. Tentu hal ini merugikan China. Akan tetapi, tidak banyak negara lain yang mampu mengekspor produk pengganti ke AS dengan harga semurah produk buatan China. Pengenaan tarif juga membebani konsumen AS.
Seruan Trump agar investor AS kembali ke China serupa dengan mencegah korporasi AS menikmati pasar China dan menikmati biaya produksi murah di China. Pimpinan Apple penghasil iPhone, Tim Cook, sampai melobi agar produknya jangan diganggu dalam perang dagang AS-China. Cook telah menyatakan pengenaan tarif terhadap China hanya akan menguntungkan para pesaing Apple, terutama Samsung.
Petani AS menderita akibat balasan resiprokal China, yang menghentikan impor produk pertanian dari AS. Hal ini membuat Trump mengeluarkan uang untuk subsidi terhadap petani AS. Tindakan semakin memberatkan keuangan negara AS, yang sudah menumpuk dengan timbunan utang 26 triliun dollar AS.
Hasilnya, sejauh ini ekonomi China tidak terpukul hebat dan terus tumbuh. China juga merangsek secara ekonomi lewat penandatanganan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) beranggotakan 15 negara pada November 2020. AS malah memudarkan sendiri kerja sama ekonomi dengan Asia yang dinamai Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Andaikan TPP dihidupkan lagi di bawah Biden, China juga siap bergabung, sebagaimana dikatakan oleh Presiden Xi Jinping, Jumat, 20 November.
Myron Brilliant, Wakil Presiden Eksekutif Kamar Dagang dan Industri AS, mengatakan, AS di bawah Trump tertinggal di Asia. Perang dagang yang dilancarkan AS tidak melumpuhkan. Asia malah terus maju secara ekonomi dan turut dinikmati korporasi AS. Brilliant menyarankan perubahan kebijakan AS terhadap Asia, terutama China.
Tidak kuat dalam perang bilateral, baik secara militer maupun ekonomi di kawasan Asia, itulah posisi AS sekarang. Namun, AS masih mencoba mencari cara untuk memerangi China, seperti berkoalisi dengan negara-negara di Asia secara militer maupun ekonomi. Langkah ini diperkirakan juga tidak akan menemukan pijakan kuat dan tertakdir untuk gagal, apalagi jika itu bertujuan menghambat China. (Bersambung)